JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Klusula Arbitrase Tidaklah Mutlak bila Berupa Klausula Baku

Klausula Arbitrase Bukanlah Alat untuk Membungkam Pihak yang Ingin Mempersengketakan Hak dan Kewajiban Kontraktual

Question: Klausula arbitrase yang tidak mengusung prinsip kemanfaatan, terlebih sifatnya ialah kontrak baku yang sepihak, apakah benar-benar sifatnya mutlak keberlakuannya? Itu sama artinya mematikan langkah pihak kami yang menilai “lebih besar pasak daripada tiang” membawa sengketa ini ke arbitrase. Apa jadinya, bila tetap kami paksakan untuk membawa sengketa ini ke hadapan Pengadilan Negeri setempat?

Brief Answer: Klaususa arbitrase bila itu berupa “klausula baku”, dalam artian tidak murni kesepakatan dan tidak juga berangkat kerelaan kedua belah pihak yang saling bersengketa, namun sebagai modus untuk “membungkam bibit-bibit sengketa”, boleh disimpangi oleh Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus perkara perdata di Pengadilan Negeri, mengingat pencantuman klausula arbitrase dalam praktik kerap menjadi modus pelaku usaha untuk membuat konsumennya mengurungkan niat jika hendak menggugat.

Idealnya, ketentuan pemilihan forum penyelesaian sengketa ke hadapan arbitrase, hanya berlaku mengikat bilamana sifatnya ialah perjanjian terpisah / tersendiri perihal kesepakatan pemilihan forum penyelesaian sengketa—sebagaimana dalam praktik pemilihan arbitrase khusus lembaga keuangan maupun lembaga pembiayaan—bukan berupa klausula baku dalam Perjanjian Kredit, Perjanjian Asuransi, Perjanjian Leasing, dan sebagainya. Dapat kita bayangkan, objek jual-beli hanya senilai sekian rupiah, namun harus menanggung biaya arbitrase yang tergolong tidak ekonomis (ekonomi biaya tinggi). Sehingga, dengan mengusung konsep asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, dapat disimpangi oleh Pengadilan Negeri di Indonesia.

PEMBAHASAN:

Untuk memudahkan pemahaman, dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan ilustrasi konkretnya sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa keuangan register Nomor 530 PK/Pdt/2017 tanggal 19 Oktober 2017, perkara antara:

1. PIMPINAN CABANG PT. ASURANSI JASA Indonesia (PERSERO) TARAKAN, dan 2. PT. ASURANSI JASA INDONESIA (PERSERO), sebagai Para Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Tergugat I dan III; melawan

- YOSEP, sebagai Termohon Peninjauan Kembali, semula selaku Penggugat; dan

- PIMPINAN CABANG PT. BANK NEGARA Indonesia (PERSERO) Tbk TARAKAN, selaku Turut Termohon Peninjauan Kembali, dahulu sebagai Tergugat II.

Tergugat I menerima pertanggungan dari Penggugat atas harta benda berupa dua unit Bangunan, dengan jenis pertanggungan kebakaran dengan total nilai pertanggungan adalah Rp. 744.800.000, sebagaimana tertuang dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia dan Polis Asuransi Kebakaran yang diterbitkan dan ditandatangani oleh Kantor Cabang dari Tergugat III di Tarakan, yaitu Tergugat I. Jangka waktu pertanggungan ialah 12 bulan yakni mulai tanggal 13 Maret 2009 sampai dengan tanggal 13 Maret 2010. Ditentukan oleh Tergugat I, besarnya Premi adalah Rp. 9.677.664,- dimana pada tanggal 13 Maret 2009 Penggugat selaku Tertanggung membayar Premi sebesar itu kepada dan diterima dengan baik oleh Tergugat I.

Penggugat terpaksa mempolis-asuransikan harta benda Bangunan kepada Tergugat I, karena diwajibkan oleh Tergugat II sehubungan sejak tanggal 13 Maret 2007 menerima fasilitas kredit dari Tergugat II berupa Kredit Modal Kerja (KMK). Yang menunjuk Tergugat I sebagai perusahaan asuransi, adalah Tergugat II. Adapun Penggugat sebagai pihak yang menerima kredit mau tidak mau hanya mengikuti saja keinginan dari Tergugat II dan Tergugat I. Yang menentukan atau menetapkan harga pertanggungan atas harta benda berupa Bangunan milik Penggugat, adalah Tergugat I, kemudian Tergugat II pun menyetujuinya, dibuktikan dalam Lampiran Perjanjian Kredit tanggal 13 Maret 2007, sudah dicantumkan oleh Tergugat II dengan judul : Barang-Barang Jaminan Kredit yang di-asuransikan, adapun Penggugat hanya mengikuti saja kemauan / persyaratan dari Tergugat II dan Tergugat I akibat daya tawar yang lemah.

Tanggal 12 September 2009, terjadi kebakaran yang mengakibatka Bangunan yang oleh Penggugat dipertanggungkan pada Tergugat I dan menjadi jaminan pelunasan hutang / kredit Penggugat pada Tergugat II, terbakar dan musnah, sehingga waktu terjadinya kejadian musibah masih dalam tenggang waktu berlangsungnya masa pertanggungan asuransi. Satu minggu setelah peristiwa kebakaran, Penggugat mendatangi Tergugat II maupun Tergugat I di kantor masing -masing untuk memberitahukan terjadinya kebakaran itu atas harta benda yang dipertanggungkan itu. Tidak lama setelah itu Penggugat menyerahkan kepada Para Tergugat Surat Keterangan mengenai benar terjadinya kebakaran itu dari Kasat Reskrim Kepolisian Resor Tarakan tanggal 20 Oktober 2009, dengan maksud dari Penggugat agar Tergugat I dapat segera memenuhi kewajibannya untuk membayarkan ganti-rugi kepada Penggugat sebesar harga pertanggungan yang disepakati yakni Rp. 744.800.000.

Adapun tanggapan Tergugat I kepada Penggugat yang akan merealisasikan pembayaran ganti rugi-kepada Penggugat, merupakan kewenangan Tergugat III. Sekitar bulan Nopember 2010, seorang karyawan Tergugat III bertemu dengan Penggugat dan disaksikan oleh seorang staf bagian Kredit Tergugat II, dimana yang bersangkutan menyampaikan kepada Penggugat pembayaran ganti rugi bisa saja tidak direalisasikan ataupun hanya 25% (dua puluh lima persen) saja dari harga pertanggungan, sehingga sejak adanya pertemuan itu Penggugat merasa khawatir pembayaran ganti-rugi akan tersendat dan tidak sebagaimana mestinya. Jika begitu, mengapa Penggugat tidak dibebaskan memilih perusahaan asuransi swasta lainnya untuk mem-polis asuransikan objek bangunan, alih-alih mem-bundling fasilitas kredit dan perusahaan asuransi afiliasi yang tidak jarang merupakana anak perusahaan phak kreditor?

Beberapa lama setelah pertemuan, Tergugat II memanggil Penggugat di Kantornya dan menyampaikan Tergugat I dan Tergugat III hanya bersedia membayarkan ganti rugi sebesar lebih kurang Rp.335.000. 000 saja. Mendengar tanggapan sepihak demikian, Penggugat langsung menyatakan keberatan baik kepada Tergugat I maupun Tergugat III serta Tergugat II, dan tidak bersedia menerima nilai yang ditawarkan untuk dibayar oleh Tergugat III dan atau Tergugat I. Beberapa bulan setelah itu, Tergugat II menyampaikan lagi kepada Penggugat besarnya ganti-rugi yang akan dibayarkan oleh Tergugat I dan Tergugat III adalah Rp. 444.400.000, bahkan Tergugat II mendesak atau setengah memaksa Penggugat supaya menerima atau menyetujui saja karena alasan dari Tergugat II sudah tidak mungkin lagi akan tambah besar nilainya.

Tergugat II mengancam jika Penggugat tidak juga menyetujui dan mau menerima maka Tergugat II yang akan menyetujui dan menerima, namun Penggugat tetap menolak dan keberatan, sembari meminta atau mengingatkan agar Tergugat II juga jangan sekali-kali mau menerima atau menyetujuinya, sehingga Penggugat sejak saat itu sudah mencurigai ada persekongko-lan antara Para Tergugat yang patut ditengarai merupakan afiliasi yang mengandung “konflik kepentingan” antara perusahaan asuransi dan pihak lembaga keuangan, sehingga hanya berpihak / menguntungkan grup usahanya sendiri dan saling melindungi dengan merugikan pihak debitor pemilik objek bangunan yang di-polis asuransikan.

Walaupun masih ada keberatan dari Penggugat atas besarnya nilai ganti-rugi yang harus dibayarkan oleh Tergugat I dan Tergugat III, pada akhirnya Tergugat II tetap saja menyetujui dan menerima pembayaran ganti rugi sebesar Rp. 444.400.000 dari Tergugat I dan atau Tergugat III, sekalipun Tergugat II paham benar harga pertanggungan yang disepakati bersama harus sebesar Rp. 744.800.000. Tergugat II telah mem-fetakompli hak Penggugat dalam untuk membuat keputusan terkait objek agunan yang di-polis asuransikan. Menerima atau menolak (keberatan), merupakan hak prerogatif Penggugat selaku pemegang polis. Sehingga hak finansial Penggugat yang tidak dibayarkan oleh Tergugat I dan atau Tergugat III, yakni:

a. Harga Pertanggungan sebesar Rp. 744.800.000,-;

b. mengingat seharusnya paling lambat bulan Nopember 2009 seharusnya telah membayar kewajibannya berupa harga pertanggungan, maka sudah seharusnya Para Tergugat dihukum untuk membayar bunga setidak-tidaknya sebesar “bunga menurut Undang-Undang” yakni 6% (enam persen) untuk setiap tahunnya, dan hingga gugatan perkara ini didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tarakan sudah 2 (dua) tahun lamanya, sehingga perhitungannya adalah Rp. 744.800.000,- X 6% x 2 Tahun = Rp. 8 9.376.000,- dimana bunga tersebut harus tetap dihitung sampai Para Tergugat melaksanakan Keputusan dalam perkara ini.

Perbuatan Tergugat I dan atau Tergugat III yang membayarkan ganti rugi langsung kepada Tergugat II, alih-alih kepada Penggugat selaku pemegang polis sekaligus pembayar premi—dimana nilai yang dibayarkan pun tidak sebagaimana diperjanjikan alias tidak sebesar harga pertanggungan Rp. 744,800.000 serta tidak tepat waktu, selalipun Penggugat masih mengajukan keberatan alias masih mempersengketakan, akan tetapi perbuatan Tergugat II yang (justru) secara serta-merta menyetujui dan menerima secara sepihak pembayaran ganti-rugi dari Tergugat III dan atau Tergugat I, jelas-jelas merupakan perbuatan ingkar janji atau wanprestasi, yang merugikan Penggugat secara materiil, dengan perincian:

1) Harga Pertanggungan sebesar Rp. 744.800.000;

2) Bunga setidak-tidaknya sebesar bunga menurut Undang-Undang yakni 6% (enam persen) untuk setiap tahunnya, dimana seharusnya paling lambat bulan Nopember 2009 membayar kewajibannya berupa harga pertanggungan maka hingga gugatan perkara ini didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tarakan sudah berselang waktu 2 (dua) tahun lamanya, sehingga perhitungan bunga adalah Rp. 744.800.000,- X 6% x 2 Tahun = Rp. 89.376.000—bunga tersebut harus tetap dihitung sampai Para Tergugat melaksanakan Keputusan dalam perkara ini.

Penggugat menambahkan, tuntutan berupa pembayaran Kerugian Materiil sebesar Rp. 834.176.000 tersebut harus dipertanggung-jawabkan secara renteng maupun secara sendiri-sendiri kepada Tergugat I, Tergugat III, dan Tergugat II, sehingga Para Tergugat harus dihukum baik sendiri-sendiri maupun secara tanggung renteng untuk membayar kerugian materiil sebesar Rp. 834.176.000 secara tunai dan sekaligus kepada Penggugat segera setelah putusan dalam perkara ini diucapkan. Penggugat sudah berulang-kali mengupayakan menghubungi Para Tergugat baik melalui surat maupun lisan melalui telepon, bahkan Penggugat beberapa kali menemui Tergugat II maupun Tergugat I dengan maksud untuk meminta Para Tergugat membayar dan menyelesaikan kewajibannya kepada Penggugat, akan tetapi selalu saja jawaban Para Tergugat mengecewakan Penggugat, sehingga terpaksalah Penggugat menyelesaikannya melalui gugatan ke Pengadilan Negeri Tarakan. Adapun yang menjadi pokok tuntutan pihak Penggugat, yakni:

- Menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan Tergugat II yang menyetujui dan menerima secara sepihak pembayaran ganti rugi dari Tergugat III dan atau Tergugat I tidak sesuai dengan harga pertanggungan yang disepakati yakni sebesar Rp. 744.800.000 sedangkan Penggugat masih keberatan dan menolak, adalah merupakan perbuatan ingkar janji alias wanprestasi;

- Menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat II baik sendiri-sendiri maupun secara tanggung renteng membayar ganti kerugian Materiil maupun Moriil kepada Penggugat secara tunai sekaligus dan seketika sejak Putusan dalam perkara ini diucapkan.

Yang menjadi tanggapan pihak Tergugat II, hubungan hukum antara Tergugat II dan Penggugat ialah hubungan hutang-piutang, yakni Perjanjian Kredit Nomor tanggal 13 Maret 2007 dengan jangka waktu 12 bulan sampai dengan tanggal 13 Maret 2008, dengan agunan jaminan pelunasan kredit berupa beberapa Sertifikat Hak Milik (SHM). Bangunan milik Penggugat diasuransikan dengan uang pertanggungan sebesar Rp. 744.800.000 sebagaimana tertuang dalam Polis tanggal 13 Maret 2007 yang diterbitkan oleh Tergugat I dengan nama Tertanggung adalah PT. BNI Tarakan Qq. Yosep (Tergugat II Qq. Penggugat ) dengan jangka waktu pertanggungan adalah 12 bulan sampai dengan tanggal 13 Maret 2008.

Pembayaran (premi) atas asuransi dibayar oleh Penggugat sebesar Rp. 6.300.664 sebagaimana telah ditentukan oleh Tergugat I sebelumnya dan telah dibayar oleh Penggugat pada tanggal 15 Maret 2007 dengan klausul / syarat tambahan yang tertuang dalam polis yaitu Banker's Clause yaitu pembayaran atas klaim kerugian terhadap obyek tertanggung diserahkan kepada bank sebagai kompensasi pembayaran hutang Penggugat kepada Tergugat II selaku bank / kreditor. Polis diperpanjang oleh Tertanggung kepada Tergugat I sejak tanggal 13 Maret 2008 sampai dengan 13 Maret 2009 dengan pembayaran premi sebesar Rp. 9.677.664,- melalui polis tanggal 03 Maret 2008—pembavaran premi mana merupakan kewaiiban Penggugat, namun karena Penggugat tidak mampu untuk membayar kewajibannya, maka Tergugat II-lah yang membayarkan kewajiban Penggugat tersebut kepada Tergugat I.

Polis tersebut kemudian diperpanjang kembali oleh Tertanggung kepada Tergugat I sejak tanggal 13 Maret 2009 sampai dengan 13 Maret 2010 dengan pembayaran premi sebesar Rp. 9.67 7.664,- sebagaimana polis tanggal 18 Maret 2009. Pembavaran premi ini merupakan kewajiban Penggugat, namun karena Penggugat tidak mampu untuk membayar kewajibannya karena sudah masuk kategori “debitur macet” yang menunggak pelunasan hutang, maka Tergugat II-lah yang membayarkan  kewaiiban Penggugat tersebut kepada Tergugat I—dengan tetap memperhitungkannya sebagai total tunggakan Penggugat, tentunya.

Tergugat Ii menguraikan, Penggugat merupakan “debitur macet” yang sudah tidak mampu lagi untuk melakukan kewajibannya mencicil ataupun melunasi kewajiban pembayaran kreditnya kepada Tergugat II, sekalipun telah Tergugat II sampaikan kepada Penggugat melalui surat tertulis namun  tidak pernah mendapat tanggapan ataupun diindahkan oleh Penggugat, dimulai dari surat teguran tanggal 14 Mei 2008, berlanjut hingga surat teguran tanggal 7 September 2009 perihal tunggakan pinjaman Penggugat yang telah masuk golongan debitur macet untuk segera diselesaikan oleh Penggugat. Dengan demikian Penggugat tergolong pihak yang mempunyai itikad tidak baik atas kewajiban sebagaimana Perjanjian Kredit yang telah disepakati olehnya dengan Tergugat II untuk melunasi kreditnya.

Peristiwa kebakaran yang menimpa barang-barang Penggugat yang telah dijaminkan kepada Tergugat II, telah diteruskan oleh Tergugat II kepada Tergugat I dengan disertai dokumen-dokumen pendukungnya. Segala penilaian terkait dengan penggantian kerugian yang menimpa Penggugat atas peristiwa dimaksud, sepenuhnya merupakan tanggung jawab dan kewenangan Tergugat I—sekalipun Tergugat II yang mewajibkan Penggugat membeli polis dari Tergugat I, tanpa pilihan bebas memilih perusahaan asuransi lainnya—dimana jumlah pembayaran atas penggantian kerugian Penggugat berdasarkan klaim yang diajukan merupakan kewenangan Tergugat I sebagai pihak perusahaan asuransi, bukan Tergugat II.

Tergugat II merujuk ketentuan di dalam polis asuransi Tergugat I, terdapat klausul / syarat berupa “Banker's Clause”, yaitu cara pembayaran atas klaim kerugian terhadap obyek yang diasuransikan akan diserahkan oleh Tergugat I kepada bank sebagai kompensasi pembayaran hutang Penggugat. Dengan demikian hasil pembayaran atas klaim kebakaran yang menimpa obyek milik Penggugat yang telah dijadikan agunan kepada Tergugat II, klaim kerugian dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada Tergugat II sebagai kompensasi pembayaran hutang Penggugat kepada Tergugat II.

Hasil pembayaran klaim yang dibayarkan Tergugat I kepada Tergugat II, senyatanya masih kurang dari total hutang kredit Penggugat, maka Penggugat justru masih mempunyai kewajiban pengembalian hutangnya kepada Tergugat II. Namun pihak Tergugat Ii selaku kreditor, mengajukan dalil yang sangat fatal karena menjadi bumerang (backfire) posisi hukum pihak Tergugat Ii itu sendiri yang semestinya melelang eksekusi Hak Tanggungan terhadap agunan milik debitor, justru “main hakim sendiri” dengan mengutip dana hasil klaim asuransi milik debitor. [Note SHIETRA & PARTNERS : Bilamana suatu fasilitas kredit telah dijamin pelunasannya berupa agunan yang diikat Hak Tanggungan, maka sejatinya debitor tidak perlu lagli dibebani “ekonomi biaya tinggi” semisal mem-polis asuransikan aset-aset milik debitor disertai premi yang harus dibayarkan debitor, mengingat kreditor dapat secara serta-merta melelang eksekusi (mem-parate eksekusi) Hak Tanggungan.]

Tergugat II mengajukan gugatan balik terhadap Penggugat, dengan dalil bahwa Penggugat telah dikucurkan kredit senilai 2.000.000.000 dari Tergugat II. Namun sampai dengan jatuh temponya Perjanjian Kredit, Penggugat belum melaksanakan seluruh kewajibannya kepada Tergugat II sampai pada akhirnya sebagian obyek agunan milik Penggugat mengalami kebakaran. Setelah dilakukan pembayaran atas klaim kebakaran yang menimpa aset Penggugat, ternyata Penggugat masih belum kunjung membayarkan apa yang menjadi kewajiban Penggugat kepada Tergugat II, yang saat kini kondisinya ialah menunggak kewajiban sebesar Rp. 2.613.142.448.

Berhubung Penggugat masih memiliki kewajiban pelunasan hutang kepada Tergugat II, maka Tergugat II masih mempunyai kewenangan untuk melakukan lelang ekskeusi atas agunan milik Penggugat lainnya berupa berbagai aset tanah dan bangunan yang tidak terbakar maupun tanah yang telah terbakar.

Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Tarakan kemudian menjatuhkan putusan Nomor 06/Pdt.G/2011/PN.Trk tanggal 10 November 2011, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa setelah mempelajari bukti surat bertanda T-I-III-8 yang menjadi dasar Tergugat I dan Tergugat III membayar ganti rugi sebesar Rp. 444.400.000, Majelis Hakim"berpendapat bukti surat T-I-III-8 tidak dapat dijadikan dasar untuk membuktikan Penggugat mau menerima ganti rugi yang ditawarkan Tergugat I dan Tergugat III sebesar Rp444.400.000 dan Penggugat juga tidak pernah memberikan kuasa khusus kepada Tergugat II untuk menerima tawaran pembayaran ganti rugi kerugian dari Tergugat I dan Tergugat III sebesar Rp. 444.400.000 dan kedudukan Tergugat II sebagai pemegang jaminan atas barang-barang yang menjadi objek pertanggungan hanya sebatas untuk menerima klaim asuransi dari Tergugat I dan Tergugat II yang telah disetujui Penggugat;

“Menimbang, ... barang-barang milik Penggugat yang diasuransikan kepada Tergugat I dan Tergugat III merupakan jaminan hutang kepada Tergugat II, dimana berdasarkan bukti surat bertanda P-7 yaitu Persetujuan Perubahan Perjanjian Kredit nomor: (1) 2007.019 pasal 10 tertanggal 14 Maret 2008 Penggugat wajib membayar kepada Tergugat II bunga efektif sebesar 14,00% pertahun, maka cukup beralasan tuntutan bunga tersebut dikabulkan sebesar 14,00% pertahun sesuai beban bunga pinjaman Penggugat kepada Tergugat II, dari kewajiban pokok Tergugat I dan Tergugat III sebesar Rp. 744.800.000,-( tujuh ratus empat puluh empat juta delapan ratus ribu rupiah) terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tarakan pada tanggal 12 April 2011 sampai Tergugat I dan Tergugat III membayar lunas kewajibannya sebesar Rp.744.800.000,- (tujuh ratus empat puluh empat juta delapan ratus ribu rupiah) kepada Penggugat;

“Menghukum Tergugat I dan Tergugat III untuk membayar bunga sebesar 14,00% pertahun dari kewajiban pokok sebesar Rp. 744.800.000,- (tujuh ratus empat puluh empat juta delapan ratus ribu rupiah) terhitung sejak perkara ini didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tarakan sampai Tergugat I dan Tergugat II membayar lunas kewajibannya kepada Penggugat;”

MENGADILI :

Dalam Konvensi:

Dalam Eksepsi:

- Menyatakan eksepsi tergugat ii tidak dapat diterima;

Dalam Pokok Perkara:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan bahwa perjanjian asuransi kebakaran antara PT. BNI Tarakan QQ Yosep bdn Toko Star Elektronik selaku Tertanggung dan PT. Asuransi Jasa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia Nomor Reg. PSAKI 08006373 tanggal 18 Maret 2009 adalah sah dan mengikat;

3. Menyatakan menurut hukum bahwa Penggugat sudah memenuhi kewajibannya membayar premi asuransi yang ditentukan oleh Tergugat I sebesar Rp. 9.677.664 (sembilan juta enam ratus tujuh puluh tujuh ribu enam ratus enam puluh empat rupiah);

4. Menyatakan bahwa Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia Nomor Reg. PSAKI 08006373 tanggal 18 Maret 2009 adalah sah dan mengikat;

5. Menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan Tergugat I dan Tergugat III membayarkan ganti rugi tidak sebagaimana mestinya yakni tidak sebesar harga pertanggungan yang disepakati yakni sebesar Rp. 744.800.000,- (tujuh ratus empat puluh empat juta delapan ratus ribu rupiah), tidak tepat waktu serta membayarkannya langsung kepada Tergugat II adalah merupakan perbuatan ingkar janji atau wanprestasi dengan segala akibat hukum dari padanya;

6. Menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan Tergugat II yang menyetujui dan menerima secara sepihak pembayaran ganti rugi dari Tergugat III dan atau Tergugat I tidak sesuai dengan harga pertanggungan yang disepakati yakni sebesar Rp. 744.800.000,- (tujuh ratus empat puluh empat juta delapan ratus ribu rupiah), sedangkan Penggugat masih keberatan dan menolak, adalah merupakan perbuatan ingkar janji atau wanprestasi dengan segala akibat hukum dari padanya;

7. Menghukum Tergugat I dan Tergugat III untuk membayar ganti kerugian materiil sesuai harga pertanggungan kepada Penggugat sebesar Rp.744.800.000,- (tujuh ratus empat puluh empat juta delapan ratus ribu rupiah);

8. Menghukum Tergugat I dan Tergugat III untuk membayar bunga sebesar 14,00 % pertahun dari kewajiban pokok sebesar Rp. 744.800.000,- (tujuh ratus empat puluh empat juta delapan ratus ribu rupiah) terhitung sejak perkara ini didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tarakan sampai Tergugat I dan Tergugat III membayar lunas kewajibannya kepada Penggugat;

9. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;

Dalam Rekonvensi

- Menyatakan gugatan Penggugat Rekonvensi tidak dapat diterima;”

Dalam tingkat banding, yang menjadi amar Putusan Pengadilan Tinggi Samarinda Nomor 38/Pdt/2012/PT.KT.SMDA tanggal 8 Agustus 2012, dengan kutipan sebagai berikut:

“MENGADILI :

- Menerima permohonan banding dari Pembanding I/Tergugat I dan Pembanding II/Tergugat III;

- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tarakan Nomor 06/Pdt.G/2011/PN.Trk tanggal 10 November 2011 yang dimohonkan banding;”

Berlanjut dalam tingkat kasasi, yang menjadi putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2066 K/Pdt/2013 tanggal 19 Desember 2014, dengan amar sebagai berikut:

“MENGADILI :

- Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi : 1. Pimpinan Cabang PT. Asuransi Jasa Indonesia (Persero) Tarakan, 2. PT.Asuransi Jasa Indonesia (Persero), tersebut;”

Pihak perusahaan asuransi mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan pokok keberatan bahwa Pengadilan Negeri tidak memiliki kewenangan mengadili secara absolut karena penyelesaian perselisihan antara Tergugat I dan III (perusahaan asuransi) dengan Termohon Peninjauan Kembali harusnya dilakukan secara arbitrase, mengingat dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia (PSAKI) telah diatur bahwa dalam hal terjadi perselisihan antara Tergugat I dan III dan Penggugat, maka Penggugat mempunyai hak untuk memilih salah satu klausul penyelesaian sengketa yaitu arbitrase atau pengadilan, dan wajib memberitahukan pilihannya tersebut secara tertulis kepada Tergugat I dan III (perusahaan asuransi) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tidak tercapainya kesepakatan damai. Bila pemberitahuan pilihan forum penyelesaian sengketa tersebut tidak dipenuhi oleh Penggugat, maka Tergugat I dan III berhak memilih salah satu klausul penyelesaian sengketa tersebut, yakni arbitrase atau pengadilan.

Hingga jangka waktu 30 hari berakhir, Penggugat tidak kunjung memberitahukan secara tertulis kepada Tergugat I dan III. Penggugat justru tiba-tiba mengajukan Gugatan terhadap Tergugat I dan III (perusahaan asuransi) dan pihak Tergugat II. Setelah 30 hari dilampaui, hak Penggugat untuk memilih forum penyelesaian sengketa telah gugur dan beralih kepada Tergugat I dan III yang memilih penyelesaian secara arbitrase melalui Arbitrase. Dalam polis, yang menjadi nama Tertanggung ialah : PT. BNI Tarakan Qq. Yosep bdn Toko Star Elektronik. Nama dan alamat dalam Ikhtisar Pertanggungan tersebut jelas menyebut Tergugat II sebagai Tertanggung. Karenanya pembayaran klaim ganti rugi disampaikan kepada Tergugat II, bukan kepada Penggugat.

Pasal 17 dalam surat perjanjian sudah ditentukan bahwa pembayaran ganti rugi dibayarkan langsung dari Perusahaan Asuransi (Tergugat I dan III) kepada Bank (Tergugat II)—yang juga dikenal sebagai “Banker's Clause”, yang selengkapnya berbunyi : “Selama kredit berjalan, ..., sehingga jika ada pembayaran ganti rugi dari Pihak Perusahaan Asuransi akan dibayarkan langsung kepada BANK untuk diperhitungkan dengan seluruh jumlah Hutang PEERIMA KREDIT kepada BANK (Banker's Clause).”

Namun alibi berikut dari perusahaan asuransi menjadi bumerang bagi kepentingan hukumnya sendiri : Berdasarkan fakta-fakta yang telah terbukti dalam persidangan, Objek Tanggungan telah dijadikan agunan oleh Penggugat kepada Tergugat II (Bank) dengan Hak Tanggungan. [Note SHIETRA & PARTNERS : Sehingga menjadi terang dan jelas bahwa jaminan pelunasan hutang bagi pihak Bank ialah sewaktu-waktu dapat melelang eksekusi Objek Hak Tanggungan, bukan dari klaim polis asuransi.

Perusahaan asuransi lalu berlindung dibalik pasal-pasal dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia (PSAKI) yang menyatakan bahwa pembayaran klaim ganti rugi harus dikurangi dengan depresiasi, yakni:

- “Dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan atas harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan, Penanggung berhak menentukan pilihannya untuk melakukan ganti rugi dengan cara: Pembayaran uang tunai... . Biaya-biaya tersebut di atas setelah memperhitungkan unsur depresiasi teknis.”

- “Perhitungan besarnya kerugian setinggi-tingginya adalah sebesar selisih antara harga sebenarnya sesaat sebelum dengan harga sebenarnya sesaat setelah terjadinya kerugian atau kerusakan.”

- "Nilai sisa barang yang mengalami kerusakan, diperhitungkan untuk mengurangi jumlah ganti rugi yang dapat dibayarkan."

Tergugat I dan III menuding bahwa pengadilan tidak mempertimbangkan bahwa nilai pertanggungan senilai Rp.744.800.000 bukanlah nilai ganti rugi pada saat kerugian atas yang dipertanggungkan timbul. Tergugat I dan III (perusahaan asuransi) terikat dan harus tunduk pada ketentuan peraturan perundangan-undangan dalam hal ini Pasal 288 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang pada intinya mensyaratkan perhitungan ganti rugi harus sesuai dengan nilai pada saat sebelum terjadi kebakaran. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam memperhitungkan nilai ganti rugi, dikeluarkan oleh tim Independent Loss Adjuster dalam hal ini sebuah badan hukum profesi Loss Adjuster and Surveyors, yang menerbitkan Surat Laporan disertai pernyataan bahwa harga pembangunan kembali Objek Tanggungan (dengan mempertimbangkan harga bahan bangunan dan pekerja setempat) adalah sebesar Rp. 615.436.000.

Mengingat PSAKI mengatur mengenai perhitungan depresiasi aset, maka usia bangunan (Objek Tanggungan) yang didirikan pada tahun 1972 dan direnovasi pada tahun 2003 dengan perkiraan usia bangunan akan mencapai 35 tahun maka nilai depresiasinya adalah 17,14% (dari semula 19,19%). Oleh karena itu perhitungan nilai ganti rugi sebenarnya adalah (100%- 17,14%) x Rp. 615.436.000 = Rp. 509.950.270. Atas nilai tersebut kemudian dikurangi deductible 5% dan pengurangan wajib lainnya berdasarkan PSAKI, hingga kemudian diperoleh nilai ganti rugi sebesar Rp. 444.400.000. Berangkat dari perhitungan dalam laporan tersebut, nilai pertanggungan (senilai Rp.744.800.000) adalah lebih besar dari atau melebihi nilai ganti rugi sebenarnya (senilai Rp. 444.400.000). Oleh karenanya adalah tepat untuk menetapkan dan membayar ganti rugi senilai ganti rugi sebenarnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 288 KUHD dan PSAKI.

Perhitungan tersebut juga telah sesuai dengan Pasal 288 KUHD yang menyatakan: “Pada pertanggungan milik yang dibangun dipersyaratkan, akan diganti kerugian yang diderita pada persil itu, atau persil itu akan dibangun kembali atau diperbaiki paling tinggi sampai jumlah yang dipertanggungkan. Dalam hal yang pertama, kerugiannya dihitung dengan memperbandingkan nilai persil sebelum bencana, dengan nilai sisanya segera setelah kebakaran...” [Note SHIETRA & PARTNERS : Timbul pertanyaan, jika begitu mengapa sejak semula tidak memberikan / mencantumkan nilai pertanggungan sebesar Rp. 615.436.000, mengapa Rp. 744.800.000? Kedua, anggaplah pembayar premi memilih opsi dibangun kembali, maka nilai pembangunan kembalinya ialah pada angka yang sama, sebagaimana Surat Laporan disertai pernyataan bahwa harga pembangunan kembali Objek Tanggungan (dengan mempertimbangkan harga bahan bangunan dan pekerja setempat) adalah sebesar Rp. 615.436.000.]

Tergugat menambahkan, selain memperhitungkan depresiasi, nilai ganti rugi juga memperhitungkan deductible 5% yang telah disepakati di dalam Syarat Tambahan PSAKI, yang mengatur sebagai berikut: “Dengan ini disepakati dan disetujui bahwa dari setiap klaim yang dibayar atas setiap kejadian dibawah penutupan ini, tertanggung akan memikul 5% (lima persen) dari klaim yang disetujui.” Artinya, nilai harga pertanggungan sebesar Rp. 744.800.000 yang tercantum dalam polis bukan nilai yang utuh akan diterima Tertanggung, melainkan dikurangi dengan deductible 5%, dan juga depresiasi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Faktanya, sambung pihak Tergugat, penentuan besaran ganti rugi tidak dilakukan oleh Tergugat I dan III (perusahaan asuransi) sendiri, namun oleh perusahaan Independent berbadan hukum yakni Loss Adjuster and Surveyors alias pihak ketiga yang memiliki keahlian, sertifikasi, pengalaman, independen dan bebas benturan kepentingan dalam menghitung besaran ganti rugi. Dalil keberatan berikutnya dari Tergugat, putusan Pengadilan Negeri Tarakan harus dibatalkan karena mengabulkan “bunga” yang tidak dituntut oleh Penggugat alias mengabulkan lebih dari yang dituntut {ultra petitum).

Hukum acara perdata melarang hakim untuk menjatuhkan amar-amar putusan atas perkara yang tidak digugat atau meluluskan yang lebih daripada yang digugat, seperti misalnya apabila seorang penggugat dimenangkan di dalam perkaranya untuk membayar kembali uang yang dipinjam oleh lawannya, akan tetapi ia lupa untuk menuntut agar supaya tergugat dihukum pula membayar bunganya, maka hakim tidak diperkenankan menyebutkan dalam putusannya supaya yang kalah itu membayar bunga atas uang pinjaman itu.

Pengadilan yang dalam amar putusannya menghukum Tergugat I dan III (perusahaan asuransi) untuk membayar bunga, sama sekali tidak didasarkan atas satu pun ketentuan hukum, baik dalam Perjanjian PSAKI maupun polis asuransi yang mengatur / menentukan adanya ketentuan bunga demikian. Di dalam gugatannya, Penggugat hanya menuntut Para Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar bunga sebesar 6% pertahun, alias TIDAK PERNAH menuntut bunga sebesar 14,00% per tahun. Sehingga, pertimbangan Putusan Pengadilan Negeri Tarakan telah memutus melebihi dari apa yang dituntut dalam surat gugatan, dimana Mahkamah Agung yang tidak mengoreksi atau menganulirnya.

Yang menarik dari argumentasi perusahaan asuransi ialah, perihal bunga sebesar 14% per tahun dalam Perjanjian Kredit Modal Usaha merupakan kesepakatan bipartrit antara pihak Tergugat II (bank) dan Penggugat, sehingga berdasarkan Pasal 1340 KUHPerdata hanya berlaku bagi pihak-pihak yang saling bersepakat dalam perjanjian, dan tidak mengikat terlebih ditafsirkan dapat membebani pihak ketiga—dimana Tergugat I dan III (perusahaan asuransi) bukanlah merupakan pihak dalam Perjanjian Kredit dimaksud. Dengan kata lain, demi hukum Tergugat I dan III (perusahaan asuransi) tidak mempunyai hubungan hukum dengan Penggugat maupun dengan Tergugat II (bank). [Note SHIETRA & PARTNERS : Suatu dalil yang terbukti fatal, karena disisi lain mendalilkan adanya hubungan hukum berupa “Banker’s Clause” dengan pihak Bank]

Dalam Perjanjian Kredit antara Penggugat dan Tergugat II, ada disebutkan adanya bunga sebesar 14% dalam hal terjadi kelalaian oleh satu pihak terhadap pihak lainnya. Bunga 14% tersebut tidak pernah ada dalam Polis / PSAKI antara perusahaan asuransi dengan pembeli polis. Putusan Pengadilan Negeri Tarakan yang dikuatkan oleh putusan Kasasi Mahkamah Agung, justru membebankan bunga 14% tersebut kepada perusahaan asuransi kepada pembeli polis. Sepatutnya hukuman tersebut dijatuhkan kepada pihak Bank, bukan kepada perusahaan asuransi yang tidak pernah memperjanjikan dan bukan pihak yang terlibat dalam Perjanjian Kredit.

Adapun satu-satunya perjanjian antara Tergugat I dan III (perusahaan asuransi) dan pihak Penggugat, adalah Perjanjian Polis Asuransi, dalam hal ini Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia (PSAKI), bukan tabungan, bukan deposito, dan juga bukan produk perbankan (Perjanjian Kredit) lainnya yang menerapkan bunga sebagai komponen wanprestasinya. Dalam Perjanjian PSAKI tidak ada satupun ketentuan yang mengatur mengenai bunga ataupun memperjanjikan adanya bunga. Oleh karena tidak pernah diperjanjikan, maka putusan demikian jelas bertentangan dengan Polis / PSAKI yang menjadi dasar perikatan antara perusahaan asuransi dan pihak pembeli polis.

Berdasarkan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1321 K/Sip/1973 tanggal 13 Mei 1975, diyatakan bahwa tuntutan mengenai bunga uang, karena tidak diperjanjikan dengan tegas, tidak dapat dikabulkan. Oleh karena tidak pernah diperjanjikan dalam Polis/PSAKI, maka demi hukum tidak dapat dikabulkan.

Kedudukan perusahaan asuransi, merupakan sebatas pihak ketiga dalam Perjanjian Kredit internal / bipartrit antara Penggugat dan pihak Bank, sebagaimana diatur dalam Pasal 1340 KUHPerdata : “Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga...”—namun disaat bersamaan pihak perusahaan asuransi mendalilkan, berdasarkan Syarat Tambahan PSAKI telah disepakati “Banker’s Clause” (Klausula Bank) yang berbunyi sebagai berikut:

Dengan ini dicatat dan disetujui, bahwa harta benda yang dipertanggungkan di bawah Polis ni telah dijadikan agunan pada Bank PT. Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk. Cabang Tarakan Dan sehubungan dengan itu, disepakati antara Bank tersebut dengan Tertanggung, bahwa dalam hal terjadi kerugian, jika ada yang dapat dibayarkan di bawah Polis ini, maka akan dibayarkan kepada Bank tersebut sampai jumlah yang akan menjadi haknya, termasuk bunga dan biayanya, tanpa mengurangi hak Tertanggung atas selisihnya.

“Klausula ini tidak berlaku lagi setelah diterimanya pemberitahuan dari Bank yang bersangkutan, bahwa Bank tidak lagi mempunyai kepentingan terhadap harta benda yang dipertanggungkan di bawah ini.”

Singkat kata, perusahaan asuransi berpendirian, justru telah melakukan prestasi sebagaimana diatur dalam Perjanjian Asuransi. Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena tidak ditemukan adanya kekhilafan dan kekeliruan yang nyata dalam putusan Judex Facti;

“Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali tidak menepati janji untuk membayar sejumlah nilai tanggungan padahal Penggugat telah memenuhi kewajiban membayar Premi;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Tergugat I dan III (perusahaan asuransi) Pimpinan Cabang PT. Asuransi Jasa Indonesia (Persero) Tarakan dan PT. Asuransi Jasa Indonesia (Persero), tersebut harus ditolak;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan peninjauan kembali dari Tergugat I dan III (perusahaan asuransi) 1. PIMPINAN CABANG PT. ASURANSI JASA INDONESIA (PERSERO) TARAKAN, 2. PT. ASURANSI JASA INDONESIA (PERSERO) tersebut;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.