Judex Set Lex Laguens—Sang
Hakim adalah Hukum yang Berbicara
Disparitas antara Akademisi dan Praktisi Hukum, Ada pada Dasar Pijakannya
Cobalah Anda tanyakan kepada kalangan mahasiswa hukum maupun akademisi hukum, apa saja yang menjadi syarat mempailitkan seorang atau suatu debitor, maka mereka akan menjawab : memiliki sedikitnya dua kreditor, dimana salah satunya sudah jatuh tempo dan dapat ditagih—karena memang demikianlah Undang-Undang-nya mengatur. Namun, meski dapat kita maklumi, praktik peradilan telah berkata lain dan memiliki pendiriannya sendiri, yakni berupa “norma-rnoma baru” seperti jumlah hutang-piutang paling sedikit diatas lima ratus juta rupiah, ataupun bilamana nominal dalam hutang-piutang sudah tidak lagi dipersengketakan oleh debitor.
Para mahasiswa di perguruan
tinggi hukum diajarkan lewat “text book”
kajian teoretik, bahwa “hakim adalah corong undang-undang”, yang sekadar
membunyikan isi pasal peraturan perundang-undangan. Namun, praktik hukum di
ruang peradilan sudah lama dan selalu berkata sebaliknya : hukum adalah apa yang
menjadi ucapan hakim dalam putusannya, alias “mulut hakim adalah hukum
itu sendiri”. Berangkat dari fakta
tersebut saja, kita sudah mendapati adanya kesenjangan yang begitu
berdisparitas antara “law in abstracto”
dan “law in concreto”, sekaligus menjadi
satu-satunya penjelasan mengapa Sarjana Hukum “fresh graduate” maupun akademisi hukum cenderung tidak siap pakai
dalam dunia praktik.
Tanpa bermaksud meremehkan
peran penting konsep-konsep dan teori dasar hukum. Kesemua itu penting sebagai
fondasi dasar setiap kalangan praktisi hukum. Bila semata melihat praktik, maka
yang ada ialah “makelar kasus” dimana “kasih uang, habis perkara”, “kasih uang,
prosedur dilewati”, dimana fenomena demikian “semua sudah sama-sama tahu”,
alias berpola pikir pragmatis semata. Untuk menjadi seorang “mafia kasus”,
tidak dibutuhkan gelar Sarjana Hukum sama sekali, bahkan tidak pernah menyentuh
teori hukum apapun. Seorang Sarjana Hukum, tetap tidak boleh tercerabut dari
akarnya, yakni teori-teori dasar hukum sebagai fondasi atau tulang-punggungnya
(back bone).
Bahkan, kabar buruknya,
kalangan “mafia hukum” kerap mempercundangi kalangan praktisi maupun akademisi
hukum, dimana “uang yang berbicara, bukan Undang-Undang”. Ketika Anda bermain
catur dengan aturan main catur di atas papan catur, menghadapi mereka yang
tidak mau patuh ataupun menghormati aturan main catut, maka dapat dipastikan
Anda akan selalu kalah dari lawan Anda tersebut. Namun apakah artinya, kita
tutup saja seluruh perguruan tinggi hukum dan menghapus istilah ataupun gelar
“Sarjana Hukum” dari kamus kita? Air tidak akan bersenyawa dengan minyak. Yang
mendekati kalangan “mafia hukum”, adalah kalangan “mafia”. Banyak diluar sana,
berkeliaran “mafia hukum namun berkedok pengacara”. Bila Anda adalah Sarjana
Hukum dan profesi hukum, maka Anda membuka pintu kepada para pencari keadilan
untuk menjadi pengguna jasa. Jadi, ini soal “target market” Anda, meski ajang pertarungannya tetap saja di
pengadilan.
Lantas, apa yang kali pertama
perlu dipelajari oleh seorang Sarjana Hukum “fresh from the oven” ketika menjejakkan kaki di dunia praktik
hukum? Yang pertama-tama akan ia hadapi adalah keterkejutan, bahwa dunia
praktik jauh berbeda dan diluar bayangannya mengenai apa itu “hukum” yang
selama bertahun-tahun ia dalami dan diajarkan selama di perguruan tinggi hukum.
Kedua, ia mulai menyadari dan mengakui adanya kesenjangan atau disparitas
demikian. Ketiga, ia mulai belajar untuk bersikap rasional alias “to be realistic”, bahwa “hukum adalah
mulut hakim itu sendiri”.
Banyak kalangan akademisi,
konsultan hukum yang tidak mendalami preseden, maupun notaris pembuat akta,
yang berdelusi bahwa isi kontrak atau perjanjian yang berhasil ia susun begitu
sempurna dan begitu memihak kliennya (yang biasanya berkedudukan dalam posisi
dominan dalam suatu perjanjian baku kontraktual dengan pihak lain), adalah
segala-galanya dan menjadi hal yang mutlak. Mereka akan berbangga diri dalam
delusi kemenangan berhasil meng-gol-kan draf kontrak yang “berat sebelah”
demikian. Faktanya, hakim bisa berpendapat berbeda dan punya pertimbangan
sendiri, dimana “best practice”
peradilan sudah kerap kali melakukan apa yang disebut sebagai “hakim
membatalkan separuh isi perjanjian” dengan menganulir satu atau dua pasal isi
kontrak yang dinilai terlampau “berat sebelah”—alias hakim melakukan “partial annulment” terhadap substansi
perjanjian.
Bila Anda merupakan akademisi
murni, notaris, pengacara maupun konsultan hukum yang hanya tahu isi
Undang-Undang—tanpa pernah mendalami preseden—maka dapat penulis pastikan ia
merupakan seorang Sarjana Hukum dengan kemampuan prediksi yang buruk. Hukum,
adalah ilmu tentang prediksi dalam derajat yang paling maksimum, demikian
para pakar hukum dari Common Law menyatakan secara tegas—dimana Hoge Raad di
Belanda pun telah lama berpindah haluan kepada sistem hukum Common Law, jauh
meninggalkan sistem hukum orthodoks yang masih dianut Indonesia.
Kualifikasi paling minimum
untuk dapat berpraktik hukum, ialah telah paling tidak minimum mendalami
(melakukan eksaminasi) terhadap dua ribu buah putusan pengadilan. Dengan
begitu, dinamika dan psikologi hakim di ruang peradilan telah setidaknya
menjadi cara berpikir seorang praktisi hukum untuk mengantisipasi “hakim yang
punya pendapat / pertimbangan sendiri”. Bunyi Undang-Undang itu penting, namun
pada muaranya ialah psikologi hakim yang lebih banyak “berbicara” sebagai
penentunya. Hukum memang penuh ketidak-pastian, namun setidaknya dapat menjadi cukup
“terukur”, bilamana preseden bersifat “mengikat” (the binding of force), bukan lagi sekadar “the persuasive of force”.
Bila kita petakan, masalah hukum
di Indonesia ialah, peraturannya ada (bahkan sudah sangat “gemuk” menjelma
“hutan rimba belantara”), namun : 1.) kadang diterapkan dan kadang tidak, 2.) Saling
bertolak-belakang, atau 3.) tidak diterapkan sama sekali alias diam-diam
di-peti-es-kan, maupun 4.) norma hukum tertulisnya tidak ada, namun aturan tidak
tertulisnya ada; serta 5.) ego sektoral masing-masing lembaga negara penerbit
regulasi. Mari kita telaah satu per satu lewat contoh nyata serta
perbandingannya dengan norma hukum yang mengaturnya. Ketentuan Pasal 39 Ayat
(2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa bilamana
terjadi penyitaan karena perdata atau karena pailit, maka penyitaan untuk
kepentingan pemeriksaan perkara pidana dapat tetap dilakukan.
Ketentuan diatas, menjadi
landasan bahwa penyitaan oleh penyidik kepolisian dapat dilakukan diatas “sita
umum” yang dilakukan pihak kurator. Sementara itu, terjadi pertentangan
diantara norma-norma hukum itu sendiri, yakni berseberangan dengan prosedur
kepailitan yang telah diatur dalam Pasal 31 UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU (UU Kepailitan dan PKPU), bahwa sejak putusan pernyataan
pailit oleh Pengadilan Niaga, maka segala penetapan pelaksanaan pengadilan
terhadap harta kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan harus
dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat
dilaksanakan.
Sebagian kalangan menafsirkan,
penyitaan pidana yang dilaksanakan berdasarkan izin penetapan pengadilan (Pasal
38 KUHAP) harusnya dihentikan, mengingat Pasal 31 Ayat (2) UU Kepailitan dan
PKPU menegaskan bahwa semua penyitaan yang telah dilakukan sebelum putusan pailit
menjadi hapus, dimana hakim pengawas harus memerintahkan pencoretannya. Terjadi
tarik-menarik kepentingan, sejak kedua norma hukum itu saling
bertolak-belakang, hingga saat kini, seolah saling mengunci dan terjadi suatu
pola pembiaran terhadap ambiguitas ataupun “status
quo”, entah ada atau tidaknya unsur-unsur kepentingan (conflict of interest) sejumlah elit politik. Penulis menyebutnya
sebagai “ambiguitas” yang dilestarikan, akibat minimnya “political will” maupun
ketidak-mampuan penyelenggara negara khususnya lembaga pembentuk peraturan
perundang-undangan.
Sejumlah pihak kemudian
menanggapinya, bahwa terdapat diskrepansi diantara norma KUHAP dan UU
Kepailitan dan PKPU, yang menyebabkan ketidakpastian penguasaan atas harta
kekayaan debitur, yang kebetulan juga tersangkut masalah pidana. Konsekuensi
logisnya, tanggung-jawab atas aset debitur menjadi tidak jelas. Sebagai
ilustrasi, terjadi kerusakan atau kehilangan terhadap barang milik debitur
ketika penyitaan pidana oleh penyidik terjadi bersamaan dengan sita umum oleh
kurator. Akan timbul perdebatan, siapa yang harus bertanggung jawab atas risiko
semacam itu? Disharmoni norma hukum juga tidak jarang atau bahkan hampir selalu,
menimbulkan disharmoni dalam praktik. “Sita pidana” terhadap harta debitur
pailit secara praktik dapat mengesampingkan “sita umum” oleh kurator, atau
sebaliknya. Sekalipun kita ketahui, kewenangan penyidik maupun kewenangan kurator,
sama-sama diatur pada hierarkhi level undang-undang yang menjadi payung
hukumnya.
Menurut Anda, bisakah terhadap
suatu / seorang pelanggar, dikenakan sanksi pidana, tanpa terlebih dahulu
dikenakan sanksi administrasi? Perdebatan sengit menjadi wacana dan menjelma
retorika, menggaung dan menggema di ruang peradilan. Pada gilirannya, pembuat
regulasi mencantumkan tambahan klausul dalam peraturan perundang-undangan yang
mereka terbitkan, yakni : sanksi pidana ini dapat diberlakukan tanpa terlebih
dahulu dikenakan sanksi administrasi. Lalu, timbul pertanyaan dalam praktik
sebagai “efek domino”-nya : terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki
bunyi senada demikian, apakah artinya sanksi administrasi harus dan wajib
diterapkan terlebih dahulu sebelum dapat diterapkannya sanksi pidana? Selalu
saja timbul “ekor kalimat” dari suatu norma hukum, “ekor kalimat” mana selama
ini selalu menjadi momok “dunia” hukum dalam praktik, karena penafsirannya
dapat demikian liar.
Pada dasariahnya, semua pasal
adalah “pasal karet”, yang dapat ditarik kemanapun sesuai kepentingan pihak-pihak
yang menariknya. Sudah lama penulis dengungkan, bahwa bahasa tertulis maupun
bahasa lisan, memiliki keterbatasan alias ketidak-sempurnaannya itu sendiri. Mustahil
merumuskan norma hukum tanpa menimbulkan sedikit pun penafsiran yang berlainan.
Itu menyerupai “kutukan” norma hukum, yakni dapat atau berpotensi untuk
diperdebatkan penafsirannya. Kita ambil contoh penetapan status Tersangka terhadap
seseorang, dimana kita tahu bahwa istilah Tersangka diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan KUHAP sudah berusia puluhan tahun
umurnya.
Namun siapa sangka, baru-baru ini,
ketika masih hangat pemberitaan perihal dianulirnya status Tersangka terhadap
seorang pejabat di Kementerian Hukum yang sekaligus pakar dan akademisi hukum pidana
ternama di Indonesia, dengan dasar argumentasi pihak Tersangka : untuk
menetapkan seseorang sebagai berstatus Tersangka, maka syarat formalnya ialah harus
ada setidaknya minimal 2 (dua) alat bukti yang sah. Akan tetapi, sang Tersangka
mendalilkan dalam gugatan pra-peradilan yang ia ajukan untuk membatalkan Surat
Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) diri sang Tersangka, bahwa alat bukti
baru dilengkapi 2 (dua) buah setelah dirinya terlebih dahulu ditetapkan sebagai
Tersangka. Konyolnya, hakim tunggal memenangkan gugatan praperadilan sosok kolutor
penerima suap yang jelas-jelas terdapat 2 (dua) alat bukti bahwa yang
bersangkutan telah menerima suap, SPDP dianulir hakim hanya karena alat bukti
dilengkapi menjadi genap 2 (dua) buah setelah status Tersangka ditetapkan.
Kita beralih pada contoh lain.
Kerap kita dengar sindiran satiris : hukum tajam ke bawah, namun tumpul ke
atas. Nepotisme dikenal sebagai pemahaman kalangan penguasa yang bertendensi
menggunakan pendekatan kekerabatan dan kroni dalam pengisian jabatan publik.
Berdasarkan regulasi, pengertian nepotisme dijelaskan oleh Pasal 1 Angka 5
Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Tindak pidana korupsi (Tipikor),
sebagai ”setiap perbuatan penyelenggara
negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau
kroninya yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.” Masih ingat,
dengan sosok Hakim Konstitusi yang mengadili permohonan uji materiil untuk
kepentingan keponakan ipar-nya sendiri?
Perbuatan nepotisme sendiri dikualifikasi
sebagai tindak pidana oleh Pasal 22 UU No. 28 Tahun 1999 dengan ancaman pidana
penjara paling singkat dua tahun dan paling lama dua belas tahun dan denda
paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah.
Ketika para Aparatur Sipil Negara alias Pegawai Negeri Sipil dilarang untuk
menunjukkan keberpihakan secara politik, namun seorang Kepala Negara justru
mempertontonkan serta memberi “teladan buruk” secara vulgar keberpihakan alias
ketidak-netralan, bahkan berkampanye, untuk salah satu pasangan calon kepala
negara dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden, semata karena salah
satunya ialah calon wakil presiden yang berkompetisi dalam pemilu notabene adalah
anak dari sang Kepala Negara yang sedang menjabat (incumbent). Sang Kepala Negara yang sedang menjabat ini, seolah
kebal / imun terhadap Undang-Undang Tipikor yang mengancam “barangsiapa” yang
melakukan aksi nepotisme terselubung terlebih yang terang-terangan. Gejala impunitas
demikian, sangat kontras terhadap fenomena konkret “hukum tajam ke bawah”.
Menurut Anda, mungkinkah
tercipta “keadilan”, bilamana hukum tidak menawarkan sebentuk “kepastian” dalam
hukum? Namun demikian ada fenomena yang lebih gawat lagi, dalam praktik penulis
menemukan kenyataan yang jauh lebih mengerikan dan membuat setiap kalangan
profesi hukum patut merasa “terkejut”, yakni : Pejabat Lelang di Kantor Lelang
Negara berpendirian bahwa Peraturan Menteri Keuangan levelnya lebih tinggi daripada
Undang-Undang, semata karena “bos”-nya adalah Menteri Keuangan yang menenerbit
peraturan dimaksud. Dapat Anda bayangkan, kalangan Pejabat Lelang yang notabene
pastilah berpendidikan tinggi, secara arogan bersikukuh menyatakan “Peraturan Menteri (Keuangan) lebih tinggi daripada
Undang-Undang!”—jika perlu mereka nyatakan sebagai konstitusi tertinggi di Indonesia.
Hanya buang-buang waktu, berdebat dengan pihak-pihak yang “buta” demikian.
Begitupula fenomena kalangan hakim
yang berpandangan “buku pedoman terbitan Mahkamah Agung” maupun “surat edaran”
lebih tinggi daripada Undang-Undang, semata karena yang menerbitkannya ialah
pimpinan tertinggi sang hakim. Tidak terkecuali sikap kalangan polisi dalam
menyikapi Peraturan Kepala Polisi, kalangan kejaksaan terhadap Peraturan Kepala
Kejaksaan, dan sebagainya. Hanya dalam kajian atau sudut pandang “dunia”
akademik, Undang-Undang lebih tinggi daripada peraturan-peraturan selevel
tingkat kementerian atau lembaga demikian. Karena itulah, para akademisi hukum
tidak jarang disebut sebagai kalangan yang hidup dan berliang di atas menara
gading yang tidak membumi.
Profesi hukum adalah profesi
yang jauh lebih berisiko tinggi daripada profesi kedokteran. Antara tubuh,
obat, dan penanganan medis, adalah objektif sifatnya. Gemuk adalah gemuk,
pendek adalah pendek, tua adalah tua, diabetes adalah diabetes, hipertensi
adalah hipertensi. Tidak perlu diperdebatkan. Perihal alergi atau tidaknya,
masih terukur sifatnya karena dapat dilakukan observasi klinis terhadap pasien,
namun demikian rata-rata obat memiliki khasiat yang sama pada sejumlah besar
pasien. Akan tetapi dalam “dunia” hukum, atas pasal yang sama, dapat begitu
subjektif, ditafsirkan berbeda dan bertolak-belakang oleh orang yang berbeda.
Dari sejak ribuan tahun lampau
hingga kapanpun itu, tubuh manusia tetap saja seperti itu objek penelitiannya,
dimana hanya teknik dan pendekatannya saja yang dimodifikasi dan dibuat
modernisasi. Hukum memiliki “dunia” yang berbeda, karena kerap terjadi aksi
“bongkar-pasang” regulasi seperti yang kerap terjadi dalam fenomena “ganti
pemimpin, ganti kepentingan, (maka akan diikuti) ganti kebijakan”. Karenanya,
antara “dunia” hukum dan “dunia” medik, adalah dua “dunia” yang sungguh-sungguh
tidak dapat dipertemukan—sekalipun kita mengenal “hukum kedokteran”, hukum
rumah sakit”, dan sebagainya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.