Dicelakakan oleh Kerakahan Sendiri, You Asked for It!
Orang DUNGU : Berenang-Renang ke Tepian, Barulah Berakit-Rakit ke Hulu. Bersenang-Senang Dahulu, Bersakit-Sakit Kemudian
Terdapat dua jenis nyamuk yang selama ini berkeliaran di perumahan- perumahan penduduk, yakni : Pertama, nyamuk yang “kerempeng” (kurus dan anemia), dicirikan oleh gesit ketika hendak dipukul oleh para korbannya. Kedua, nyamuk yang “gembuk”, dicirikan oleh tubuhnya yang sudah membesar akibat penuh oleh darah yang ia hisap sehingga gerakannya menjadi lamban serta bobotnya berat tidak lagi sanggup diatasi oleh kekuatan sayapnya—namun masih juga “kelaparan” dan terus berupaya menggigit untuk menghisap darah korbannya sehingga mudah sekali bagi sang korban untuk menepuk sang nyamuk “serakah”, sehingga tewas akibat keserakahannya sendiri.
Serupa seperti kalangan
koruptor, banyak yang tidak terjaring oleh hukum (terutama Komisi Pemberantasan
Korupsi yang mengklaim bahwa biaya menyidik kasus-kasus korupsi tergolong “berbiaya
tinggi” (high cost) sehingga lembaga
anti-rasuah tersebut melakukan seleksi / filtering terhadap oknum-oknum pelaku
korupsi—tebang pilih akibat pertimbangan pragmatis sumber daya manusia maupun
pendanaan biaya operasional KPK yang terbatas—lebih tepatnya hanya
koruptor-koruptor kelas kakap, kelas hiu, kelas paus, serta kelas gurita yang
dijaring dan diproses hukum. Selebihnya, koruptor-koruptor kelas teri, kelas
gurame, kelas bawal, maupun koruptor-koruptor kelas mujair dibiarkan bebas dan
merajalela—bahasa politis dan diplomatisnya : dipelihara oleh negara,
berkeliaran menjadi raja-raja kecil.
Ulasan ini tidak bermaksud
mengajak para pembaca untuk menikmati “zona aman dan nyaman” bernama “koruptor
kelas teri” demikian, mengingat semua “koruptor kelas kakap” selalu memulai
debut perdananya sebagai koruptor bermula dari “korupsi kecil-kecilan”—karena
itulah, korupsi besar maupun korupsi kecil, tidak dapat kita tolerir terlebih
berikan kompromi, harus ada konsekuensi hukumnya. Orang-orang jenius,
terlampau kreatif, sehingga tidak pernah merasa perlu merampas terlebih
meng-korupsi hak-hak orang lain. Sebaliknya, para “dunguwan”, selalu memiliki
satu corak watak yang sangat khas kaum “dungu”, yakni : bersikap seolah-olah
sedang menunggu tiba terjadinya “menyesal dikemudian hari”.
Sudah begitu banyak pemberitaan
perihal ditangkap dan dihukumnya para pelaku aksi korupsi maupun kolusi, dimana
insan pers (jurnalistik) baik media elektronik maupun media cetak gencar
mewartakannya, lengkap dengan geleri foto-foto pihak tersangka ataupun terdakwa
yang menyandang rompi khusus terdakwa kasus korupsi, diborgol, serta digiring
oleh aparatur penegak hukum. Gedung-gedung yang menjadi tempat rumah tahanan
maupun lembaga pemasyarakatan (penjara) pun dapat kita jumpai dan kunjungi
dengan mata-kepala kita sendiri. Tetap saja, para “dunguwan” mencoba-coba
“bermain api” dan “benar-benar terbakar karenanya”—tertangkap oleh aparatur penegak
hukum, yang kemudian betul-betul menjadi tempat dimana sang koruptor
digelandang dan dijebloskan ke balik jeruji sel di dalamnya. “Sedang apes”, demikian sang napi korupsi
membatin.
Ketika selesai menjalani masa
hukuman, mereka kembali mencalonkan diri menjadi kepala daerah maupun anggota
legislatif, “Mungkin kali ini tidak akan
se-apes seperti sebelumnya”, dimana “business
as usual”, kembali mencoba-coba aksi korupsi. Ketika untuk kali keduanya
tertangkap oleh aparatur penegak hukum atas kasus serupa, korupsi, sang mantan
napi korupsi yang kembali menjalani proses persidangan dan masa penghukuman
dibalik jeruji sel yang sama, sang “dunguwan” kembali membatin, “Ternyata masih apes. Mungkin tidak untuk
yang kali ketiganya nanti.” Menjadi relevan nasehat Einstein, melakukan hal
yang sama namun mengharap hasil yang berbeda, “it is INSANE”. Barulah ketika untuk kali kesekiannya sang
“dunguwan” dijebloskan atas kasus serupa, ia menyesalinya, namun jelas sudah
terlambat—penyesalan mana sejak semula (seolah) ia tunggu-tunggu tiba
datangnya.
Salah satu ilustrasi yang
relevan, dapat kita jumpai pada pemberitaan pada bulan Juli 2023 dimana Kepala
Bea Cukai Makassar diberitakan menyimpan dana pelicin (gratifikasi) dari mertua
hingga dari pengusaha, gratifikasi mana diduga diterima selama 10 tahun
lamanya, dimana bermula dari aksi sang istri maupun sang anak yang berperilaku “flexing”, sang pejabat pun mendapat
perhatian publik luas sebelum kemudian ditetapkan menjadi tersangka. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Kepala Bea Cukai Makassar, Andhi Pramono
yang merupakan tersangka perkara korupsi berupa gratifikasi dan tindak pidana
pencucian uang (TPPU)—bukan “mantan” Kepala Bea Cukai, mengingat aksi kolusi
dilakukan oleh yang bersangkutan saat masih / sedang menjabat, bukan saat
setelah pensiun dari jabatannya.
KPK mengungkap modus tindak
pidana yang dilakukan sang pejabat, mulai dari menyembunyikan uang hasil
gratifikasi melalui pengusaha, hingga mertuanya sendiri. Adapun manuver ilegal
yang dilakukan Andhi untuk menerima “uang gelap”, diantaranya melalui transfer
uang ke beberapa rekening bank dari pihak-pihak kepercayaannya yang merupakan
pengusaha ekspor-impor dan pengurusan jasa kepabeanan dengan bertindak sebagai nominee. Tindakan tersebut diduga
sebagai upaya menyembunyikan sekaligus menyamarkan identitasnya sebagai
pengguna uang yang sebenarnya untuk membelanjakan, menempatkan maupun dengan
menukarkan dengan mata uang lain.
Dugaan penerimaan gratifikasi
olehnya sejauh ini sejumlah sekitar Rp28 miliar dan masih terus dilakukan
penelusuran lebih lanjut. Pada proses penyidikan, ditemukan adanya transaksi
keuangan melalui layanan perbankan melalui rekening bank Andhi Pramono dan Ibu
Mertuanya. Adapun nilai dugaan gratifikasi sebesar 28 miliar Rupiah, demikian ditengarai
oleh KPK masih bersifat sementara, dimana terbuka potensi jumlah yang lebih
besar karena masih terus dilakukan penelusuran lebih lanjut. Dana yang
sumbernya tidak jelas hingga sebesar demikian, menjadi patut diduga bahwa Andhi
menerima uang dari sejumlah pengusaha sejak tahun 2012 hingga tahun 2022, alias
selama 10 tahun dirinya memangku jabatan yang selama itu pula ia salah-gunakan.
Dalam rentang waktu antara
tahun 2012—2022, sang pejabat dalam jabatannya selaku PPNS sekaligus pejabat eselon
III di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, ditengarai telah memanfaatkan posisi
dan jabatannya (kewenangan) untuk bertindak sebagai broker (perantara) dan juga
memberikan rekomendasi bagi para pengusaha yang bergerak di bidang ekspor-impor
sehingga nantinya dapat dipermudah dalam melakukan aktivitas bisnis mereka. Sebagai
broker, Andhi diduga menghubungkan antar importir untuk mencarikan barang
logistik yang dikirim dari wilayah Singapura dan Malaysia yang diantaranya
menuju ke beberapa negara di kawasan ASEAN. Setiap rekomendasi yang dibuat dan
disampaikan diduga juga menyalahi prosedur kepabeanan, tidak terkecuali para
pengusaha yang mendapatkan izin ekspor-impor diduga tidak berkompeten. Dari
rekomendasi dan tindakan broker yang dilakukannya, yang bersangkutan disangkakan
menerima imbalan sejumlah uang dalam bentuk komisi.
Adapun aksi “pencucian uang” yang
dilakukannya dengan membelanjakan atau mentransfer uang yang diduga hasil
korupsi dimaksud untuk keperluan diri maupun keluarganya, diantaranya dalam
kurun waktu 2021 dan 2022, salah satunya dengan melakukan pembelian berlian
senilai 652 juta Rupiah, pembelian polis asuransi senilai 1 miliar Rupiah dan
pembelian rumah di wilayah Pejaten—Jaksel senilai 20 miliar Rupiah. Andhi
awalnya dimintai klarifikasi mengenai asal-usul kekayaan oleh tim Direktorat
LHKPN KPK, lalu ditingkatkan ke tingkat penyelidikan setelah KPK menilai adanya
kekayaan tidak wajar yang diperoleh oleh Andhi.
Hasil penyelidikan itu lalu
menemukan adanya tindak pidana korupsi berupa gratifikasi yang dilakukan Andhi
Pramono. Hingga saat kini, Andhi tercatat sebagai pejabat negara kedua yang
menjadi tersangka setelah keluarganya diketahui bergaya hidup mewah dan viral
di media sosial, setelah belum lama sebelumnya mencuat nama Rafael Alun
Trisambodo, seorang pejabat pajak ketika menyalah-gunakan kewenangannya dan
juga berakhir sebagai pesakitan di persidangan.
Masyarakat mudingan bahwa
aparatur penegak hukum hanya menindak kasus-kasus dimana pejabat pamer harta
yang telah viral dan mendapat sorotan publik. Pekerjaan rumah di Republik
Indonesia ialah, maraknya pejabat sektor pajak dan bea-cukai maupun para
institusi pemerintahan lainnya yang pamer harta pada akun media sosial mereka,
menunjukkan fenomena lemahnya pengawasan di institusi pemerintahan, sekaligus
menjadi gambaran “puncak gunung es” (yang tidak mendapat sorotan jauh lebih
banyak). Baik engusutan atas kasus Rafael Alun maupun Andhi Pramono, merupakan
buntut dari kegiatan pamer harta yang diperlihatkan oleh keluarga kedua pejabat
bersangkutan.
Seolah, hanya pejabat-pejabat
yang viral aksi “pamer harta tidak wajar” saja yang diselidiki asal-usul
harta-kekayaannya oleh aparatur penegak hukum, dimana bilamana “pejabat eselon
III” saja bisa menghimpun dana dengan nilai fantastis demikian, maka bagaimana
dengan pejabat yang lain? Apapun yang menjadi “political will” pemerintah kita, para “dunguwan” tersebut mungkin
sedang berdelusi, bahwa dengan terus-menerus menghimpun kekayaan baik secara
legal maupun secara ilegal, dan terus menikmati kesenangan duniawi hidup ala
“hedon” sepanjang hidup mereka, maka diri yang bersangkutan akan mencapai
“akhir dari dukkha” yakni “kepuasan
final”—yang ada justru “overdosis” serta menyerupai meminum air laut dengan
maksud untuk melepas dahaga, justru kian tercengkeram ke dalam genggaman “tidak
pernah terpuaskan” (dukkha)—mengutip
pendapat Ajahn Brahm mengenai pola berpikir dan memandang mengenai kebahagiaan
hidup, manakah yang Anda pilih : “freedom
to wanting” (bebas untuk menginginkan) ataukah “freedom from wanting” (bebas dari keinginan)?
Menjadi cukup relevan ketika kita merujuk khotbah Sang Buddha
dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, perihal “bergelut menuju akhir
dunia” dengan kutipan sebagai berikut:
45 (5) Rohitassa (1)
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, ketika malam
telah larut, deva muda Rohitassa, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh
Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā. Ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā,
berdiri di satu sisi, dan berkata:
“Mungkinkah, Bhante, dengan
melakukan perjalanan untuk mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia, di
mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, [48] tidak
meninggal dunia dan terlahir kembali?”
“Aku katakan, teman, bahwa
dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau
mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi
tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali.”
“Sungguh menakjubkan dan
mengagumkan, Bhante, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā: ‘Aku
katakan, teman, bahwa dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat
mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak dilahirkan,
tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali.’
“Di masa lampau, Bhante, aku
adalah seorang petapa bernama Rohitassa, putra Bhoja, seorang yang memiliki
kekuatan batin, mampu melakukan perjalanan di angkasa. Kecepatanku adalah
bagaikan sebatang anak panah ringan yang dengan mudah ditembakkan oleh seorang
pemanah berbusur kokoh - seorang yang terlatih, terampil, dan berpengalaman108
- melintasi bayangan pohon lontar. Langkahku adalah sedemikian sehingga dapat
mencapai dari samudra timur hingga samudra barat. Kemudian, ketika aku memiliki
kecepatan dan langkah demikian, suatu keinginan muncul padaku: ‘Aku akan
mencapai akhir dunia dengan melakukan perjalanan.’ Dengan memiliki umur
kehidupan selama seratus tahun, hidup selama seratus tahun, Aku melakukan
perjalanan selama seratus tahun tanpa henti kecuali untuk makan, minum,
mengunyah, dan mengecap, untuk buang air besar dan air kecil, dan untuk
menghalau kelelahan dengan tidur; namun aku mati dalam perjalanan itu tanpa mencapai
akhir dunia.
[Kitab Komentar menjelaskan : dhanuggaho sebagai seorang guru memanah,
sikkhito sebagai seorang yang terlatih dalam memanah selama dua belas tahun, katahattho sebagai seorang yang cukup
mahir untuk membelah ujung rambut dari jarak satu usabha, dan katūpasāno sebagai seorang yang
berpengalaman dalam menembakkan anak panah yang telah memperlihatkan
keahliannya.]
“Sungguh menakjubkan dan
mengagumkan, Bhante, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā: ‘Aku
katakan, teman, bahwa dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat
mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak
dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan
terlahir kembali.’”
“Aku katakan, teman, bahwa
dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau
mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi
tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali. Namun Aku katakan
bahwa tanpa mencapai akhir dunia maka tidak bisa mengakhiri penderitaan. Adalah
dalam tubuh yang sedepa ini dengan persepsi dan pikiran, Aku nyatakan (1)
dunia, (2) asal-mula dunia, (3) lenyapnya dunia, dan (4) jalan menuju
lenyapnya dunia.”
[49] Akhir dunia tidak dapat
dicapai dengan melakukan perjalanan [melintasi dunia]; namun tanpa
mencapai akhir dunia tidak ada kebebasan dari penderitaan. Karena itu Sang
Bijaksana, Pengenal-dunia, yang telah mencapai akhir dunia dan telah menjalani kehidupan
spiritual, setelah mengetahui akhir dunia, menjadi damai, tidak menginginkan
dunia ini atau dunia lainnya.
46 (6) Rohitassa (2)
Ketika malam itu telah berlalu,
Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, tadi malam, ketika
malam telah larut, deva muda Rohitassa, dengan keindahan memesona, menerangi
seluruh Hutan Jeta, mendatangiKu, memberi hormat kepadaKu, dan berkata:
“‘Mungkinkah, Bhante, dengan
melakukan perjalanan untuk mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia, di
mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak
meninggal dunia dan terlahir kembali?’”
[Selanjutnya adalah identik dengan 4:45, termasuk
syairnya, tetapi disampaikan dalam narasi orang pertama.] [50]
Tidak mengherankan bila
kemudian timbul kesan di benak publik, Rafael Alun dan Andhi diproses KPK sebagai
dampak memamerkan harta yang dilakukan oleh keluarganya, kemudian dilihat dari
gaya hidupnya, yang mana secara tidak langsung mengindikasikan adanya kelemahan
dalam sistem pengawasan internal di kedua institusi yang sangat “seksi”
(“basah”), yakni Ditjen Pajak dan Bea-cukai. Sejatinya aparatur penegak hukum
dapat memanafatkan kecanggihan Kecerdasan Buatan (artificial intelligence) untuk menjadi pengawas terhadap aksi-aksi
korupsi—kolusi Aparatur Sipil Negara, semisal dengan menciptakan bot yang mampu
menganalisa pesan tertulis maupun komunikasi lisan dengan melakukan penyadapan
secara meluas dan tersistematis terhadap seluruh nomor seluler aktif yang
beredar di masyarakat, bukan hanya menyadap kalangan aparatur negara maupun
yang menyandang jabatan politis di birokrasi pemerintahan.
Sebetulnya sudah sejak lama,
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengembangkan sistem
“bot” untuk menganalisa laporan arus lalu-lintas transaksi keuangan yang
diinput oleh berbagai lembaga keuangan maupun lembaga pembiayaan di Indonesia.
Mayoritas atau sebagian besar SDM (sumber daya manusia) PPATK dialokasikan
untuk membangun sistem ini, yakni kemampuan “perangkat lunak” canggih yang
secara cerdas mampu mengendus, melacak, serta menganalisa adanya transaksi yang
mencurigakan dan patut diwaspadai. Semisal, ketika terjadi kenaikan grafik
pendapatan seseorang Pegawai Negeri Sipil, dari sebelumnya rata-rata
pendapatannya dalam sebulan ialah hanya hitungan jutaan Rupiah, namun mendadak
pada satu bulan tertentu mendapat pemasukan senilai miliaran Rupiah alias
terjadi kenaikan kurva persentase mencapai ribuan persen, maka sistem akan
secara otomatis mendeteksinya sebagai “tidak wajar” dan memberi “alert” rambu kuning yang meminta perhatian
ekstra dari para penyidik di PPATK untuk diperhatikan dan dipantau terus.
Selebihnya, hanya persoalan “political will” pemerintah, serius atau tidak memberantas aksi-aksi
korupsi, mengingat dalam kasus Rafael Alun, PPATK telah memberikan data laporan
adanya transaksi mencurigakan sejak satu dasawarsa lampau, namun tidak pernah
ditindak-lanjuti oleh Kementerian Keuangan, sebelum kemudian viral aksi “pamer
harta” oleh pejabat Kementerian Keuangan pada Kantor Pajak tersebut, barulah
diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Sama seperti kasus korupsi
oleh sipil, yakni Yayasan Aksi Cepat Tanggap (YACT), dimana PPATK telah
melaporkan lama sebelum kasus korupsi oleh para pengurus YACT mencuat ke publik
dan menimbulkan kegaduhan sosial di tengah masyarakat, namun tidak pernah
ditindak-lanjuti oleh Kementerian Sosial.
Barulah ketika viral dan
ditetapkan sebagai tersangka, Kementerian Sosial mencabut izin operasional
YACT—untuk urusan sosial saja, terjadi korupsi berjemaah yang bernilai
fantastis, bagaimana untuk urusan yang bukan sosial? Juliari Batubara, Menteri
Sosial yang melakukan aksi korupsi terhadap dana bantuan sosial bagi masyarakat
yang terdampak wabah pandemik, dengan nilai yang bombastis—juga mencuat ke
publik akibat keserakahan (gaya hidup mewah) para pengurusnya, serta baru
diperiksa oleh aparatur penegak hukum setelah viral di publik—merupakan
cerminan konkret budaya atau mental-karakter masyarakat kita : korup, namun
secara lantang berteriak “anti korupsi”, alias bobrok dari atas hingga ke
bawah, dan dari bawah ke atas. Merujuk kembali sabda Sang Buddha,
pilihan ada di tangan Anda, ingin mengikuti arus kebodohan mental-karakter
masyarakat kita, atau “melawan arus”, dengan kutipan sebagai berikut:
“Para bhikkhu, ada empat jenis
orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang
yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah
menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan
yang tinggi.
(1) “Dan apakah orang yang mengikuti
arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan
perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.
(2) “Dan apakah orang yang melawan
arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau
melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan,
menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual
yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.