Klausula Arbitrase Bukanlah Alat untuk Membungkam Pihak yang Ingin Mempersengketakan Hak dan Kewajiban Kontraktual
Question: Klausula arbitrase yang tidak mengusung prinsip kemanfaatan, terlebih sifatnya ialah kontrak baku yang sepihak, apakah benar-benar sifatnya mutlak keberlakuannya? Itu sama artinya mematikan langkah pihak kami yang menilai “lebih besar pasak daripada tiang” membawa sengketa ini ke arbitrase. Apa jadinya, bila tetap kami paksakan untuk membawa sengketa ini ke hadapan Pengadilan Negeri setempat?
Brief Answer: Klaususa arbitrase bila itu berupa “klausula
baku”, dalam artian tidak murni kesepakatan dan tidak juga berangkat kerelaan kedua
belah pihak yang saling bersengketa, namun sebagai modus untuk “membungkam bibit-bibit
sengketa”, boleh disimpangi oleh Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus perkara
perdata di Pengadilan Negeri, mengingat pencantuman klausula arbitrase dalam
praktik kerap menjadi modus pelaku usaha untuk membuat konsumennya mengurungkan
niat jika hendak menggugat.
Idealnya, ketentuan pemilihan
forum penyelesaian sengketa ke hadapan arbitrase, hanya berlaku mengikat
bilamana sifatnya ialah perjanjian terpisah / tersendiri perihal kesepakatan
pemilihan forum penyelesaian sengketa—sebagaimana dalam praktik pemilihan
arbitrase khusus lembaga keuangan maupun lembaga pembiayaan—bukan berupa
klausula baku dalam Perjanjian Kredit, Perjanjian Asuransi, Perjanjian Leasing,
dan sebagainya. Dapat kita bayangkan, objek jual-beli hanya senilai sekian rupiah,
namun harus menanggung biaya arbitrase yang tergolong tidak ekonomis (ekonomi
biaya tinggi). Sehingga, dengan mengusung konsep asas peradilan sederhana,
cepat, dan biaya ringan, dapat disimpangi oleh Pengadilan Negeri di Indonesia.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman,
dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan ilustrasi konkretnya sebagaimana
tertuang dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa keuangan register Nomor 530
PK/Pdt/2017 tanggal 19 Oktober 2017, perkara antara:
1. PIMPINAN CABANG PT. ASURANSI
JASA Indonesia (PERSERO) TARAKAN, dan 2. PT. ASURANSI JASA INDONESIA (PERSERO),
sebagai Para Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Tergugat I dan III;
melawan
- YOSEP, sebagai Termohon
Peninjauan Kembali, semula selaku Penggugat; dan
- PIMPINAN CABANG PT. BANK
NEGARA Indonesia (PERSERO) Tbk TARAKAN, selaku Turut Termohon Peninjauan
Kembali, dahulu sebagai Tergugat II.
Tergugat I menerima
pertanggungan dari Penggugat atas harta benda berupa dua unit Bangunan, dengan
jenis pertanggungan kebakaran dengan total nilai pertanggungan adalah Rp.
744.800.000, sebagaimana tertuang dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran
Indonesia dan Polis Asuransi Kebakaran yang diterbitkan dan ditandatangani oleh
Kantor Cabang dari Tergugat III di Tarakan, yaitu Tergugat I. Jangka waktu
pertanggungan ialah 12 bulan yakni mulai tanggal 13 Maret 2009 sampai dengan
tanggal 13 Maret 2010. Ditentukan oleh Tergugat I, besarnya Premi adalah Rp. 9.677.664,-
dimana pada tanggal 13 Maret 2009 Penggugat selaku Tertanggung membayar Premi
sebesar itu kepada dan diterima dengan baik oleh Tergugat I.
Penggugat terpaksa mempolis-asuransikan
harta benda Bangunan kepada Tergugat I, karena diwajibkan oleh Tergugat II sehubungan
sejak tanggal 13 Maret 2007 menerima fasilitas kredit dari Tergugat II berupa
Kredit Modal Kerja (KMK). Yang menunjuk Tergugat I sebagai perusahaan asuransi,
adalah Tergugat II. Adapun Penggugat sebagai pihak yang menerima kredit mau tidak
mau hanya mengikuti saja keinginan dari Tergugat II dan Tergugat I. Yang
menentukan atau menetapkan harga pertanggungan atas harta benda berupa Bangunan
milik Penggugat, adalah Tergugat I, kemudian Tergugat II pun menyetujuinya,
dibuktikan dalam Lampiran Perjanjian Kredit tanggal 13 Maret 2007, sudah
dicantumkan oleh Tergugat II dengan judul : Barang-Barang Jaminan Kredit yang
di-asuransikan, adapun Penggugat hanya mengikuti saja kemauan / persyaratan
dari Tergugat II dan Tergugat I akibat daya tawar yang lemah.
Tanggal 12 September 2009, terjadi
kebakaran yang mengakibatka Bangunan yang oleh Penggugat dipertanggungkan pada
Tergugat I dan menjadi jaminan pelunasan hutang / kredit Penggugat pada
Tergugat II, terbakar dan musnah, sehingga waktu terjadinya kejadian musibah masih
dalam tenggang waktu berlangsungnya masa pertanggungan asuransi. Satu minggu
setelah peristiwa kebakaran, Penggugat mendatangi Tergugat II maupun Tergugat I
di kantor masing -masing untuk memberitahukan terjadinya kebakaran itu atas
harta benda yang dipertanggungkan itu. Tidak lama setelah itu Penggugat
menyerahkan kepada Para Tergugat Surat Keterangan mengenai benar terjadinya kebakaran
itu dari Kasat Reskrim Kepolisian Resor Tarakan tanggal 20 Oktober 2009, dengan
maksud dari Penggugat agar Tergugat I dapat segera memenuhi kewajibannya untuk
membayarkan ganti-rugi kepada Penggugat sebesar harga pertanggungan yang
disepakati yakni Rp. 744.800.000.
Adapun tanggapan Tergugat I
kepada Penggugat yang akan merealisasikan pembayaran ganti rugi-kepada
Penggugat, merupakan kewenangan Tergugat III. Sekitar bulan Nopember 2010,
seorang karyawan Tergugat III bertemu dengan Penggugat dan disaksikan oleh seorang
staf bagian Kredit Tergugat II, dimana yang bersangkutan menyampaikan kepada
Penggugat pembayaran ganti rugi bisa saja tidak direalisasikan ataupun hanya
25% (dua puluh lima persen) saja dari harga pertanggungan, sehingga sejak
adanya pertemuan itu Penggugat merasa khawatir pembayaran ganti-rugi akan
tersendat dan tidak sebagaimana mestinya. Jika begitu, mengapa Penggugat tidak dibebaskan
memilih perusahaan asuransi swasta lainnya untuk mem-polis asuransikan objek
bangunan, alih-alih mem-bundling fasilitas kredit dan perusahaan asuransi
afiliasi yang tidak jarang merupakana anak perusahaan phak kreditor?
Beberapa lama setelah pertemuan,
Tergugat II memanggil Penggugat di Kantornya dan menyampaikan Tergugat I dan
Tergugat III hanya bersedia membayarkan ganti rugi sebesar lebih kurang
Rp.335.000. 000 saja. Mendengar tanggapan sepihak demikian, Penggugat langsung
menyatakan keberatan baik kepada Tergugat I maupun Tergugat III serta Tergugat
II, dan tidak bersedia menerima nilai yang ditawarkan untuk dibayar oleh Tergugat
III dan atau Tergugat I. Beberapa bulan setelah itu, Tergugat II menyampaikan
lagi kepada Penggugat besarnya ganti-rugi yang akan dibayarkan oleh Tergugat I
dan Tergugat III adalah Rp. 444.400.000, bahkan Tergugat II mendesak atau
setengah memaksa Penggugat supaya menerima atau menyetujui saja karena alasan
dari Tergugat II sudah tidak mungkin lagi akan tambah besar nilainya.
Tergugat II mengancam jika Penggugat
tidak juga menyetujui dan mau menerima maka Tergugat II yang akan menyetujui
dan menerima, namun Penggugat tetap menolak dan keberatan, sembari meminta atau
mengingatkan agar Tergugat II juga jangan sekali-kali mau menerima atau
menyetujuinya, sehingga Penggugat sejak saat itu sudah mencurigai ada persekongko-lan
antara Para Tergugat yang patut ditengarai merupakan afiliasi yang mengandung
“konflik kepentingan” antara perusahaan asuransi dan pihak lembaga keuangan,
sehingga hanya berpihak / menguntungkan grup usahanya sendiri dan saling
melindungi dengan merugikan pihak debitor pemilik objek bangunan yang di-polis
asuransikan.
Walaupun masih ada keberatan
dari Penggugat atas besarnya nilai ganti-rugi yang harus dibayarkan oleh
Tergugat I dan Tergugat III, pada akhirnya Tergugat II tetap saja menyetujui
dan menerima pembayaran ganti rugi sebesar Rp. 444.400.000 dari Tergugat I dan
atau Tergugat III, sekalipun Tergugat II paham benar harga pertanggungan yang disepakati
bersama harus sebesar Rp. 744.800.000. Tergugat II telah mem-fetakompli hak
Penggugat dalam untuk membuat keputusan terkait objek agunan yang di-polis
asuransikan. Menerima atau menolak (keberatan), merupakan hak prerogatif
Penggugat selaku pemegang polis. Sehingga hak finansial Penggugat yang tidak
dibayarkan oleh Tergugat I dan atau Tergugat III, yakni:
a. Harga Pertanggungan sebesar
Rp. 744.800.000,-;
b. mengingat seharusnya paling
lambat bulan Nopember 2009 seharusnya telah membayar kewajibannya berupa harga
pertanggungan, maka sudah seharusnya Para Tergugat dihukum untuk membayar bunga
setidak-tidaknya sebesar “bunga menurut Undang-Undang” yakni 6% (enam persen)
untuk setiap tahunnya, dan hingga gugatan perkara ini didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tarakan sudah 2 (dua) tahun lamanya, sehingga
perhitungannya adalah Rp. 744.800.000,- X 6% x 2 Tahun = Rp. 8 9.376.000,- dimana
bunga tersebut harus tetap dihitung sampai Para Tergugat melaksanakan Keputusan
dalam perkara ini.
Perbuatan Tergugat I dan atau
Tergugat III yang membayarkan ganti rugi langsung kepada Tergugat II, alih-alih
kepada Penggugat selaku pemegang polis sekaligus pembayar premi—dimana nilai yang
dibayarkan pun tidak sebagaimana diperjanjikan alias tidak sebesar harga pertanggungan
Rp. 744,800.000 serta tidak tepat waktu, selalipun Penggugat masih mengajukan
keberatan alias masih mempersengketakan, akan tetapi perbuatan Tergugat II yang
(justru) secara serta-merta menyetujui dan menerima secara sepihak pembayaran
ganti-rugi dari Tergugat III dan atau Tergugat I, jelas-jelas merupakan
perbuatan ingkar janji atau wanprestasi, yang merugikan Penggugat secara
materiil, dengan perincian:
1) Harga Pertanggungan sebesar
Rp. 744.800.000;
2) Bunga setidak-tidaknya
sebesar bunga menurut Undang-Undang yakni 6% (enam persen) untuk setiap
tahunnya, dimana seharusnya paling lambat bulan Nopember 2009 membayar
kewajibannya berupa harga pertanggungan maka hingga gugatan perkara ini
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tarakan sudah berselang waktu 2
(dua) tahun lamanya, sehingga perhitungan bunga adalah Rp. 744.800.000,- X 6% x
2 Tahun = Rp. 89.376.000—bunga tersebut harus tetap dihitung sampai Para
Tergugat melaksanakan Keputusan dalam perkara ini.
Penggugat menambahkan, tuntutan
berupa pembayaran Kerugian Materiil sebesar Rp. 834.176.000 tersebut harus dipertanggung-jawabkan
secara renteng maupun secara sendiri-sendiri kepada Tergugat I, Tergugat III, dan
Tergugat II, sehingga Para Tergugat harus dihukum baik sendiri-sendiri maupun
secara tanggung renteng untuk membayar kerugian materiil sebesar Rp.
834.176.000 secara tunai dan sekaligus kepada Penggugat segera setelah putusan
dalam perkara ini diucapkan. Penggugat sudah berulang-kali mengupayakan
menghubungi Para Tergugat baik melalui surat maupun lisan melalui telepon,
bahkan Penggugat beberapa kali menemui Tergugat II maupun Tergugat I dengan
maksud untuk meminta Para Tergugat membayar dan menyelesaikan kewajibannya kepada
Penggugat, akan tetapi selalu saja jawaban Para Tergugat mengecewakan
Penggugat, sehingga terpaksalah Penggugat menyelesaikannya melalui gugatan ke
Pengadilan Negeri Tarakan. Adapun yang menjadi pokok tuntutan pihak Penggugat,
yakni:
- Menyatakan menurut hukum
bahwa perbuatan Tergugat II yang menyetujui dan menerima secara sepihak
pembayaran ganti rugi dari Tergugat III dan atau Tergugat I tidak sesuai dengan
harga pertanggungan yang disepakati yakni sebesar Rp. 744.800.000 sedangkan Penggugat
masih keberatan dan menolak, adalah merupakan perbuatan ingkar janji alias
wanprestasi;
- Menghukum Tergugat I, Tergugat
III, Tergugat II baik sendiri-sendiri maupun secara tanggung renteng membayar
ganti kerugian Materiil maupun Moriil kepada Penggugat secara tunai sekaligus
dan seketika sejak Putusan dalam perkara ini diucapkan.
Yang menjadi tanggapan pihak
Tergugat II, hubungan hukum antara Tergugat II dan Penggugat ialah hubungan
hutang-piutang, yakni Perjanjian Kredit Nomor tanggal 13 Maret 2007 dengan
jangka waktu 12 bulan sampai dengan tanggal 13 Maret 2008, dengan agunan
jaminan pelunasan kredit berupa beberapa Sertifikat Hak Milik (SHM). Bangunan
milik Penggugat diasuransikan dengan uang pertanggungan sebesar Rp. 744.800.000
sebagaimana tertuang dalam Polis tanggal 13 Maret 2007 yang diterbitkan oleh
Tergugat I dengan nama Tertanggung adalah PT. BNI Tarakan Qq. Yosep (Tergugat II Qq.
Penggugat ) dengan jangka waktu pertanggungan adalah 12 bulan sampai dengan
tanggal 13 Maret 2008.
Pembayaran (premi) atas
asuransi dibayar oleh Penggugat sebesar Rp. 6.300.664 sebagaimana telah
ditentukan oleh Tergugat I sebelumnya dan telah dibayar oleh Penggugat pada
tanggal 15 Maret 2007 dengan klausul / syarat tambahan yang tertuang dalam
polis yaitu Banker's Clause yaitu pembayaran atas klaim kerugian terhadap obyek
tertanggung diserahkan kepada bank sebagai kompensasi pembayaran hutang
Penggugat kepada Tergugat II selaku bank / kreditor. Polis diperpanjang oleh
Tertanggung kepada Tergugat I sejak tanggal 13 Maret 2008 sampai dengan 13 Maret
2009 dengan pembayaran premi sebesar Rp. 9.677.664,- melalui polis tanggal 03
Maret 2008—pembavaran premi mana merupakan kewaiiban Penggugat, namun karena Penggugat
tidak mampu untuk membayar kewajibannya, maka Tergugat II-lah yang membayarkan
kewajiban Penggugat tersebut kepada Tergugat I.
Polis tersebut kemudian diperpanjang
kembali oleh Tertanggung kepada Tergugat I sejak tanggal 13 Maret 2009 sampai
dengan 13 Maret 2010 dengan pembayaran premi sebesar Rp. 9.67 7.664,- sebagaimana
polis tanggal 18 Maret 2009. Pembavaran premi ini merupakan kewajiban Penggugat,
namun karena Penggugat tidak mampu untuk membayar kewajibannya karena sudah
masuk kategori “debitur macet” yang menunggak pelunasan hutang, maka Tergugat II-lah
yang membayarkan kewaiiban Penggugat
tersebut kepada Tergugat I—dengan tetap memperhitungkannya sebagai total
tunggakan Penggugat, tentunya.
Tergugat Ii menguraikan,
Penggugat merupakan “debitur macet” yang sudah tidak mampu lagi untuk melakukan
kewajibannya mencicil ataupun melunasi kewajiban pembayaran kreditnya kepada
Tergugat II, sekalipun telah Tergugat II sampaikan kepada Penggugat melalui
surat tertulis namun tidak pernah
mendapat tanggapan ataupun diindahkan oleh Penggugat, dimulai dari surat
teguran tanggal 14 Mei 2008, berlanjut hingga surat teguran tanggal 7 September
2009 perihal tunggakan pinjaman Penggugat yang telah masuk golongan debitur
macet untuk segera diselesaikan oleh Penggugat. Dengan demikian Penggugat tergolong
pihak yang mempunyai itikad tidak baik atas kewajiban sebagaimana Perjanjian
Kredit yang telah disepakati olehnya dengan Tergugat II untuk melunasi
kreditnya.
Peristiwa kebakaran yang
menimpa barang-barang Penggugat yang telah dijaminkan kepada Tergugat II, telah
diteruskan oleh Tergugat II kepada Tergugat I dengan disertai dokumen-dokumen
pendukungnya. Segala penilaian terkait dengan penggantian kerugian yang menimpa
Penggugat atas peristiwa dimaksud, sepenuhnya merupakan tanggung jawab dan
kewenangan Tergugat I—sekalipun Tergugat II yang mewajibkan Penggugat membeli
polis dari Tergugat I, tanpa pilihan bebas memilih perusahaan asuransi
lainnya—dimana jumlah pembayaran atas penggantian kerugian Penggugat berdasarkan
klaim yang diajukan merupakan kewenangan Tergugat I sebagai pihak perusahaan asuransi,
bukan Tergugat II.
Tergugat II merujuk ketentuan di
dalam polis asuransi Tergugat I, terdapat klausul / syarat berupa “Banker's Clause”, yaitu cara pembayaran
atas klaim kerugian terhadap obyek yang diasuransikan akan diserahkan oleh
Tergugat I kepada bank sebagai kompensasi pembayaran hutang Penggugat. Dengan
demikian hasil pembayaran atas klaim kebakaran yang menimpa obyek milik
Penggugat yang telah dijadikan agunan kepada Tergugat II, klaim kerugian dibayarkan
oleh perusahaan asuransi kepada Tergugat II sebagai kompensasi pembayaran
hutang Penggugat kepada Tergugat II.
Hasil pembayaran klaim yang
dibayarkan Tergugat I kepada Tergugat II, senyatanya masih kurang dari total
hutang kredit Penggugat, maka Penggugat justru masih mempunyai kewajiban
pengembalian hutangnya kepada Tergugat II. Namun pihak Tergugat Ii selaku
kreditor, mengajukan dalil yang sangat fatal karena menjadi bumerang (backfire) posisi hukum pihak Tergugat Ii
itu sendiri yang semestinya melelang eksekusi Hak Tanggungan terhadap agunan
milik debitor, justru “main hakim sendiri” dengan mengutip dana hasil klaim
asuransi milik debitor. [Note SHIETRA & PARTNERS : Bilamana suatu
fasilitas kredit telah dijamin pelunasannya berupa agunan yang diikat Hak
Tanggungan, maka sejatinya debitor tidak perlu lagli dibebani “ekonomi biaya
tinggi” semisal mem-polis asuransikan aset-aset milik debitor disertai premi
yang harus dibayarkan debitor, mengingat kreditor dapat secara serta-merta
melelang eksekusi (mem-parate eksekusi) Hak Tanggungan.]
Tergugat II mengajukan gugatan
balik terhadap Penggugat, dengan dalil bahwa Penggugat telah dikucurkan kredit
senilai 2.000.000.000 dari Tergugat II. Namun sampai dengan jatuh temponya
Perjanjian Kredit, Penggugat belum melaksanakan seluruh kewajibannya kepada Tergugat
II sampai pada akhirnya sebagian obyek agunan milik Penggugat mengalami kebakaran.
Setelah dilakukan pembayaran atas klaim kebakaran yang menimpa aset Penggugat, ternyata
Penggugat masih belum kunjung membayarkan apa yang menjadi kewajiban Penggugat kepada
Tergugat II, yang saat kini kondisinya ialah menunggak kewajiban sebesar Rp.
2.613.142.448.
Berhubung Penggugat masih
memiliki kewajiban pelunasan hutang kepada Tergugat II, maka Tergugat II masih
mempunyai kewenangan untuk melakukan lelang ekskeusi atas agunan milik Penggugat
lainnya berupa berbagai aset tanah dan bangunan yang tidak terbakar maupun
tanah yang telah terbakar.
Terhadap gugatan Penggugat,
Pengadilan Negeri Tarakan kemudian menjatuhkan putusan Nomor
06/Pdt.G/2011/PN.Trk tanggal 10 November 2011, dengan pertimbangan hukum serta amar
sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa setelah
mempelajari bukti surat bertanda T-I-III-8 yang menjadi dasar Tergugat I dan
Tergugat III membayar ganti rugi sebesar Rp. 444.400.000, Majelis Hakim"berpendapat
bukti surat T-I-III-8 tidak dapat dijadikan dasar untuk membuktikan Penggugat
mau menerima ganti rugi yang ditawarkan Tergugat I dan Tergugat III sebesar
Rp444.400.000 dan Penggugat juga tidak pernah memberikan kuasa khusus kepada
Tergugat II untuk menerima tawaran pembayaran ganti rugi kerugian dari Tergugat
I dan Tergugat III sebesar Rp. 444.400.000 dan kedudukan Tergugat II sebagai
pemegang jaminan atas barang-barang yang menjadi objek pertanggungan hanya
sebatas untuk menerima klaim asuransi dari Tergugat I dan Tergugat II yang
telah disetujui Penggugat;
“Menimbang, ... barang-barang
milik Penggugat yang diasuransikan kepada Tergugat I dan Tergugat III merupakan
jaminan hutang kepada Tergugat II, dimana berdasarkan bukti surat bertanda P-7
yaitu Persetujuan Perubahan Perjanjian Kredit nomor: (1) 2007.019 pasal 10
tertanggal 14 Maret 2008 Penggugat wajib membayar kepada Tergugat II bunga
efektif sebesar 14,00% pertahun, maka cukup beralasan tuntutan bunga tersebut
dikabulkan sebesar 14,00% pertahun sesuai beban bunga pinjaman Penggugat kepada
Tergugat II, dari kewajiban pokok Tergugat I dan Tergugat III sebesar Rp.
744.800.000,-( tujuh ratus empat puluh empat juta delapan ratus ribu rupiah)
terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Tarakan pada tanggal 12 April 2011 sampai Tergugat I dan Tergugat III membayar
lunas kewajibannya sebesar Rp.744.800.000,- (tujuh ratus empat puluh empat juta
delapan ratus ribu rupiah) kepada Penggugat;
“Menghukum Tergugat I dan
Tergugat III untuk membayar bunga sebesar 14,00% pertahun dari kewajiban pokok
sebesar Rp. 744.800.000,- (tujuh ratus empat puluh empat juta delapan ratus
ribu rupiah) terhitung sejak perkara ini didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri Tarakan sampai Tergugat I dan Tergugat II membayar lunas kewajibannya
kepada Penggugat;”
“MENGADILI :
Dalam Konvensi:
Dalam Eksepsi:
- Menyatakan eksepsi tergugat
ii tidak dapat diterima;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan bahwa perjanjian asuransi kebakaran antara PT. BNI Tarakan
QQ Yosep bdn Toko Star Elektronik selaku Tertanggung dan PT. Asuransi Jasa
Indonesia sebagaimana tertuang dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia
Nomor Reg. PSAKI 08006373 tanggal 18 Maret 2009 adalah sah dan mengikat;
3. Menyatakan menurut hukum bahwa Penggugat sudah memenuhi kewajibannya
membayar premi asuransi yang ditentukan oleh Tergugat I sebesar Rp. 9.677.664
(sembilan juta enam ratus tujuh puluh tujuh ribu enam ratus enam puluh empat
rupiah);
4. Menyatakan bahwa Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia Nomor Reg.
PSAKI 08006373 tanggal 18 Maret 2009 adalah sah dan mengikat;
5. Menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan Tergugat I dan Tergugat III
membayarkan ganti rugi tidak sebagaimana mestinya yakni tidak sebesar harga
pertanggungan yang disepakati yakni sebesar Rp. 744.800.000,- (tujuh ratus
empat puluh empat juta delapan ratus ribu rupiah), tidak tepat waktu serta
membayarkannya langsung kepada Tergugat II adalah merupakan perbuatan
ingkar janji atau wanprestasi dengan segala akibat hukum dari padanya;
6. Menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan Tergugat II yang
menyetujui dan menerima secara sepihak pembayaran ganti rugi dari Tergugat III dan
atau Tergugat I tidak sesuai dengan harga pertanggungan yang disepakati
yakni sebesar Rp. 744.800.000,- (tujuh ratus empat puluh empat juta delapan
ratus ribu rupiah), sedangkan Penggugat masih keberatan dan menolak,
adalah merupakan perbuatan ingkar janji atau wanprestasi dengan segala
akibat hukum dari padanya;
7. Menghukum Tergugat I dan Tergugat III untuk membayar ganti kerugian
materiil sesuai harga pertanggungan kepada Penggugat sebesar Rp.744.800.000,-
(tujuh ratus empat puluh empat juta delapan ratus ribu rupiah);
8. Menghukum Tergugat I dan Tergugat III untuk membayar bunga sebesar
14,00 % pertahun dari kewajiban pokok sebesar Rp. 744.800.000,- (tujuh
ratus empat puluh empat juta delapan ratus ribu rupiah) terhitung sejak perkara
ini didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tarakan sampai Tergugat I dan
Tergugat III membayar lunas kewajibannya kepada Penggugat;
9. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
Dalam Rekonvensi
- Menyatakan gugatan Penggugat Rekonvensi tidak dapat diterima;”
Dalam tingkat banding, yang
menjadi amar Putusan Pengadilan Tinggi Samarinda Nomor 38/Pdt/2012/PT.KT.SMDA
tanggal 8 Agustus 2012, dengan kutipan sebagai berikut:
“MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Pembanding I/Tergugat I dan Pembanding
II/Tergugat III;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tarakan Nomor
06/Pdt.G/2011/PN.Trk tanggal 10 November 2011 yang dimohonkan banding;”
Berlanjut dalam tingkat kasasi,
yang menjadi putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2066 K/Pdt/2013 tanggal 19
Desember 2014, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
- Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi : 1. Pimpinan
Cabang PT. Asuransi Jasa Indonesia (Persero) Tarakan, 2. PT.Asuransi Jasa Indonesia
(Persero), tersebut;”
Pihak perusahaan asuransi mengajukan
upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan pokok keberatan bahwa Pengadilan Negeri tidak
memiliki kewenangan mengadili secara absolut karena penyelesaian perselisihan
antara Tergugat I dan III (perusahaan asuransi) dengan Termohon Peninjauan
Kembali harusnya dilakukan secara arbitrase, mengingat dalam Polis Standar
Asuransi Kebakaran Indonesia (PSAKI) telah diatur bahwa dalam hal terjadi perselisihan
antara Tergugat I dan III dan Penggugat, maka Penggugat mempunyai hak untuk
memilih salah satu klausul penyelesaian sengketa yaitu arbitrase atau
pengadilan, dan wajib memberitahukan pilihannya tersebut secara tertulis kepada
Tergugat I dan III (perusahaan asuransi) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
kalender sejak tidak tercapainya kesepakatan damai. Bila pemberitahuan pilihan
forum penyelesaian sengketa tersebut tidak dipenuhi oleh Penggugat, maka Tergugat
I dan III berhak memilih salah satu klausul penyelesaian sengketa tersebut,
yakni arbitrase atau pengadilan.
Hingga jangka waktu 30 hari
berakhir, Penggugat tidak kunjung memberitahukan secara tertulis kepada
Tergugat I dan III. Penggugat justru tiba-tiba mengajukan Gugatan terhadap Tergugat
I dan III (perusahaan asuransi) dan pihak Tergugat II. Setelah 30 hari
dilampaui, hak Penggugat untuk memilih forum penyelesaian sengketa telah gugur
dan beralih kepada Tergugat I dan III yang memilih penyelesaian secara
arbitrase melalui Arbitrase. Dalam polis, yang menjadi nama Tertanggung ialah :
PT. BNI Tarakan Qq. Yosep bdn Toko
Star Elektronik. Nama dan alamat dalam Ikhtisar Pertanggungan tersebut jelas menyebut
Tergugat II sebagai Tertanggung. Karenanya pembayaran klaim ganti rugi
disampaikan kepada Tergugat II, bukan kepada Penggugat.
Pasal 17 dalam surat perjanjian
sudah ditentukan bahwa pembayaran ganti rugi dibayarkan langsung dari
Perusahaan Asuransi (Tergugat I dan III) kepada Bank (Tergugat II)—yang juga
dikenal sebagai “Banker's Clause”,
yang selengkapnya berbunyi : “Selama
kredit berjalan, ..., sehingga jika ada pembayaran ganti rugi dari Pihak
Perusahaan Asuransi akan dibayarkan langsung kepada BANK untuk diperhitungkan
dengan seluruh jumlah Hutang PEERIMA KREDIT kepada BANK (Banker's Clause).”
Namun alibi berikut dari
perusahaan asuransi menjadi bumerang bagi kepentingan hukumnya sendiri : Berdasarkan
fakta-fakta yang telah terbukti dalam persidangan, Objek Tanggungan telah dijadikan
agunan oleh Penggugat kepada Tergugat II (Bank) dengan Hak Tanggungan. [Note SHIETRA
& PARTNERS : Sehingga menjadi terang dan jelas bahwa jaminan pelunasan
hutang bagi pihak Bank ialah sewaktu-waktu dapat melelang eksekusi Objek Hak
Tanggungan, bukan dari klaim polis asuransi.
Perusahaan asuransi lalu
berlindung dibalik pasal-pasal dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia
(PSAKI) yang menyatakan bahwa pembayaran klaim ganti rugi harus dikurangi
dengan depresiasi, yakni:
- “Dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan atas harta benda dan atau
kepentingan yang dipertanggungkan, Penanggung berhak menentukan pilihannya
untuk melakukan ganti rugi dengan cara: Pembayaran uang tunai... . Biaya-biaya
tersebut di atas setelah memperhitungkan unsur depresiasi teknis.”
- “Perhitungan besarnya kerugian setinggi-tingginya adalah sebesar selisih
antara harga sebenarnya sesaat sebelum dengan harga sebenarnya sesaat setelah
terjadinya kerugian atau kerusakan.”
- "Nilai sisa barang yang mengalami kerusakan, diperhitungkan untuk mengurangi
jumlah ganti rugi yang dapat dibayarkan."
Tergugat I dan III menuding
bahwa pengadilan tidak mempertimbangkan bahwa nilai pertanggungan senilai
Rp.744.800.000 bukanlah nilai ganti rugi pada saat kerugian atas yang
dipertanggungkan timbul. Tergugat I dan III (perusahaan asuransi) terikat dan harus
tunduk pada ketentuan peraturan perundangan-undangan dalam hal ini Pasal 288 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang pada intinya mensyaratkan perhitungan
ganti rugi harus sesuai dengan nilai pada saat sebelum terjadi kebakaran. Faktor-faktor
yang harus dipertimbangkan dalam memperhitungkan nilai ganti rugi, dikeluarkan
oleh tim Independent Loss Adjuster dalam hal ini sebuah badan hukum profesi
Loss Adjuster and Surveyors, yang menerbitkan Surat Laporan disertai pernyataan
bahwa harga pembangunan kembali Objek Tanggungan (dengan mempertimbangkan harga
bahan bangunan dan pekerja setempat) adalah sebesar Rp. 615.436.000.
Mengingat PSAKI mengatur
mengenai perhitungan depresiasi aset, maka usia bangunan (Objek Tanggungan)
yang didirikan pada tahun 1972 dan direnovasi pada tahun 2003 dengan perkiraan
usia bangunan akan mencapai 35 tahun maka nilai depresiasinya adalah 17,14% (dari
semula 19,19%). Oleh karena itu perhitungan nilai ganti rugi sebenarnya adalah
(100%- 17,14%) x Rp. 615.436.000 = Rp. 509.950.270. Atas nilai tersebut
kemudian dikurangi deductible 5% dan pengurangan wajib lainnya berdasarkan
PSAKI, hingga kemudian diperoleh nilai ganti rugi sebesar Rp. 444.400.000.
Berangkat dari perhitungan dalam laporan tersebut, nilai pertanggungan (senilai
Rp.744.800.000) adalah lebih besar dari atau melebihi nilai ganti rugi sebenarnya
(senilai Rp. 444.400.000). Oleh karenanya adalah tepat untuk menetapkan dan
membayar ganti rugi senilai ganti rugi sebenarnya sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 288 KUHD dan PSAKI.
Perhitungan tersebut juga telah
sesuai dengan Pasal 288 KUHD yang menyatakan: “Pada pertanggungan milik yang dibangun dipersyaratkan, akan diganti kerugian
yang diderita pada persil itu, atau persil itu akan dibangun kembali atau
diperbaiki paling tinggi sampai jumlah yang dipertanggungkan. Dalam hal
yang pertama, kerugiannya dihitung dengan memperbandingkan nilai persil sebelum
bencana, dengan nilai sisanya segera setelah kebakaran...” [Note SHIETRA
& PARTNERS : Timbul pertanyaan, jika begitu mengapa sejak semula tidak
memberikan / mencantumkan nilai pertanggungan sebesar Rp. 615.436.000, mengapa Rp.
744.800.000? Kedua, anggaplah pembayar premi memilih opsi dibangun kembali,
maka nilai pembangunan kembalinya ialah pada angka yang sama, sebagaimana Surat
Laporan disertai pernyataan bahwa harga pembangunan kembali Objek Tanggungan
(dengan mempertimbangkan harga bahan bangunan dan pekerja setempat) adalah
sebesar Rp. 615.436.000.]
Tergugat menambahkan, selain
memperhitungkan depresiasi, nilai ganti rugi juga memperhitungkan deductible 5%
yang telah disepakati di dalam Syarat Tambahan PSAKI, yang mengatur sebagai
berikut: “Dengan ini disepakati dan
disetujui bahwa dari setiap klaim yang dibayar atas setiap kejadian dibawah
penutupan ini, tertanggung akan memikul 5% (lima persen) dari klaim yang
disetujui.” Artinya, nilai harga pertanggungan sebesar Rp. 744.800.000 yang
tercantum dalam polis bukan nilai yang utuh akan diterima Tertanggung, melainkan
dikurangi dengan deductible 5%, dan juga depresiasi sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya.
Faktanya, sambung pihak
Tergugat, penentuan besaran ganti rugi tidak dilakukan oleh Tergugat I dan III
(perusahaan asuransi) sendiri, namun oleh perusahaan Independent berbadan hukum
yakni Loss Adjuster and Surveyors alias pihak ketiga yang memiliki keahlian,
sertifikasi, pengalaman, independen dan bebas benturan kepentingan dalam
menghitung besaran ganti rugi. Dalil keberatan berikutnya dari Tergugat, putusan
Pengadilan Negeri Tarakan harus dibatalkan karena mengabulkan “bunga” yang
tidak dituntut oleh Penggugat alias mengabulkan lebih dari yang dituntut
{ultra petitum).
Hukum acara perdata melarang
hakim untuk menjatuhkan amar-amar putusan atas perkara yang tidak digugat atau
meluluskan yang lebih daripada yang digugat, seperti misalnya apabila seorang
penggugat dimenangkan di dalam perkaranya untuk membayar kembali uang yang
dipinjam oleh lawannya, akan tetapi ia lupa untuk menuntut agar supaya tergugat
dihukum pula membayar bunganya, maka hakim tidak diperkenankan menyebutkan
dalam putusannya supaya yang kalah itu membayar bunga atas uang pinjaman itu.
Pengadilan yang dalam amar
putusannya menghukum Tergugat I dan III (perusahaan asuransi) untuk membayar
bunga, sama sekali tidak didasarkan atas satu pun ketentuan hukum, baik dalam
Perjanjian PSAKI maupun polis asuransi yang mengatur / menentukan adanya ketentuan
bunga demikian. Di dalam gugatannya, Penggugat hanya menuntut Para Pemohon Peninjauan
Kembali untuk membayar bunga sebesar 6% pertahun, alias TIDAK PERNAH menuntut
bunga sebesar 14,00% per tahun. Sehingga, pertimbangan Putusan Pengadilan
Negeri Tarakan telah memutus melebihi dari apa yang dituntut dalam surat
gugatan, dimana Mahkamah Agung yang tidak mengoreksi atau menganulirnya.
Yang menarik dari argumentasi
perusahaan asuransi ialah, perihal bunga sebesar 14% per tahun dalam Perjanjian
Kredit Modal Usaha merupakan kesepakatan bipartrit antara pihak Tergugat II
(bank) dan Penggugat, sehingga berdasarkan Pasal 1340 KUHPerdata hanya berlaku
bagi pihak-pihak yang saling bersepakat dalam perjanjian, dan tidak mengikat
terlebih ditafsirkan dapat membebani pihak ketiga—dimana Tergugat I dan III
(perusahaan asuransi) bukanlah merupakan pihak dalam Perjanjian Kredit dimaksud.
Dengan kata lain, demi hukum Tergugat I dan III (perusahaan asuransi) tidak
mempunyai hubungan hukum dengan Penggugat maupun dengan Tergugat II (bank).
[Note SHIETRA & PARTNERS : Suatu dalil yang terbukti fatal, karena
disisi lain mendalilkan adanya hubungan hukum berupa “Banker’s Clause” dengan
pihak Bank]
Dalam Perjanjian Kredit antara
Penggugat dan Tergugat II, ada disebutkan adanya bunga sebesar 14% dalam hal
terjadi kelalaian oleh satu pihak terhadap pihak lainnya. Bunga 14% tersebut
tidak pernah ada dalam Polis / PSAKI antara perusahaan asuransi dengan pembeli
polis. Putusan Pengadilan Negeri Tarakan yang dikuatkan oleh putusan Kasasi
Mahkamah Agung, justru membebankan bunga 14% tersebut kepada perusahaan
asuransi kepada pembeli polis. Sepatutnya hukuman tersebut dijatuhkan kepada pihak
Bank, bukan kepada perusahaan asuransi yang tidak pernah memperjanjikan dan
bukan pihak yang terlibat dalam Perjanjian Kredit.
Adapun satu-satunya perjanjian
antara Tergugat I dan III (perusahaan asuransi) dan pihak Penggugat, adalah
Perjanjian Polis Asuransi, dalam hal ini Polis Standar Asuransi Kebakaran
Indonesia (PSAKI), bukan tabungan, bukan deposito, dan juga bukan produk
perbankan (Perjanjian Kredit) lainnya yang menerapkan bunga sebagai komponen
wanprestasinya. Dalam Perjanjian PSAKI tidak ada satupun ketentuan yang
mengatur mengenai bunga ataupun memperjanjikan adanya bunga. Oleh karena tidak
pernah diperjanjikan, maka putusan demikian jelas bertentangan dengan Polis / PSAKI
yang menjadi dasar perikatan antara perusahaan asuransi dan pihak pembeli
polis.
Berdasarkan Yurisprudensi
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1321 K/Sip/1973 tanggal 13 Mei 1975, diyatakan
bahwa tuntutan mengenai bunga uang, karena tidak diperjanjikan dengan tegas,
tidak dapat dikabulkan. Oleh karena tidak pernah diperjanjikan dalam
Polis/PSAKI, maka demi hukum tidak dapat dikabulkan.
Kedudukan perusahaan asuransi, merupakan
sebatas pihak ketiga dalam Perjanjian Kredit internal / bipartrit antara Penggugat
dan pihak Bank, sebagaimana diatur dalam Pasal 1340 KUHPerdata : “Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak
yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan
tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga...”—namun disaat
bersamaan pihak perusahaan asuransi mendalilkan, berdasarkan Syarat Tambahan
PSAKI telah disepakati “Banker’s Clause”
(Klausula Bank) yang berbunyi sebagai berikut:
“Dengan ini dicatat dan disetujui,
bahwa harta benda yang dipertanggungkan di bawah Polis ni telah dijadikan
agunan pada Bank PT. Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk. Cabang Tarakan Dan
sehubungan dengan itu, disepakati antara Bank tersebut dengan Tertanggung, bahwa
dalam hal terjadi kerugian, jika ada yang dapat dibayarkan di bawah Polis ini,
maka akan dibayarkan kepada Bank tersebut sampai jumlah yang akan menjadi
haknya, termasuk bunga dan biayanya, tanpa mengurangi hak Tertanggung atas
selisihnya.
“Klausula ini tidak berlaku lagi setelah diterimanya
pemberitahuan dari Bank yang bersangkutan, bahwa Bank tidak lagi mempunyai kepentingan
terhadap harta benda yang dipertanggungkan di bawah ini.”
Singkat kata, perusahaan
asuransi berpendirian, justru telah melakukan prestasi sebagaimana diatur dalam
Perjanjian Asuransi. Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan
serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak
dapat dibenarkan, oleh karena tidak ditemukan adanya kekhilafan dan kekeliruan
yang nyata dalam putusan Judex Facti;
“Bahwa Pemohon Peninjauan
Kembali tidak menepati janji untuk membayar sejumlah nilai tanggungan padahal Penggugat
telah memenuhi kewajiban membayar Premi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Tergugat
I dan III (perusahaan asuransi) Pimpinan Cabang PT. Asuransi Jasa Indonesia
(Persero) Tarakan dan PT. Asuransi Jasa Indonesia (Persero), tersebut harus
ditolak;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan peninjauan kembali dari Tergugat I dan III
(perusahaan asuransi) 1. PIMPINAN CABANG PT. ASURANSI JASA INDONESIA (PERSERO)
TARAKAN, 2. PT. ASURANSI JASA INDONESIA (PERSERO) tersebut;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.