JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Perihal Surat Dakwaan dan Sifat Terikatnya Hakim pada Pasal-Pasal yang Didakwakan

Hakim dapat Menyimpangi Ancaman Pidana Minimum yang Tercantum dalam Pasal-Pasal dalam Dakwaan

Pasal-Pasal Pidana yang Tercantum dalam Surat Dakwaan, Bersifat Mengikat Hakim dalam Memutus Perkara Pidana, namun Tidak Ancaman Pidana Minimumnya

Hakim Terikat namun Bebas, Bebas namun Terikat

Question: Terkadang, antara isi pasal pidana yang satu dan pasal pidana lainnya dari Undang-Undang dengan tema yang sama, ataupun antara pasal pidana Undang-Undang yang satu dan pasal pidana Undang-Undang lainnya, dapat begitu ambigu, dalam artian sukar untuk dilakukan diferensiasi antara keduanya, karena dalam praktiknya ialah suatu kejadian pidana bisa saja bersinggungan dengan irisan sebuah Undang-Undang dan Undang-Undang lainnya. Sebagai contoh, dalam kasus-kasus seperti tindak pidana kekerasan seksual, dimana korbannya ialah anak yang masih dibawah umur, maka apakah Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) ataukah Undang-Undang tentang Perlindungan Anak yang akan dipakai dan didakwakan oleh Jaksa maupun yang dipilih oleh hakim dalam memutus?

Brief Answer: Sejatinya bukan hanya pihak Terdakwa dan penasehat hukumnya maupun kalangan hakim yang dipusingkan dalam kaitan pasal pidana manakah dari Undang-Undang yang sama ataupun dari undang-undang yang berbeda, kalangan internal profesi Jaksa / Penuntut Umum di Kejaksaan pun dipusingkan oleh hal yang sama. Namun, kini perdebatan penuh ambigu ataupun ambivalensi demikian sudah tidak lagi relevan, mengingat dalam hal ini kalangan hakim diberi ruang fleksibel untuk berskap pragmatis menyikapi pasal-pasal yang disajikan Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan. Meski demikian, satu-satunya ruang gerak bebas bagi hakim untuk menentukan dan menjadi domain mutlak kalangan hakim yang memeriksa dan memutus perkara ialah, terkait norma hukum acara—terutama hukum acara pidana khusus.

PEMBAHASAN:

Setidaknya, telah terdapat tiga buah norma hukum acara pidana yang dibentuk oleh Mahkamah Agung selaku kepala dari lembaga kehakiman di Indonesia, tepatnya terkait rumusan pasal dalam surat dakwaan kalangan Jaksa Penuntut Umum, yakni:

1. SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2012 tentang Rumusan Rapat Pleno Mahkamah Agung RI:

“Dapatkah diterapkan Pasal 55 KUHP sebagaimana rumusan yang disusun JPU, jika Terdakwanya hanyalah seorang diri dan tidak ada Terdakwa lain? Bagaimana ajaran Deelnemingsleer, yang mensyaratkan bahwa ketentuan Pasal 55 KUHP baru diterapkan apabila terdakwanya lebih dari 1 (satu) orang jadi mutlak 2 atau tiga orang. Mahkamah Agung RI selaku judex juris perlu meluruskan hal ini guna terciptanya penerapan hukum yang benar!

Pleno menjawab : Hakim tidak perlu menyikapi surat dakwaan JPU. Karena penyusunan surat dakwaan merupakan kewenangan JPU.”

2. RUMUSAN HUKUM KAMAR PIDANA TAHUN 2015 (SEMA NOMOR 03 TAHUN 2018), telah menggariskan norma serupa sebagai berikut:

“Hakim memeriksa dan memutus perkara harus didasarkan kepada Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Unium (Pasal 182 ayat 3, dan 4 KUHAP. Jaksa mendakwa dengan Pasal 111 atau Pasal 112 Unclang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika namun berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan terbukti Pasal 127 Unclang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mana pasal ini tidak didakwakan, Terdakwa terbukti sebagai pemakai dan jumlahnya relatif kecil (SEMA Nomor 4 Tahun 2010], maka Hakim memutus sesuai surat dakwaan tetapi dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan membuat pertimbangan yang cukup.”

3. RUMUSAN HUKUM KAMAR PIDANA TAHUN 2017 (SEMA NOMOR I TAHUN 2017), telah menegaskan hukum acara pidana berikut:

a. Dalam hal penuntut umum tidak mendakwakan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tetapi fakta hukum yang terungkap di persidangan ternyata terdakwa terbukti sebagai Penyalah Guna Narkotika Golongan I bagi dirinya sendiri, Mahkamah Agung tetap konsisten pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2015 angka 1, sebab selain hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara tetap mendasarkan putusannya pada fakta hukum yang terbukti di persidangan, musyawarah juga harus didasarkan atas surat dakwaan sebagaimana dimaksud Pasal 182 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP.

b. Dalam hal terdakwa tidak tertangkap tangan sedang memakai narkotika dan pada terdakwa ditemukan barang bukti narkotika yang jumlahnya / beratnya relatif sedikit (sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010) serta basil tes urine terdakwa positif mengandung Metarnphetamlne, namun penuntut umum tidak mendakwakan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika maka perbuatan Terdakwa tersebut dapat dikategorikan sebagai Penyalah Guna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri sedangkan kualifikasi tindak pidananya tetap mengacu pada surat dakwaan.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.