Hanya PENDOSA, yang Butuh Iming-Iming Korup Bernama PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN / PENEBUSAN DOSA (Abolition of Sins), alias Umat Pemeluk AGAMA DOSA
Keberpihakan dan Subjektivitas, Mengakibatkan Berat
Sebelah, Tegak Separuh Hati, Roboh Akhirnya. Terlebih Adanya Anasir KONFLIK
KEPENTINGAN (Conflict of Interest)
Umat Vs. NON-Umat
Question: Mengapa dan apa yang menjadi akar penyebabnya secara sosiologis, hukum tajam ke bawah dan disaat bersamaan tumpul ke atas, tajam kepada yang tidak membayar dan tumpul kepada yang mampu membayar, serta tajam kepada yang tidak dikenal sementara itu tumpul terhadap mereka yang dikenal ataupun kenalan?
Brief Answer: Bangsa kita di Indonesia, merupakan bangsa yang
dikenal sebagai kaum “agamais”. Namun juga karena itulah, masyarakat kita
meneladani suri tauladan yang dipertontonkan alias dicontohkan oleh Tuhan,
yakni menghapus dosa-dosa para pendosa semata karena para pendosa tersebut pandai
serta rajin menjilat (kaum “pendosa penjilat penuh dosa”). Tuhan, dengan
demikian, bersikap diskriminatif dan “tebang pilih”, sama sekali tidak memiliki
ataupun menghargai terhadap apa yang disebut sebagai “perspektif korban”,
dimana seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap pendosa (kriminil, penjahat,
penyamun, perampok, pencuri, koruptor, penipu, pembohong, dan segala tindakan
tercela lainnya) alih-alih bersikap adil dan memberikan keadilan yang menjadi
kepentingan / hak korban.
Figur Dewi Themis, sosok imajiner yang menjadi
maskot dunia hukum, dewi yang menyandang pedang dan timbangan namun menutup
matanya dengan kain agar tidak “tebang pilih” serta dalam rangka tidak
diskriminatif, masih jauh lebih ideal daripada citra Tuhan versi agama-agama yang
mempromosikan gaya hidup berdosa (ada “demand”
penghapusan dosa, maka ada “supply” segunung
dosa untuk diproduksi dan dikoleksi) alih-alih higienis dari dosa. Alhasil,
para pendosa berbondong dan berlomba-lomba berbuat dosa, dalam rangka menikmati
dan mencandu ideologi penuh kecurangan (lawan kata dari
meritokrasi-egalitarian) bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa”, dan disaat bersamaan yakin seyakin-yakinnya akan masuk alam surga ketika
mereka menemui ajal dan tiba di alam baka.
Dengan demikian, yang disebut sebagai “kaum yang
merugi”, tidak lain tidak bukan ialah mereka yang : Pertama, kalangan suciwan yang
higienis dari dosa (pemeluk “Agama SUCI”) maupun kaum ksatriawan yang penuh
tanggung-jawab atas setiap perbuatannya (umat pemeluk “Agama KSATRIA”). Kedua,
mereka yang tidak menceburkan diri ke dalam kubangan dosa ataupun menimbun diri
dengan segunung dosa, sementara itu para dosawan berkubang serta menenggelamkan
diri di dalam lumpur dosa—dalam rangka agar tidak mubazir iming-iming “too good to be true” demikian. Terhadap
dosa dan maksiat, demikian kompromistik. Namun disaat bersamaan, terhadap kaum
yang berbeda keyakinan, demikian intoleran.
Itulah juga sebabnya, bila ada diantara para
pembaca yang merasa “adalah percuma melapor kepada polisi”, maka sejatinya “lebih
percuma lagi melapor / mengadu kepada Tuhan”. Jangankan urusan hukum, Tuhan versi
agama samawi bahkan digambarkan tidak ubahnya sesosok “bandar jud! bola”,
dengan tidak membiarkan kedua tim kesebelasan bertarung secara sportif tanpa
intervensi ataupun keberpihakan (favoritisasi), kemudian tercipta “pengaturan
skor hasil pertandingan”—itulah yang pernah disebutkan oleh salah satu pelatih asal
lokal tim nasional sepak bola Indonesia, yang memerintahkan anggota tim
asuhannya untuk menyembah Tuhan sebelum turun ke lapangan pertandingan, seolah-olah
yang sedang bertanding bola ialah “Tuhan versi Agama A” Versus “Tuhan versi
Agama B”.
PEMBAHASAN:
Ada digambarkan sosok seorang
manusia yang dikultuskan sebagai nabi suatu agama samawi, terdapat hati yang
memancarkan sinar pada bagian dadanya, simbol welas-kasih, demikian klaim para
umat mereka dengan merasa bangga dan superior. Namun, yang tidak mau mereka
akui ialah, nabi yang mereka puja dan jadikan Tuhan tersebut, adalah sesosok
sadistik-tiran-otoriter-diktator yang sangat diskriminatif. Terhadap umat
manusia yang menjual dan menggadaikan jiwanya kepada sang nabi, sekalipun itu
seorang penyamun yang sangat tercela dan buruk perbuatan-perbuatannya selama hidup,
akan dimasukkan ke surga—tanpa pernah mau mendengarkan aspirasi atau mengakui hak-hak
menuntut keadilan oleh kalangan korban dari para penjahat tersebut—sementara
itu disaat bersamaan secara kejam-keji-ganas-premanis melemparkan manusia-manusia
yang tidak bersedia menggadaikan jiwanya, ke dalam alam neraka. Itukah, yang
disebut sebagai “welas asih”? Jika seperti itulah definisi “welas asih” dalam
kamus agama yang bersangkutan, maka yang disebut sebagai “perbuatan iblis”,
adalah yang semacam kegilaan apakah?
Yang disebut sebagai “Agama
DOSA”, ialah semata atas pertimbangan bahwa hanya seorang pendosa yang butuh “penghapusan
dosa”, dimana agama bersangkutan justru mempromosikan “penghapusan dosa” alih-alih
mengkampanyekan gaya hidup higienis dari dosa. Cobalah introspeksi diri dengan
bertanya kepada diri Anda sendiri, bilamana agama-agama samawi tersebut tidak
mengusung ideologi “penghapusan dosa” sebagai alat promosi, atau bahkan menolak
pandangan demikian, bersediakah Anda memeluknya secara demikisn membuta? Sebaliknya,
“Agama SUCI” ialah milik kaum suciwan yang penuh “self-control”, terlatih dalam kendali diri, murni dan bersih
perbuatannya. Adapun “Agama KSATRIA”, hanya menjadi hak istimewa kaum
ksatriawan yang meski masih dapat atau telah pernah berbuat keliru dengan
menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak lainnya, baik akibat lalai ataupun
kesengajaan, memilih untuk bertanggung-jawab terhadap kalangan korban mereka alih-alih
“cuci tangan” ataupun melarikan diri. Selebihnya, ialah “Agama DOSA” dimana
para pendosa menjadi umatnya alias umatnya ialah kalangan dosawan.
Kini, mari kita simak dengan
merujuk langsung dogma-dogma dalam Agama Samawi, untuk para pembaca nilai
sendiri sebagai “Agama DOSA yang bersumber dari Kitab DOSA” ataukah sejatinya
merupakan “Agama SUCI yang bersumber dari Kitab SUCI”? Ingatlah bahwa pepatah
klasik telah pernah menasehati kita, bahwa “don’t
judge the book by the NAME”. Sekalipun diberikan merek sebagai “Kitab SUCI”,
namun bila isi ajaran dogmatisnya justru berkebalikan dari kata “suci”, maka
silahkan Anda sendiri berdasarkan nurani dan akal sehat Anda:
- Menurut Lukas dalam bab 23,
salah satu dari dua orang penjahat yang disalibkan bersama Yesus menantang-Nya.
‘Seorang dari penjahat yang digantung itu menghujat Dia, katanya : “Bukankah Engkau adalah Kristus?
Selamatkanlah diri-Mu dan kami!”
Tetapi yang seorang menegur dia, katanya : “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada
Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya
dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita,
tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah.” [NOTE : menurut
litelatur, penjahat tersebut merupakan seorang penyamun. Bagaimana mungkin,
seorang penyamun tahu serta membedakan mana orang yang baik dan mana orang yang
bersalah?]
Lalu ia berkata: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja”
(Lukas 23: 39-41).
Apa yang Yesus lakukan kemudian adalah contoh
yang indah dari pengertian, penerimaan, cinta dan belas-kasihan yang dibungkus
dalam satu tindakan. Ini adalah gambaran kehidupan Yesus, kekuatan dalam
kesulitan. “Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya, hari ini juga Engkau berada bersama Aku di surga”
(Lukas: 23 :43). Kita dapat belajar dari penjahat ini bahwa tidak ada kata
terlambat untuk bertobat dan memohon kepada Tuhan untuk menerima kita. Yesus
membersihkan orang ini dari dosa-dosanya, menerima dia dengan hati terbuka, dan
memulihkannya tanpa syarat. Dia menganugerahkan kepada orang berdosa itu
karunia hidup kekal.
- Aisyah bertanya kepada
Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah
SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang?
Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku
menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim].
- “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan
kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al
Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira,
bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun
dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga
berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
Dahulu, sebelum agama-agama samawi
dilahirkan dan diperkenalkan ke dunia ini, tiada pendosa (penjahat) yang yakin
akan masuk alam surgawi setelah melakukan serangkaian kejahatan selama hidupnya
sebagai seorang manusia, dimana orang-orang baik dapat merasa yakin akan masuk
alam surgawi setelah sepanjang hidup sebagai manusia telah banyak menanam benih-benih
kebajikan. Kini, setelah agama-agama samawi diperkenalkan lengkap dengan iming-iming
dogma “penghapusan dosa”, atau apapun itu istilahnya yang merujuk pada upaya “cuci
dosa”, para pendosa berbondong-bondong memeluk agama-agama samawi. Sebaliknya
pula, kini setelah agama samawi lahir, orang-orang baik justru dilemparkan dan
dicampakkan ke dalam alam neraka, sehingga alam surgawi justru dimonopoli oleh
para kaum “pendosa penjilat penuh dosa”. Karenanya, merupakan mitos belaka bila
terdapat klaim adanya “juru selamat” diwartakan oleh agama samawi, yang ada
ialah “juru mala petaka” bagi peradaban umat manusia, mengingat “standar
moralitas” umat manusia justru bergeser, terkikis, dan terdegradasi.
Para pendosa tersebut selama
ini berdelusi dan mengharap, adanya agama yang dapat membawa mereka ke alam
surga setelah kematian, sekalipun sepanjang hidupnya banyak menanam kejahatan.
Ada “demand” (keinginan / kehendak
liar kalangan pendosa, yakni agar mereka bisa “cuci dosa” dan “masuk surga”),
maka ada “supply” (tidak lain ialah
berupa tawaran dogma “penghampusan dosa”)—begitulah “hukum pasar” juga berlaku
untuk konstruksi sebuah keyakinan-keagamaan. Alhasil agama-agama samawi pun
tumbuh pesat dalam waktu singkat, mengingat dunia ini tidak pernah kekurangan
para dosawan, dimana para pendosawan menjadi pecandu sekaligus pelanggan tetap konsep-konsep
dogma “penghapusan dosa” yang diusung oleh “Agama DOSA”. Itulah juga sebabnya,
yang disebut sebagai “agamais” tidak identik dengan “Agama SUCI”.
Kontras dengan itu, Buddhisme
sama sekali tidak mengusung dogma semacam “penghapusan dosa”, akan tetapi
sebaliknya, yakni prinsip meritokrasi ala egalitarian, dimana mereka yang
menanam yang baik akan memetik kebaikan, dan yang selama ini menanam kejahatan
akan memetik kejahatan. Kita dapat menyebutnya sebagai “hukum tentang
konsekuensi dibalik setiap ‘pilihan bebas’”. Seseorang dimuliakan, berkat
perbuatannya sendiri. Sebaliknya, seseorang direndahkan martabatnya, juga
berkat perbuatannya sendiri. Terdapat potensi bahaya dibalik setiap bentuk perbuatan
buruk. Dalam perspektif itulah, memulikan Tuhan bukan dengan jalan menjadi
seorang “pendosa penjilat penuh dosa”, namun dengan jalan menjadi seorang yang
mulia. Kita mengharumkan nama pencipta atau orangtua kita, dengan cara
menjadi individu yang berkontribusi positif bagi bangsa dan semesta. Sebaliknya,
kita mencoreng nama mereka pun lewat perbuatan kita.
Bila sosok Tuhan dicitrakan
sebagai subjektif ala personifikasi sesosok individu-manusia demikian, yang
dapat merasa senang ataupun marah, suka atau tidak suka, gembira ataupun sedih,
tertawa atau murka, pada gilirannya Tuhan versi semacam tersebut akan terjebak
ke dalam lubang jebakan yang bernama “konflik kepentingan” : dimana umat yang
menyembah Tuhan akan dianak-emaskan, sementara itu kalangan korban maupun umat
manusia yang tidak turut menggadaikan jiwanya (selalu) akan bernasib dianak-tirikan,
tersisih dan terdegradasi. Sebaliknya, bila citra sosok Tuhan adalah objektif,
maka Tuhan tidak akan memiliki kepentingan untuk berpihak pada suatu kaum
tertentu, dimana kesemua dan selebihnya ialah hukum semesta yang mengaturnya
sebagaimana hukum alam berperan sebagai sentral dalam memutar roda dunia ini
lengkap dengan segenap kehidupan di dalamnya.
Pengharapan yang delusif, dapat
begitu menjebak serta merusak, sebagaimana disebutkan dalam khotbah Sang
Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical
Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan inspiratif bahwa “orang yang mencari-cari
penghapusan dosa merupakan orang-orang yang tanpa harapan”, sebagai berikut:
13 (3) Seorang Bhikkhu
“Para bhikkhu, ada tiga jenis
individu ini terdapat di dunia. Apakah tiga ini? Seorang yang tanpa
pengharapan, seorang yang penuh dengan pengharapan, dan seorang yang telah
mengatasi pengharapan.
(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang
yang tanpa pengharapan? Di sini, seorang terlahir kembali dalam keluarga
rendah – sebuah keluarga caṇḍāla, pekerja bambu, pemburu, pembuat kereta, atau pemungut bunga -
seorang yang miskin, dengan sedikit makanan dan minuman, yang bertahan dengan
susah-payah, di mana makanan dan pakaian diperoleh dengan susah-payah; dan ia
berpenampilan buruk, tidak menarik untuk dilihat, cebol, dengan banyak
penyakit: buta, timpang, pincang, atau lumpuh. Ia tidak memperoleh makanan,
minuman, pakaian, dan kendaraan; kalung-kalung bunga, wewangian, dan salep;
tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Ia mendengar: ‘Para khattiya
telah menobatkan khattiya itu.’ Ia tidak berpikir: ‘Kapankah para khattiya
menobatkan aku juga?’ Ini disebut orang tanpa pengharapan.
[Kitab Komentar : Ini semuanya
dianggap sebagai pekerjaan rendah yang hanya sesuai bagi kelompok sosial
terendah. Kaum caṇḍāla adalah komunitas yang
paling hina.]
(2) “Dan apakah orang yang
penuh pengharapan? [108] Di sini, putra sulung dari seorang raja khattiya
yang sah, seorang yang pasti dinobatkan tetapi masih belum dinobatkan, telah
mencapai ketidak-goyahan. Ia mendengar: ‘Para khattiya telah menobatkan
khattiya itu.’ Ia berpikir: ‘Kapankah para khattiya menobatkan aku juga?’ Ini
disebut orang yang penuh pengharapan.
[Kitab Komentar : Ketika yang tertua
– seorang yang seharusnya dinobatkan tetapi masih belum dinobatkan – masih
bayi, maka ia tidak memiliki keinginan untuk dinobatkan. Tetapi ketika ia mencapai
usia enam belas dan janggutnya mulai tumbuh, ia disebut ‘seorang yang telah
mencapai ketidak-goyahan.’ Ia mampu memerintah suatu wilayah yang luas, oleh
karena itu (Sang Buddha) mengatakan ‘seorang yang telah mencapai
ketidak-goyahan.’]
(3) “Dan apakah orang yang
telah mengatasi pengharapan? Di sini, seorang raja khattiya yang sah
mendengar: ‘Khattiya itu telah dinobatkan oleh para khattiya.’ Ia tidak
berpikir: ‘Kapankah para khattiya menobatkan aku juga?’ Karena alasan apakah?
Karena pengharapan masa lalunya agar dinobatkan telah memudar ketika ia
dinobatkan. Ini disebut orang yang telah mengatasi pengharapan.
“Ini adalah ketiga jenis
individu itu yang terdapat di dunia ini.
“Demikian pula, para bhikkhu,
ada tiga jenis orang terdapat di antara para bhikkhu. Apakah tiga ini? Seorang
yang tanpa pengharapan, seorang yang penuh dengan pengharapan, dan seorang yang
telah mengatasi pengharapan.
(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang
yang tanpa pengharapan? Di sini, seseorang adalah tidak bermoral,
berkarakter buruk, berperilaku tidak murni dan mencurigakan, merahasiakan
perbuatannya, bukan seorang petapa walaupun mengaku sebagai petapa, tidak hidup
selibat walaupun mengaku hidup selibat, busuk dalam batinnya, jahat, rusak.
Ia mendengar: ‘Bhikkhu itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk
dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan
pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah
memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Ia tidak berpikir: ‘Kapankah aku juga,
dengan hancurnya noda-noda, akan merealisasi untuk diriku sendiri dengan
pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda,
kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di
dalamnya?’ Ini disebut orang yang tanpa pengharapan.
(2) “Dan apakah orang yang
penuh pengharapan? Di sini, seorang bhikkhu adalah bermoral, berkarakter
baik. Ia [109] mendengar: ‘Bhikkhu itu, dengan hancurnya noda-noda, telah
merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan
ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan
setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Ia berpikir: ‘Kapankah aku juga,
dengan hancurnya noda-noda, akan merealisasi untuk diriku sendiri dengan
pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda,
kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di
dalamnya?’ Ini disebut orang yang penuh pengharapan.
(3) “Dan apakah orang yang
telah mengatasi pengharapan? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang
Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan. Ia mendengar: ‘Bhikkhu
itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan
pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda,
kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di
dalamnya.’ Ia tidak berpikir: ‘Kapankah aku juga, dengan hancurnya noda-noda,
akan merealisasi untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam
kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui
kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya?’ Karena alasan
apakah? Karena pengharapannya di masa lalu atas kebebasannya telah memudar
ketika ia terbebaskan. Ini disebut orang yang telah mengatasi pengharapan.
“Ini adalah ketiga jenis orang
itu terdapat di antara para bhikkhu.”