JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Akar Penyebab Penegakan Hukum yang DISKRIMINATIF dan TEBANG PILIH

Hanya PENDOSA, yang Butuh Iming-Iming Korup Bernama PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN / PENEBUSAN DOSA (Abolition of Sins), alias Umat Pemeluk AGAMA DOSA

Keberpihakan dan Subjektivitas, Mengakibatkan Berat Sebelah, Tegak Separuh Hati, Roboh Akhirnya. Terlebih Adanya Anasir KONFLIK KEPENTINGAN (Conflict of Interest) Umat Vs. NON-Umat

Question: Mengapa dan apa yang menjadi akar penyebabnya secara sosiologis, hukum tajam ke bawah dan disaat bersamaan tumpul ke atas, tajam kepada yang tidak membayar dan tumpul kepada yang mampu membayar, serta tajam kepada yang tidak dikenal sementara itu tumpul terhadap mereka yang dikenal ataupun kenalan?

Brief Answer: Bangsa kita di Indonesia, merupakan bangsa yang dikenal sebagai kaum “agamais”. Namun juga karena itulah, masyarakat kita meneladani suri tauladan yang dipertontonkan alias dicontohkan oleh Tuhan, yakni menghapus dosa-dosa para pendosa semata karena para pendosa tersebut pandai serta rajin menjilat (kaum “pendosa penjilat penuh dosa”). Tuhan, dengan demikian, bersikap diskriminatif dan “tebang pilih”, sama sekali tidak memiliki ataupun menghargai terhadap apa yang disebut sebagai “perspektif korban”, dimana seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap pendosa (kriminil, penjahat, penyamun, perampok, pencuri, koruptor, penipu, pembohong, dan segala tindakan tercela lainnya) alih-alih bersikap adil dan memberikan keadilan yang menjadi kepentingan / hak korban.

Figur Dewi Themis, sosok imajiner yang menjadi maskot dunia hukum, dewi yang menyandang pedang dan timbangan namun menutup matanya dengan kain agar tidak “tebang pilih” serta dalam rangka tidak diskriminatif, masih jauh lebih ideal daripada citra Tuhan versi agama-agama yang mempromosikan gaya hidup berdosa (ada “demand” penghapusan dosa, maka ada “supply” segunung dosa untuk diproduksi dan dikoleksi) alih-alih higienis dari dosa. Alhasil, para pendosa berbondong dan berlomba-lomba berbuat dosa, dalam rangka menikmati dan mencandu ideologi penuh kecurangan (lawan kata dari meritokrasi-egalitarian) bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, dan disaat bersamaan yakin seyakin-yakinnya akan masuk alam surga ketika mereka menemui ajal dan tiba di alam baka.

Dengan demikian, yang disebut sebagai “kaum yang merugi”, tidak lain tidak bukan ialah mereka yang : Pertama, kalangan suciwan yang higienis dari dosa (pemeluk “Agama SUCI”) maupun kaum ksatriawan yang penuh tanggung-jawab atas setiap perbuatannya (umat pemeluk “Agama KSATRIA”). Kedua, mereka yang tidak menceburkan diri ke dalam kubangan dosa ataupun menimbun diri dengan segunung dosa, sementara itu para dosawan berkubang serta menenggelamkan diri di dalam lumpur dosa—dalam rangka agar tidak mubazir iming-iming “too good to be true” demikian. Terhadap dosa dan maksiat, demikian kompromistik. Namun disaat bersamaan, terhadap kaum yang berbeda keyakinan, demikian intoleran.

Itulah juga sebabnya, bila ada diantara para pembaca yang merasa “adalah percuma melapor kepada polisi”, maka sejatinya “lebih percuma lagi melapor / mengadu kepada Tuhan”. Jangankan urusan hukum, Tuhan versi agama samawi bahkan digambarkan tidak ubahnya sesosok “bandar jud! bola”, dengan tidak membiarkan kedua tim kesebelasan bertarung secara sportif tanpa intervensi ataupun keberpihakan (favoritisasi), kemudian tercipta “pengaturan skor hasil pertandingan”—itulah yang pernah disebutkan oleh salah satu pelatih asal lokal tim nasional sepak bola Indonesia, yang memerintahkan anggota tim asuhannya untuk menyembah Tuhan sebelum turun ke lapangan pertandingan, seolah-olah yang sedang bertanding bola ialah “Tuhan versi Agama A” Versus “Tuhan versi Agama B”.

PEMBAHASAN:

Ada digambarkan sosok seorang manusia yang dikultuskan sebagai nabi suatu agama samawi, terdapat hati yang memancarkan sinar pada bagian dadanya, simbol welas-kasih, demikian klaim para umat mereka dengan merasa bangga dan superior. Namun, yang tidak mau mereka akui ialah, nabi yang mereka puja dan jadikan Tuhan tersebut, adalah sesosok sadistik-tiran-otoriter-diktator yang sangat diskriminatif. Terhadap umat manusia yang menjual dan menggadaikan jiwanya kepada sang nabi, sekalipun itu seorang penyamun yang sangat tercela dan buruk perbuatan-perbuatannya selama hidup, akan dimasukkan ke surga—tanpa pernah mau mendengarkan aspirasi atau mengakui hak-hak menuntut keadilan oleh kalangan korban dari para penjahat tersebut—sementara itu disaat bersamaan secara kejam-keji-ganas-premanis melemparkan manusia-manusia yang tidak bersedia menggadaikan jiwanya, ke dalam alam neraka. Itukah, yang disebut sebagai “welas asih”? Jika seperti itulah definisi “welas asih” dalam kamus agama yang bersangkutan, maka yang disebut sebagai “perbuatan iblis”, adalah yang semacam kegilaan apakah?

Yang disebut sebagai “Agama DOSA”, ialah semata atas pertimbangan bahwa hanya seorang pendosa yang butuh “penghapusan dosa”, dimana agama bersangkutan justru mempromosikan “penghapusan dosa” alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari dosa. Cobalah introspeksi diri dengan bertanya kepada diri Anda sendiri, bilamana agama-agama samawi tersebut tidak mengusung ideologi “penghapusan dosa” sebagai alat promosi, atau bahkan menolak pandangan demikian, bersediakah Anda memeluknya secara demikisn membuta? Sebaliknya, “Agama SUCI” ialah milik kaum suciwan yang penuh “self-control”, terlatih dalam kendali diri, murni dan bersih perbuatannya. Adapun “Agama KSATRIA”, hanya menjadi hak istimewa kaum ksatriawan yang meski masih dapat atau telah pernah berbuat keliru dengan menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak lainnya, baik akibat lalai ataupun kesengajaan, memilih untuk bertanggung-jawab terhadap kalangan korban mereka alih-alih “cuci tangan” ataupun melarikan diri. Selebihnya, ialah “Agama DOSA” dimana para pendosa menjadi umatnya alias umatnya ialah kalangan dosawan.

Kini, mari kita simak dengan merujuk langsung dogma-dogma dalam Agama Samawi, untuk para pembaca nilai sendiri sebagai “Agama DOSA yang bersumber dari Kitab DOSA” ataukah sejatinya merupakan “Agama SUCI yang bersumber dari Kitab SUCI”? Ingatlah bahwa pepatah klasik telah pernah menasehati kita, bahwa “don’t judge the book by the NAME”. Sekalipun diberikan merek sebagai “Kitab SUCI”, namun bila isi ajaran dogmatisnya justru berkebalikan dari kata “suci”, maka silahkan Anda sendiri berdasarkan nurani dan akal sehat Anda:

- Menurut Lukas dalam bab 23, salah satu dari dua orang penjahat yang disalibkan bersama Yesus menantang-Nya. ‘Seorang dari penjahat yang digantung itu menghujat Dia, katanya : “Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!

Tetapi yang seorang menegur dia, katanya : “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah.” [NOTE : menurut litelatur, penjahat tersebut merupakan seorang penyamun. Bagaimana mungkin, seorang penyamun tahu serta membedakan mana orang yang baik dan mana orang yang bersalah?]

Lalu ia berkata: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja” (Lukas 23: 39-41).

Apa yang Yesus lakukan kemudian adalah contoh yang indah dari pengertian, penerimaan, cinta dan belas-kasihan yang dibungkus dalam satu tindakan. Ini adalah gambaran kehidupan Yesus, kekuatan dalam kesulitan. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya, hari ini juga Engkau berada bersama Aku di surga” (Lukas: 23 :43). Kita dapat belajar dari penjahat ini bahwa tidak ada kata terlambat untuk bertobat dan memohon kepada Tuhan untuk menerima kita. Yesus membersihkan orang ini dari dosa-dosanya, menerima dia dengan hati terbuka, dan memulihkannya tanpa syarat. Dia menganugerahkan kepada orang berdosa itu karunia hidup kekal.

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim].

- “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

Dahulu, sebelum agama-agama samawi dilahirkan dan diperkenalkan ke dunia ini, tiada pendosa (penjahat) yang yakin akan masuk alam surgawi setelah melakukan serangkaian kejahatan selama hidupnya sebagai seorang manusia, dimana orang-orang baik dapat merasa yakin akan masuk alam surgawi setelah sepanjang hidup sebagai manusia telah banyak menanam benih-benih kebajikan. Kini, setelah agama-agama samawi diperkenalkan lengkap dengan iming-iming dogma “penghapusan dosa”, atau apapun itu istilahnya yang merujuk pada upaya “cuci dosa”, para pendosa berbondong-bondong memeluk agama-agama samawi. Sebaliknya pula, kini setelah agama samawi lahir, orang-orang baik justru dilemparkan dan dicampakkan ke dalam alam neraka, sehingga alam surgawi justru dimonopoli oleh para kaum “pendosa penjilat penuh dosa”. Karenanya, merupakan mitos belaka bila terdapat klaim adanya “juru selamat” diwartakan oleh agama samawi, yang ada ialah “juru mala petaka” bagi peradaban umat manusia, mengingat “standar moralitas” umat manusia justru bergeser, terkikis, dan terdegradasi.

Para pendosa tersebut selama ini berdelusi dan mengharap, adanya agama yang dapat membawa mereka ke alam surga setelah kematian, sekalipun sepanjang hidupnya banyak menanam kejahatan. Ada “demand” (keinginan / kehendak liar kalangan pendosa, yakni agar mereka bisa “cuci dosa” dan “masuk surga”), maka ada “supply” (tidak lain ialah berupa tawaran dogma “penghampusan dosa”)—begitulah “hukum pasar” juga berlaku untuk konstruksi sebuah keyakinan-keagamaan. Alhasil agama-agama samawi pun tumbuh pesat dalam waktu singkat, mengingat dunia ini tidak pernah kekurangan para dosawan, dimana para pendosawan menjadi pecandu sekaligus pelanggan tetap konsep-konsep dogma “penghapusan dosa” yang diusung oleh “Agama DOSA”. Itulah juga sebabnya, yang disebut sebagai “agamais” tidak identik dengan “Agama SUCI”.

Kontras dengan itu, Buddhisme sama sekali tidak mengusung dogma semacam “penghapusan dosa”, akan tetapi sebaliknya, yakni prinsip meritokrasi ala egalitarian, dimana mereka yang menanam yang baik akan memetik kebaikan, dan yang selama ini menanam kejahatan akan memetik kejahatan. Kita dapat menyebutnya sebagai “hukum tentang konsekuensi dibalik setiap ‘pilihan bebas’”. Seseorang dimuliakan, berkat perbuatannya sendiri. Sebaliknya, seseorang direndahkan martabatnya, juga berkat perbuatannya sendiri. Terdapat potensi bahaya dibalik setiap bentuk perbuatan buruk. Dalam perspektif itulah, memulikan Tuhan bukan dengan jalan menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”, namun dengan jalan menjadi seorang yang mulia. Kita mengharumkan nama pencipta atau orangtua kita, dengan cara menjadi individu yang berkontribusi positif bagi bangsa dan semesta. Sebaliknya, kita mencoreng nama mereka pun lewat perbuatan kita.

Bila sosok Tuhan dicitrakan sebagai subjektif ala personifikasi sesosok individu-manusia demikian, yang dapat merasa senang ataupun marah, suka atau tidak suka, gembira ataupun sedih, tertawa atau murka, pada gilirannya Tuhan versi semacam tersebut akan terjebak ke dalam lubang jebakan yang bernama “konflik kepentingan” : dimana umat yang menyembah Tuhan akan dianak-emaskan, sementara itu kalangan korban maupun umat manusia yang tidak turut menggadaikan jiwanya (selalu) akan bernasib dianak-tirikan, tersisih dan terdegradasi. Sebaliknya, bila citra sosok Tuhan adalah objektif, maka Tuhan tidak akan memiliki kepentingan untuk berpihak pada suatu kaum tertentu, dimana kesemua dan selebihnya ialah hukum semesta yang mengaturnya sebagaimana hukum alam berperan sebagai sentral dalam memutar roda dunia ini lengkap dengan segenap kehidupan di dalamnya.

Pengharapan yang delusif, dapat begitu menjebak serta merusak, sebagaimana disebutkan dalam khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan inspiratif bahwa “orang yang mencari-cari penghapusan dosa merupakan orang-orang yang tanpa harapan”, sebagai berikut:

13 (3) Seorang Bhikkhu

“Para bhikkhu, ada tiga jenis individu ini terdapat di dunia. Apakah tiga ini? Seorang yang tanpa pengharapan, seorang yang penuh dengan pengharapan, dan seorang yang telah mengatasi pengharapan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang yang tanpa pengharapan? Di sini, seorang terlahir kembali dalam keluarga rendah – sebuah keluarga caṇḍāla, pekerja bambu, pemburu, pembuat kereta, atau pemungut bunga - seorang yang miskin, dengan sedikit makanan dan minuman, yang bertahan dengan susah-payah, di mana makanan dan pakaian diperoleh dengan susah-payah; dan ia berpenampilan buruk, tidak menarik untuk dilihat, cebol, dengan banyak penyakit: buta, timpang, pincang, atau lumpuh. Ia tidak memperoleh makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan; kalung-kalung bunga, wewangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Ia mendengar: ‘Para khattiya telah menobatkan khattiya itu.’ Ia tidak berpikir: ‘Kapankah para khattiya menobatkan aku juga?’ Ini disebut orang tanpa pengharapan.

[Kitab Komentar : Ini semuanya dianggap sebagai pekerjaan rendah yang hanya sesuai bagi kelompok sosial terendah. Kaum caṇḍāla adalah komunitas yang paling hina.]

(2) “Dan apakah orang yang penuh pengharapan? [108] Di sini, putra sulung dari seorang raja khattiya yang sah, seorang yang pasti dinobatkan tetapi masih belum dinobatkan, telah mencapai ketidak-goyahan. Ia mendengar: ‘Para khattiya telah menobatkan khattiya itu.’ Ia berpikir: ‘Kapankah para khattiya menobatkan aku juga?’ Ini disebut orang yang penuh pengharapan.

[Kitab Komentar : Ketika yang tertua – seorang yang seharusnya dinobatkan tetapi masih belum dinobatkan – masih bayi, maka ia tidak memiliki keinginan untuk dinobatkan. Tetapi ketika ia mencapai usia enam belas dan janggutnya mulai tumbuh, ia disebut ‘seorang yang telah mencapai ketidak-goyahan.’ Ia mampu memerintah suatu wilayah yang luas, oleh karena itu (Sang Buddha) mengatakan ‘seorang yang telah mencapai ketidak-goyahan.’]

(3) “Dan apakah orang yang telah mengatasi pengharapan? Di sini, seorang raja khattiya yang sah mendengar: ‘Khattiya itu telah dinobatkan oleh para khattiya.’ Ia tidak berpikir: ‘Kapankah para khattiya menobatkan aku juga?’ Karena alasan apakah? Karena pengharapan masa lalunya agar dinobatkan telah memudar ketika ia dinobatkan. Ini disebut orang yang telah mengatasi pengharapan.

“Ini adalah ketiga jenis individu itu yang terdapat di dunia ini.

“Demikian pula, para bhikkhu, ada tiga jenis orang terdapat di antara para bhikkhu. Apakah tiga ini? Seorang yang tanpa pengharapan, seorang yang penuh dengan pengharapan, dan seorang yang telah mengatasi pengharapan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang yang tanpa pengharapan? Di sini, seseorang adalah tidak bermoral, berkarakter buruk, berperilaku tidak murni dan mencurigakan, merahasiakan perbuatannya, bukan seorang petapa walaupun mengaku sebagai petapa, tidak hidup selibat walaupun mengaku hidup selibat, busuk dalam batinnya, jahat, rusak. Ia mendengar: ‘Bhikkhu itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Ia tidak berpikir: ‘Kapankah aku juga, dengan hancurnya noda-noda, akan merealisasi untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya?’ Ini disebut orang yang tanpa pengharapan.

(2) “Dan apakah orang yang penuh pengharapan? Di sini, seorang bhikkhu adalah bermoral, berkarakter baik. Ia [109] mendengar: ‘Bhikkhu itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Ia berpikir: ‘Kapankah aku juga, dengan hancurnya noda-noda, akan merealisasi untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya?’ Ini disebut orang yang penuh pengharapan.

(3) “Dan apakah orang yang telah mengatasi pengharapan? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan. Ia mendengar: ‘Bhikkhu itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Ia tidak berpikir: ‘Kapankah aku juga, dengan hancurnya noda-noda, akan merealisasi untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya?’ Karena alasan apakah? Karena pengharapannya di masa lalu atas kebebasannya telah memudar ketika ia terbebaskan. Ini disebut orang yang telah mengatasi pengharapan.

“Ini adalah ketiga jenis orang itu terdapat di antara para bhikkhu.”