Menghakimi dan Mengkambing-Hitamkan Karma, sebuah
Pandangan Ekstrem yang Ditolak secara Tegas oleh Sang Buddha
Banyak Umat Buddhist Terjebak dalam Paradigma Ekstrem “Segala Sesuatunya Disebabkan / Diakibatkan oleh Karma”—Meski Sang Buddha telah secara Tegas Menolak Pandangan Demikian
Question: Ada kalangan non-Buddhist yang menghakimi umat Buddhist, semisal ketika umat Buddhist ini diperlakukan (secara) tidak adil atau tidak patut lantas menjadi marah dan memberontak atau melawan, pada saat itu juga ia dihakimi sebagai “sedang memetik karma buruk yang sedang berbuah sehingga disakiti oleh orang lain, karenanya tidak boleh marah ataupun melawan”. Mengapa ajaran Buddha, justru menjadi bumerang yang mendiskreditkan dan menghakimi kalangan umat Buddhist oleh kalangan lain yang secara serampangan menuding karma sebagai biang-keladinya untuk menyudutkan si umat Buddhist yang terluka ataupun tersakiti? Bahkan tidak sedikit kalangan internal umat Buddhist yang punya persepsi bahwa segala sesuatunya adalah karena karma, karma, dan karma. Apakah memang benar demikian, ajaran Buddhistik sebagaimana diajarkan oleh Buddha?
Brief Answer: Sang Buddha menolak segala bentuk dan segala
wujud pandangan ekstrem, termasuk pandangan ekstrem seperti “segala sesuatunya
karena Tuhan” (theisme), “segala sesuatunya berangkat dari kenihilan alias
tanpa ada sebab yang mendahului” (nihilisme), tidak terkecuali “segala
sesuatunya terjadi akibat karma yang sedang berbuah” (jainisme)—ketiganya
merupakan, meminjam perkataan Sang Buddha, tiga buah doktrin sektarian yang,
ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para bijaksana, dan dibawa
menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak berbuat.
Perihal sabda Sang Buddha bahwasannya kita terlahir
dari dan berkerabat dengan perbuatan—karma
atau kamma, dalam Bahasa Pali maupun
Sansekerta, secara harfiah bermakna “perbuatan”; yakni sebentuk aksi (verba),
bukan reaksi sebagaimana salah-kaprah banyak kalangan awam—kita sendiri, adalah
dalam rangka “perenungan” bagi diri kita sendiri, bukan untuk menghakimi
pihak lain yang sedang tertimpa musibah ataupun ketidakadilan, karena itulah
sutta yang dibabarkan oleh Sang Buddha mengenai hal tersebut diberi judul “perenungan
kerap kali”.
Penganut paham jainisme—yang ironisnya
menjangkiti pola berpikir sebagian kalangan internal umat Buddhist masa kini—berpendapat
bahwa seseorang mengalami perasaan-perasaan secara eksklusif disebabkan oleh kamma yang dilakukan di masa lalu. Merujuk
pada sumber otentik ajaran Sang Buddha, yakni sutta-pitaka dalam Tipitaka, Sang
Buddha menjelaskan delapan penyebab bagi penyakit atau penderitaan, hanya
salah satunya yang merupakan kematangan kamma
masa lalu. Hal yang sama, dengan perubahan seperlunya, berlaku pada kedua
doktrin berikutnya, yaitu, aktivitas Tuhan pencipta dan tanpa-penyebab sebagai
penyebab dialaminya sesuatu, dalam tiap-tiap kasus, para pelaku menghindari
tanggung jawab atas perbuatan-perbuatan mereka.
Ketika seseorang menghakimi apa yang dialami oleh
seseorang sebagai akibat karma yang bersangkutan sedang berbuah, pada
gilirannya ia yang menghakimi demikian akan mengkambing-hitamkan karma ketika
dirinya melakukan hal-hal tercela dan buruk seperti menyakiti, merugikan,
ataupun melukai pihak-pihak lainnya. Khusus menanggapi pandangan bahwa “segala
sesuatunya terjadi akibat karma”, pandangan mana di zaman India kuno dikenal
sebagai “jainisme”, telah ditolak oleh Sang Buddha secara tegas, dengan pembabaran
khotbah sebagaimana kutipan berikut:
(1) “Ada, para bhikkhu,
beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini:
‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh apa
yang telah dilakukan di masa lalu.’ (2) Ada para petapa dan brahmana
lainnya yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami
orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh
aktivitas Tuhan pencipta.’ (3) Dan ada para petapa dan brahmana lain lagi
yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang
ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya terjadi tanpa suatu
sebab atau kondisi.’
“Mereka yang mengandalkan
perbuatan masa lalu sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk
melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang
tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena mereka
tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak
boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka
sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar
ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang pertama pada para
petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.”.
PEMBAHASAN:
Sebenarnya Sang Buddha
telah sejak lama mengajarkan agar para siswa bhikkhu maupun siswa
perumah-tangga tidak terjebak dalam paradigma ekstrem “segala sesuatunya akibat
karma”, sebagaimana lengkapnya khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:
61 (1) Sektarian
“Para bhikkhu, ada tiga doktrin sektarian ini
yang, ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para bijaksana, dan
dibawa menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak berbuat. Apakah
tiga ini?
(1) “Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan brahmana
yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang
ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh apa
yang telah dilakukan di masa lalu.’ (2) Ada para petapa dan brahmana
lainnya yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami
orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh
aktivitas Tuhan pencipta.’ (3) Dan ada para petapa dan brahmana lain lagi
yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang
ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya terjadi tanpa
suatu sebab atau kondisi.’
[Note Kitab Komentar : Ini secara berturut-turut
adalah doktrin-doktrin dari Jainisme, Theistik, dan tanpa-penyebab.]
(1) “Para bhikkhu, Aku mendatangi para petapa dan
brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang
dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh
perbuatan-perbuatan masa lalu,’ dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah
bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ ketika Aku
menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya. Kemudian Aku berkata
kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah karena perbuatan masa lalu maka kalian
mungkin melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan
aktivitas seksual, berbohong, mengucapkan kata-kata yang memecah-belah, berkata
kasar, bergosip; maka kalian mungkin penuh kerinduan, memiliki pikiran berniat
buruk, dan menganut pandangan salah.’
[Note Kitab Komentar : Mereka berpendapat bahwa
seseorang mengalami perasaan perasaan secara eksklusif disebabkan oleh kamma yang dilakukan di masa lalu. Sehubungan
dengan hal ini, baca SN 36:21, IV 230-31, dimana Sang Buddha
menjelaskan delapan penyebab bagi penyakit atau penderitaan, hanya salah
satunya yang merupakan kematangan kamma
masa lalu.
Brahmāli menulis: “Poinnya di sini tampaknya adalah bahwa masing-masing dari cara berbuat
tidak bermanfaat ini berhubungan dengan perasaan-perasaan tertentu, dan bahwa
perasaan-perasaan (atau pengalaman-pengalaman) itu hanya dapat dialami melalui
perbuatan-perbuatan itu. Yang berlanjut dengan jika kammamu adalah sedemikian
sehingga engkau harus mengalami perasaan-perasaan yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan buruk itu, maka engkau harus melakukannya.”
Hal yang sama, dengan perubahan seperlunya, berlaku
pada kedua doktrin berikutnya, yaitu, aktivitas Tuhan pencipta dan
tanpa-penyebab. Dalam tiap-tiap kasus, para pelaku menghindari tanggung jawab
atas perbuatan-perbuatan mereka.]
“Mereka yang mengandalkan perbuatan masa lalu
sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk melakukan] apa
yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang tidak boleh
dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena mereka tidak
memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak
boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka
sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar
ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang pertama pada para
petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.
(2) “Kemudian, para bhikkhu, Aku mendatangi para
petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa
pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh
aktivitas Tuhan pencipta,’ dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa
kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ Ketika Aku
menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya. Kemudian Aku berkata
kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah karena aktivitas Tuhan pencipta maka
kalian mungkin melakukan pembunuhan … dan menganut pandangan salah.’
“Mereka yang mengandalkan aktivitas Tuhan
pencipta sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk
melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang
tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena
mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan
dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga
diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat
dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang ke dua
atas para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.
(3) “Kemudian, para bhikkhu, Aku mendatangi para
petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa
pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya terjadi tanpa suatu
sebab atau kondisi,’ dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa kalian
para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ Ketika Aku menanyakan hal
ini kepada mereka, mereka menegaskannya. Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau
begitu, adalah tanpa suatu penyebab atau kondisi maka kalian mungkin melakukan
pembunuhan … dan menganut pandangan salah.’
“Mereka yang mengandalkan ketiadaan penyebab dan
kondisi sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk melakukan]
apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang tidak boleh
dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena mereka tidak
memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak
boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka
sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar
ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang ke tiga atas para
petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.
“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga doktrin sektarian
itu yang, ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para
bijaksana, dan dibawa menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak
berbuat.
“Tetapi, para bhikkhu, Dhamma yang diajarkan olehKu
ini tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat
dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana. Dan apakah Dhamma yang
diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan,
dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?
{Note : Penerjemah lainnya, dari aslinya teks Bahasa
Pali menerjemahkannya sebagai : “Beliau
sejauh ini telah menunjukkan bahwa doktrin-doktrin sektarian ini, jika dibawa
pada kesimpulan, akan berakhir dalam tidak-berbuat, dan oleh karena itu kosong
dan tidak membebaskan, tidak penting. Sekarang Beliau menunjukkan bahwa Dhamma
yang Beliau ajarkan adalah penting dan membebaskan (sārabhāvañc’eva niyyānikabhāvañca).”]
“‘Ini adalah enam elemen’: ini, para bhikkhu, adalah
Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela
oleh para petapa dan brahmana bijaksana. ‘Ini adalah enam landasan bagi kontak’
… ‘Ini adalah delapan belas pemeriksaan pikiran’ … ‘Ini adalah empat kebenaran
mulia’: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang ini tidak
dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela
oleh para petapa dan brahmana bijaksana.
“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah enam elemen”: ini,
para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah …
tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan
apakah hal ini dikatakan? Ada enam elemen ini: elemen tanah, elemen air, elemen
api, elemen udara, elemen ruang, dan elemen kesadaran. Ketika dikatakan: ‘“Ini
adalah enam elemen”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu
yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana
bijaksana,’ adalah karena ini maka hal ini dikatakan.
“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah enam landasan bagi
kontak”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak
dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’
karena alasan apakah hal ini dikatakan? Ada enam landasan bagi kontak ini: mata
sebagai sebuah landasan bagi kontak, telinga sebagai sebuah landasan bagi
kontak, hidung sebagai sebuah landasan bagi kontak, lidah sebagai sebuah
landasan bagi kontak, badan sebagai sebuah landasan bagi kontak, dan pikiran sebagai
sebuah landasan bagi kontak. Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah enam landasan bagi
kontak”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak
dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’
adalah karena ini maka hal ini dikatakan.
“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah delapan belas
pemeriksaan pikiran”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku
yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana
bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Setelah melihat suatu
bentuk dengan mata, seseorang memeriksa bentuk yang menjadi landasan bagi
kegembiraan; ia memeriksa bentuk yang menjadi landasan bagi kesedihan; ia
memeriksa bentuk yang menjadi landasan bagi keseimbangan. Setelah mendengar
suatu suara dengan telinga … Setelah mencium suatu bau-bauan dengan hidung …
Setelah mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan suatu
objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali suatu fenomena pikiran dengan
pikiran, ia memeriksa fenomena pikiran tersebut yang menjadi landasan bagi
kegembiraan; ia memeriksa fenomena pikiran tersebut yang menjadi landasan bagi
kesedihan; ia memeriksa fenomena pikiran tersebut yang menjadi landasan bagi
keseimbangan. Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah delapan belas pemeriksaan
pikiran”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak
dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’
adalah karena ini maka hal ini dikatakan.
{Note : Penerjemah lain menjelaskan manopavicāra sebagai berikut: “Pemeriksaan pikiran atas delapan belas
kasus, menggunakan ‘kaki’ pemikiran dan pemeriksaan (vitakkavicārapādehi).”
Kata “kaki” (pāda) digunakan di sini karena vicāra aslinya bermakna “bepergian.”]
“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah empat kebenaran
mulia”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang ini
tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat
dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini
dikatakan? Dengan bergantung pada enam landasan maka munculnya embrio [di masa
depan] terjadi. Ketika munculnya embrio itu terjadi, maka ada batin-dan-bentuk;
dengan batin-dan-bentuk sebagai kondisi, maka ada enam landasan indria;
dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka ada kontak; dengan
kontak sebagai kondisi, maka ada perasaan. Sekarang adalah bagi seorang
yang merasakan maka Aku menyatakan: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini
adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’
dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’
[Note Kitab Komentar: Mengapakah Beliau memulai
dengan cara ini? Untuk memudahkan pemahaman. Karena Sang Tathāgata ingin
menjelaskan perputaran kedua belas kondisi, maka Beliau menjelaskan lingkaran
dengan istilah ‘munculnya embrio (di masa depan)’. Karena ketika lingkaran
telah ditunjukkan dengan munculnya embrio (di masa depan), maka bagian
selanjutnya akan mudah dipahami. Enam elemen siapakah yang berfungsi sebagai
kondisi, ibu atau ayah? Bukan keduanya, tetapi munculnya embrio (di masa
depan) terjadi dengan dikondisikan oleh enam elemen dari makhluk yang sedang
dilahirkan kembali.]
“Dan apakah, para bhikkhu, kebenaran mulia
penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan, penuaan adalah penderitaan, penyakit
adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan,
kesedihan, dan kesengsaraan adalah penderitaan; tidak mendapatkan apa yang
diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan
yang tunduk pada kemelekatan adalah penderitaan. Ini disebut kebenaran
mulia penderitaan.
“Dan apakah, para bhikkhu, kebenaran mulia asal-mula
penderitaan? Dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi, maka [muncul]
aktivitas-aktivitas berkehendak; dengan aktivitas-aktivitas berkehendak sebagai
kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka
batin-dan-bentuk; dengan batin-dan-bentuk sebagai kondisi, maka enam
landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka
kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai
kondisi, maka ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka
kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan
penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai
kondisi, maka muncul penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan,
kesedihan, dan kesengsaraan. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan
penderitaan ini. Ini disebut kebenaran mulia asal-mula penderitaan.
[Note Kitab Komentar : Ini mungkin adalah contoh
unik di mana kebenaran-kebenaran mulia asal mula dan lenyapnya penderitaan
dijelaskan melalui seluruh dua belas faktor kemunculan bergantungan. Pada SN
12:43, II 72-73, asal-mula (samudaya)
penderitaan dijelaskan melalui mata rantai dari kesadaran hingga ketagihan; lenyapnya
(atthaṅgama)
melalui lenyapnya mata rantai dari ketagihan hingga penuaan dan kematian.]
“Dan apakah, para bhikkhu, kebenaran mulia lenyapnya
penderitaan? Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan maka
lenyap pula aktivitas-aktivitas berkehendak; dengan lenyapnya
aktivitas-aktivitas berkehendak, maka lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya
kesadaran, maka lenyap pula batin-dan-bentuk; dengan lenyapnya
batin-dan-bentuk, maka lenyap pula enam landasan indria; dengan lenyapnya enam
landasan indria, maka lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, maka lenyap
pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula ketagihan; dengan
lenyapnya ketagihan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya
kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka
lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan
kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan.
Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Ini disebut kebenaran
mulia lenyapnya penderitaan.
“Dan apakah, para bhikkhu kebenaran mulia jalan
menuju lenyapnya penderitaan? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini,
yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar,
penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini
disebut kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan.
“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah empat kebenaran
mulia”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat
dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para
petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.