(DROP DOWN MENU)

Daya Ikat Berita Acara Mediasi di Pengadilan, Sekalipun Deadlock

Hati-Hati terhadap Mediasi Pengadilan Sekalipun Deadlock, Ada Potensi Bahaya Resiko Dibaliknya dan Memiliki Daya Ikatnya Tersendiri

Jangan Pernah Terlena oleh Isi Peraturan Perundang-Undangan yang Tidak Jarang PHP (Pemberi Harapan Palsu)

Question: Jika saat mediasi saat gugat-menggugat di pengadilan, pada akhirnya ternyata deadlock karena tidak ada kesepakatan kedua belah pihak antara yang menggugat dan yang digugat, akan tetapi apakah segala bentuk komunikasi berupa tawaran-tawanan yang pernah kita ajukan saat mediasi berlangsung tersebut, bisa membawa dampak buruk bagi kita dalam proses persidangan gugat-menggugat ini pada gilirannya?

Brief Answer: Saat mengutarakan sesuatu dalam forum mediasi saat pra pembacaan surat gugatan, pastikah bahwa segala bentuk komunikasi berupa persetujuan, usul, tawaran, atau sebagainya, baik lisan maupun tertulis, sertakan “disclaimer” bahwa atau berupa kalimat tegas / eksplisit bahwa tawaran atau persetujuan ini hanya berlaku saat mediasi atau hingga mediasi dinyatakan berakhir. Lewat dari itu, maka segala bentuk tawaran ataupun persetujuan ini dinyatakan gugur.

Itulah yang disebut sebagai “syarat batal”, yakni bilamana kondisi yang kita syaratkan tidak terpenuhi, maka menjadi batal sifat keberlakuannya atas apa yang pernah kita tawaran ataupun sebaliknya apa yang kita sanggupi. Disclaimer Kedua, ialah menyatakan bahwa apa yang disampaikan bukanlah atau tidak dapat dimaknai sebagai sebentuk “pengakuan”—agar dikemudian hari tidak berpotensi menjadi bumerang bila pihak lawan secara tidak etis menyalahgunakan keterangan-keterangan yang disampaikan dalam forum mediasi.

PEMBAHASAN:

Baik berhasil ataupun gagalnya (deadlock) suatu mediasi pra gugat-menggugat, memang telah terdapat ketentuan normatifnya terkait segala komunikasi dalam forum mediasi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2003, dimana mengatur bahwa peristiwa-peristiwa / kejadian-kejadian pada saat mediasi:

a. Tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. Segala apa saja pun yang diajukan, disampaikan maupun yang diakui atau peristiwa apapun yang terjadi selama proses mediasi berlangsung:

- Tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Dengan demikian pernyataan dan pengakuan yang disampaikan, berada di luar ketentuan alat bukti yang digariskan Pasal 164 HIR, Pasal 1866 KUHPerdata;

- Tidak sah sebagai alat bukti. Oleh karena Pasal 13 ayat (1) PERMA Nomor 2 Tahun 2003 menyatakan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses pengadilan selanjutnya;

- Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Baik kepada para pihak maupun kepada pihak ketiga, tidak memiliki daya kekuatan sebagai alat bukti. Maupun terhadap perkara yang bersangkutan atau perkara lain, tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti;

b. Segala dokumen wajib dimusnahkan. Lebih lanjut Pasal 13 ayat (2) Perma Nomor 2 Tahun 2003, mewajibkan pemusnahan semua:

- Fotokopi dokumen;

- Notulen; atau

- Catatan Mediator;

Akan tetapi, PERMA No. 2 Tahun 2003 diatas merupakan “law in abstracto” yang tidak jarang dilanggar / diingkari sendiri oleh lembaga Mahkamah Agung maupun peradilan dibawahnya. Untuk memudahkan pemahaman perihal apa yang menjadi “law in concreto”-nya, dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat ilustrasi konkret sebagaimana putusan sengketa register Nomor 156 PK/Pdt/2017 tanggal 26 Juli 2017, perkara antara:

- WILLIAM SUPIT, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Penggugat; melawan

1.) Nona YOLANDA SISWANTO, sebagai Termohon Peninjauan Kembali, semula selaku Tergugat; dan

2.) ANNE DJOENARDI, sebagai Turut Termohon Peninjauan Kembali, semula selaku Turut Tergugat.

Penggugat merupakan pemilik tanah yang hendak dijual kepada pembeli yang berminat, yakni Tergugat. Dalam pertemuan tanggal 10 September 2011, disepakati antara Penggugat sebagai penjual dan Tergugat sebagai pembeli mengenai harga tanah dan tenggang waktu pembayarannya, yakni:

3.1. Harga tanah tersebut sebesar Rp49.000.000.000,00 (empat puluh sembilan miliar rupiah);

3.2. Tahap pembayaran:

3.2.1.  Tahap Pertama: Uang muka sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dibayar pada saat penandatanganan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli;

3.2.2. Tahap ke-2: sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah), paling lambat dibayar 1 (satu) bulan setelah penandatanganan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli;

3.2.3. Tahap ke-3: sebesar Rp24.000.000.000,00 (dua puluh empat miliar rupiah), paling lambat dibayar 2 (dua) bulan setelah penandatanganan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

Setelah adanya kesepakatan mengenai harga tanah dan tahap pembayarannyaas, maka Penggugat dengan Tergugat sepakat pada tanggal 12 September 2011 untuk bertemu di Kantor Notaris & Pejabat Pembuat Akta (Turut Tergugat) untuk melaksanakan dan menandatangani Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Sebelum membuat Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, pihak Turut Tergugat terlebih dahulu melakukan pengecekan terhadap Sertifikat Hak Milik tertanggal 3 September 2007 Nomor 2695/Grogol Utara, ternyata tanah dimaksud pernah diblokir dan Pajak Bumi dan Bangunan atas tanah tersebut belum dibayar oleh Penggugat selama 10 (sepuluh) tahun.

Untuk itu, sebelum melaksanakan dan menandatangani Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Agent Property (ibu Sandrawaty Djuanda), mempertemukan Penggugat dan Tergugat pada tanggal 12 September 2011, untuk memberitahukan bahwa tanah dimaksud pernah diblokir (namun kemudian blokir dimaksud sudah dicabut / diangkat, dimana pencabutan / pengangkatan pemblokiran atas sertifikat dimaksud diurus oleh Penggugat) serta Pajak Bumi dan Bangunan atas tanah tersebut belum dibayar oleh Penggugat selama 10 (sepuluh) tahun. Pihak pembeli (Tergugat) merasa kuatir tidak dapat membeli tanah dimaksud, maka kemudian Tergugat merubah tata cara pembayaran, sedangkan harga tanah tetap disepakati oleh Penggugat maupun Tergugat sebesar Rp49.000.000,00 sehingga tahap pembayarannya menjadi:

5.1. Dibayar oleh Tergugat kepada Penggugat secara tunai dan sekaligus sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) pada saat penandatanganan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli;

5.2. Sedangkan sisanya yakni sebesar Rp44.000.000.000,00 (empat puluh empat miliar rupiah) akan dibayar tunai dan sekaligus oleh Tergugat kepada Penggugat pada saat penandatanganan Akta Jual Beli dengan syarat Pajak Bumi dan Bangunan atas tanah tersebut dibayar lunas oleh Penggugat sampai dengan tahun 2011, dimana pada saat itu Penggugat berjanji akan menyelesaikannya paling lambat 1 (satu) bulan setelah penandatanganan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dilaksanakan;

Selanjutnya pada hari dan tanggal yang sama, Penggugat dan Tergugat termasuk Agent Property mendatangi kantor Turut Tergugat. Setelah Penggugat dan Tergugat mengutarakan tata cara pembayaran, maka terbitlah Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanggal 12 September 2011 Nomor 12 dibuat di hadapan Turut Tergugat. Namun meski PPJB telah ditandatangani oleh Tergugat maupun Penggugat, ternyata Tergugat tidak langsung melakukan pembayaran uang tahap pertama (uang muka) kepada Penggugat sebesar Rp5.000.000.000,00 sebagaimana yang telah diperjanjikan. Keesokan harinya yakni tanggal 13 September 2011, setelah Penggugat menagih kepada Tergugat pembayaran uang tahap pertama sebesar Rp5.000.000.000,00, baru Tergugat melakukan pembayaran uang tahap pertama sebesar Rp5.000.000.000,00 kepada Penggugat.

Penggugat kemudian menyelesaikan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan atas tanah tersebut yang tertunggak sampai dengan tahun 2011, dalam waktu 1 (satu) minggu, sehingga pada tanggal 21 September 2011, Penggugat mengajak Tergugat ke kantor Turut Tergugat untuk melaksanakan dan menandatangani Akta Jual Beli atas tanah dimaksud dan sekaligus meminta kepada Tergugat untuk melakukan pelunasan pembelian tanah tersebut yang masih tersisa sebesar Rp44.000.000.000. Namun Tergugat menolak untuk menandatangani Akta Jual Beli dengan alasan:

- neneknya Tergugat (ibu dari bapaknya Tergugat) akan segera dioperasi di Australia pada tanggal 3 Oktober 2011 dan Tergugat berjanji akan menandatangani Akta Jual Beli sekitar tanggal 5 Oktober 2011 atau tanggal 7 Oktober 2011;

- dalam PPJB, tidak ditentukan batas waktu untuk pelaksanaan pembuatan Akta Jual Beli dan sekaligus pembayaran pelunasan harga tanah tersebut.

Penggugat merasa terkejut dengan alasan Tergugat yang menolak menandatangani Akta Jual Beli karena dalam PPJB tidak ditentukan batas waktu untuk pelaksanaan Akta Jual Beli dan sekaligus pembayaran pelunasan harga tanah dimaksud. Sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 22 September 2011, Penggugat dan Agent Property mendatangi Kantor Turut Tergugat untuk menanyakan isi akta yang tidak sesuai dengan dibacakan oleh Turut Tergugat dengan yang telah ditandatangani oleh Penggugat dan Tergugat. PPJB, ditulis dengan pinsil terlebih dahulu oleh Turut Tergugat sesuai dengan yang diutarakan oleh Penggugat dan Tergugat, yakni sesuai dengan kesepakatan tanggal 12 September 2011, khususnya mengenai akan dilaksanakannya Akta Jual Beli dan pelunasannya harga tanah sebesar Rp44.000.000.000 yang harus dibayar oleh Tergugat kepada Penggugat setelah Pajak Bumi dan Bangunan atas tanah tersebut dibayar lunas sampai dengan tahun 2011 oleh Penggugat.

Pada hari itu juga, Penggugat mengajukan protes keras kepada Turut Tergugat atas isi akta yang tidak sesuai dengan yang diutarakan pada saat pembuatan PPJB, akan tetapi Turut Tergugat menyarankan kepada Penggugat untuk membatalkan PPJB ke Pengadilan Negeri, dengan alasan pihak pembeli (Tergugat) telah wanprestasi. Pada saat itu Turut Tergugat juga menyatakan bahwa menurut ketentuan yang berlaku umum, tenggang waktu untuk melakukan pelunasan pembayaran jual beli tanah adalah paling lambat 1 (satu) bulan setelah dibuat / ditandatanganinya suatu Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

Oleh karena Tergugat telah berjanji (secara lisan) kepada Penggugat akan menandatangani Akta Jual Beli sekitar tanggal 5 Oktober 2011 atau tanggal 7 Oktober 2011, maka Penggugat tidak mempermasalahkan PPJB, yang tidak sesuai dengan yang dibacakan oleh Turut Tergugat, oleh karenanya Penggugat dan Tergugat setuju dan sepakat akan menandatangani Akta Jual Beli pada tanggal 5 Oktober 2011 atau pada tanggal 7 Oktober 2011. Mengingat bahwa Turut Tergugat dalam membuat PPJB telah ternyata isinya tidak sesuai dengan kesepakatan para pihak, maka dalam pembuatan Akta Jual Beli baik pihak Penggugat maupun Tergugat telah beralih ke Notaris lain. Sampai dengan tanggal 7 Oktober 2011, Tergugat tidak memberi kabar mengenai kepastian pelaksanaan penandatanganan Akta Jual Beli, sehingga ibu Sandrawaty Djuanda berusaha menghubungi Tergugat pada tanggal 7 Oktober 2011 melalui telepon, pada saat itu Tergugat menyatakan kepada ibu Sandrawaty Djuanda bahwa ayah Tergugat masih di Australia, sehingga Tergugat menolak untuk melaksanakan / menandatangani Akta Jual Beli.

Penggugat melalui ibu Sandrawaty Djuanda sebagai Agent Property telah berulang kali menghubungi Tergugat untuk segera menandatangani Akta Jual Beli, namun Tergugat selalu menolak dan berjanji akan menandatangani Akta Jual Beli pada tanggal 8 November 2011. Pada saat itu Notaris meminta kepada Penggugat dan Tergugat untuk membayar Pajak Pengalihan Tanah / Bangunan untuk persiapan pembuatan Akta Jual Beli. Kemudian Penggugat maupun Tergugat telah melaksanakan pembayaran Pajak Pengalihan Tanah / Bangunan. Tanggal 7 November 2011, Agent Property menghubungi Penggugat maupun Tergugat, agar pada tanggal 8 November 2011, untuk datang menghadap Notaris/PPAT bersama-sama guna menandatangani Akta Jual Beli, namun Tergugat menolak dengan alasan bahwa blok plant harus dirubah—permintaan Tergugat tersebut tidak diatur dalam PPJB, dimana sebelum PPJB dibuat Tergugat sudah mengetahui peruntukan tanah adalah untuk WSN 8 lantai dan Tergugat diberikan fotokopinya.

Akhirnya Penggugat melalui Agent Property memberikan Surat Somasi / Peringatan kepada Tergugat untuk segera melaksanakan Akta Jual Beli dan sekaligus pelunasannya atas pembelian tanah milik Penggugat dimaksud, dimana untuk itu pihak Agent Property telah mengirimkan surat kepada Tergugat sebanyak 9 (sembilan) kali, namun sama sekali tidak ditanggapi oleh Tergugat. Penggugat menyimpulkan, Tergugat telah wanprestasi terhadap Penggugat, sehingga berdasarkan Pasal 1267 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang mengatur:

Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, ataukah ia akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga.

Mengingat Tergugat sama sekali tidak mau menandatangani Akta Jual Beli, maka Penggugat memilih menuntut agar pengadilan menyatakan batal PPJB disebabkan Tergugat telah melakukan perbuatan wanprestasi terhadap Penggugat. Konsekuensi dampingannya, merujuk Pasal 3 PPJB, maka uang muka (Tahap Pertama) yang telah dibayar oleh Tergugat kepada Penggugat sebesar Rp5.000.000.000,00 menjadi milik Penggugat sepenuhnya, sedangkan objek jual beli tersebut kembali menjadi milik Penggugat. Adapun yang menjadi bantahan pihak Tergugat, bahwa ternyata dalam tahap mediasi perkara ini diperoleh fakta-fakta hukum sebagai berikut:

a. Tergugat telah meminta kepada Penggugat agar penandatanganan Akta Jual Beli segera dilaksanakan;

b. Tergugat telah mewujudkan iktikad baiknya dengan menawarkan pembayaran berupa Bilyet Giro sebesar Rp44.000.000.000,00 sebagai pelunasan harga jual beli;

c. Penggugat beriktikad tidak baik dan tetap berkeras menolak melaksanakan penandatanganan Akta Jual Beli;

d. Penggguat beriktikad tidak baik dan tetap berkeras menolak menerima pembayaran dari Penggugat Rekonvensi berupa Bilyet Giro sebesar Rp44.000.000.000,00;

e. Penggugat beriktikad tidak baik dan tetap berkeras untuk membatalkan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanggal 12 September 2011.

Tergugat balik menuding, dengan demikian telah terbukti dengan jelas dan terang-benderang serta tidak terbantahkan lagi bahwa Penggugat dengan iktikad tidak baik bermaksud untuk membatalkan PPJB. Pihak Tergugat mengajukan gugatan-balik (rekonvensi), dengan pokok tuntutan yakni pembatalan PPJB disertai kewajiban pengembalian uang muka yang telah dibayarkan oleh pihak Tergugat selaku pembeli, dengan rincian tuntutan-balik sebagai berikut:

- Menyatakan PPJB sah dan berlaku mengikat sebagai undang-undang bagi Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi;

- Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk:

a. Mengembalikan semua uang yang diterimanya dari Penggugat Rekonvensi, yaitu sebesar Rp5.000.000.000,00;

b. Membayar denda sebesar 100% dari uang muka yang telah dibayarkan oleh Penggugat Rekonvensi atau sebesar Rp5.000.000.000,00;

Sehingga total Rp10.000.000.000,00 secara sekaligus sebagai akibat dibatalkannya PPJB oleh Tergugat Rekonvensi.

Terhadap gugatan demikian, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian menjatuhkan putusan sebagaimana Nomor 200/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel., tanggal 25 Juni 2013, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

Dalam Konvensi:

Dalam Pokok Perkara:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan Tergugat telah melakukan wanprestasi (ingkar janji);

3. Menyatakan batal Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor 12, tanggal 12 September 2011 antara William Supit dengan Nona Yolanda Siswanto yang dibuat di hadapan Turut Tergugat;

4. Menyatakan uang muka (tahap pertama) yang telah dibayar oleh Tergugat kepada Penggugat sebesar Rp5.000.000.000,00,00 (lima miliar rupiah) merupakan milik Penggugat;

5. Menyatakan objek jual beli berupa sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 2695/Grogol Utara atas nama William Supit tanggal 3 September 2007 seluas 2.333 (dua ribu tiga ratus tiga puluh tiga) meter persegi yang terletak di Jalan Permata Hijau Raya Blok AA Persil Nomor 8, Kelurahan Grogol Utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan merupakan milik Penggugat;

6. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi materiil kepada Penggugat sebesar Rp880.000.000,00 (delapan ratus delapan puluh juta rupiah) setiap bulan secara tunai dan sekaligus terhitung sejak bulan November 2011 sampai dengan putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap;

7. Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan lebih dahulu meskipun ada verzet, banding maupun kasasi (uitvoerbaar bij voorraad);

8. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap hari apabila Tergugat lalai melaksanakan isi putusan ini terhitung sejak putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap sampai Tergugat melaksanakan seluruh isi putusan perkara ini;

9. Menghukum Turut Tergugat untuk tunduk dan patuh terhadap putusan perkara ini;

10. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;

Dalam Rekonvensi:

- Menerima eksepsi Tergugat dalam Rekonvensi / Penggugat dalam Konvensi tersebut;

- Menyatakan gugatan Penggugat dalam Rekonvensi / Tergugat dalam Konvensi tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);”

Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, Putusan Pengadilan Negeri diatas kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Putusan Nomor 621/PDT/2013/PT.DKI., tanggal 13 Februari 2014, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:

“Menimbang, berdasarkan pada tuntutan subsidair ex aequo et bono dan untuk kepastian hukum dan keadilan serta para pihak tidak dirugikan cukup alasan bagi pengadilan tinggi untuk memerintahkan para pihak agar melaksanakan jual beli sebagai kelanjutan dari pelaksanaan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor 12 tanggal 12 September 2011;

“bahwa Tergugat tidak terbukti telah melakukan perbuatan wanprestasi terhadap Penggugat karena dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor 12 tanggal 12 September 2011, dibuat di hadapan Turut Tergugat, tidak tercantum batas waktu kapan seharusnya Tergugat melunasi harga pembelian tanah milik Penggugat yang masih tersisa sebesar Rp44.000.000.000,00 (empat puluh empat miliar rupiah);

“Menimbang, bahwa melalui Agent Property i.c. ibu Sandraty Djuanda Penggugat telah memberikan beberapa kali somasi / teguran kepada Tergugat agar segera dilaksanakan jual beli sekaligus pembayaran pelunasan pembelian tanah, akan tetapi tidak mendapatkan tanggapan dari Tergugat;

“Menimbang, bahwa oleh karena Agent Property bukan kuasa dari Penggugat maka pengadilan tinggi sependapat dengan Tergugat, bahwa somasi yang demikian itu tidak dapat dibenarkan undang-undang;

“Menimbang, bahwa walaupun somasi kepada Tergugat dilakukan oleh bukan kuasa dari Penggugat, namun dengan adanya gugatan Penggugat dalam perkara a quo pada saat Tergugat menerima surat gugat Penggugat harus dianggap Penggugat telah memberikan somasi / teguran kepada Tergugat agar Tergugat melaksanakan pelunasan pembayaran dan menandatangani Akta Jual Beli;

“Menimbang, hal di atas sejalan dengan Putusan Mahkamah RI tanggal 12 Juni 1957 Nomor 117 K/Sip/1956 yang antara lain menegaskan antara lain: “surat gugat yang terlebih dulu telah diberitahukan (diterima) oleh Tergugat dapat dipandang sebagai penagihan (teguran);

“Menimbang, bahwa menurut Tergugat pada saat dilakukan tahap mediasi dalam perkara a quo, Tergugat berniat melaksanakan pelunasan pembayaran (tahap kedua) untuk itu Tergugat akan menyerahkan Bilyet Giro senilai Rp44.000.000.000,00 (empat puluh empat miliar rupiah), namun Penggugat menolaknya serta tidak bersedia menandatangani Akta Jual Beli (Bukti T/P DR-5);

“Menimbang, bahwa walaupun Tergugat telah berniat untuk menyelesaikan pelunasan pembayaran dan bersedia untuk menandatangani Akta Jual Beli, namun Penggugat menolaknya dan minta Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor 12 tanggal 12 September 2011 dibatalkan;

“Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut di atas menurut pengadilan tinggi dalam perkara a quo Tergugat telah diberikan somasi oleh Penggugat untuk melaksanakan bunyinya Akta Perjanjian Jual Beli dan atas somasi tersebut Tergugat bersedia melakukan pembayaran tahap kedua serta melakukan penandatanganan Akta Jual Beli sesuai Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli Nomor 12 tanggal 12 September 2011;

“Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut di atas menurut Pengadilan Tinggi dalam perkara a quo Tergugat telah diberikan somasi oleh Penggugat untuk melaksanakan bunyinya Akta Perjanjian Jual Beli;

MENGADILI :

- Menerima permohonan banding yang di ajukan oleh Pembanding dahulu Tergugat tersebut di atas;

- Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 25 Juni 2013 Nomor 200/Pdt.G/2012/PN Jkt.Sel., yang dimohonkan peradilan banding;

Mengadili Sendiri:

Dalam Konvensi:

Dalam Pokok Perkara:

- Menolak gugatan yang diajukan Penggugat untuk seluruhnya;

Dalam Rekonvensi:

Dalam Pokok Perkara:

- Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;

- Menyatakan Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli Nomor 12 tanggal 12 September 2011 yang dibuat di hadapan Annie Djoenardi, S.H., MBA., Notaris di Jakarta sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi Penggugat dan Tergugat;

- Memerintahkan para pihak untuk melanjutkan proses jual beli berdasarkan Akta Perjanjian Jual Beli Nomor 12 tanggal 12 September 2011 menjadi jual beli;

- Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;”

Dalam tingkat kasasi, yang selanjutnya menjadi pertimbangan hukum serta amar Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2083 K/Pdt/2014 tanggal 16 Desember 2014, yakni sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa pendirian pengadilan tinggi tersebut di atas tidak bertentangan dan melanggar Pasal 178 ayat (3) HIR, tapi justru untuk menyelesaikan masalah secara tuntas, hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 556 K/Sip/1971 tanggal 8 Januari 1972 yang kaidah hukumnya dapat diangkat sebagai berikut: Mengabulkan lebih dari pada yang digugat adalah diijinkan, selama ini masih sesuai dengan kejadian materiil;

MENGADILI :

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: WILLIAM SUPIT, tersebut;”

Pihak penjual mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali, bersikukuh agar PPJB dibatalkan, dengan pokok keberatan bahwa yang menjadi pokok tuntutan Tergugat dalam gugatan-balik-nya ialah meminta dikembalikan uang muka pembelian, yang secara tidak langsung “Tergugat diam-diam menyetujui dibatalkannya PPJB”, akan tetapi telah ternyata Pengadilan Tinggi justru memerintahkan agar PPJB dilanjutkan, meski kedua belah pihak telah tidak lagi menghendaki dilanjutkannya PPJB. Pihak Tergugat selaku pembeli, telah wanprestasi terhadap kesepakatan, sehingga berdasarkan Pasal 1267 KUHP pihak pejnual diberi hak oleh hukum untuk menuntut pembatalan PPJB.

Namun demikian pihak Penggugat kemudian membuat blunder dengan dalil bahwa PPJB mengandung cacat hukum dan tidak lazim karena tidak ditentukan kapan dilaksanakan AJB berikut pelunasannya, dengan demikian PPJB dapat dimohonkan pembatalannya oleh pihak penjual karena pihak pembeli telah wanprestasi. Dimana terhadapnya, membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

“Bahwa alasan peninjauan kembali tidak dapat dibenarkan, tidak terdapat kekhilafan atau kekeliruan nyata dalam putusan Judex Juris juncto putusan Pengadilan Tinggi;

“Bahwa alasan Peninjauan Kembali hanya pengulangan dalil-dalil yang oleh Pengadilan Tinggi dan Hakim Kasasi telah dengan benar dipertimbangkan;

“Bahwa Tergugat telah berniat untuk menyelesaikan pelunasan pembayaran dan bersedia untuk menandatangani Akta Jual Beli, namun Penggugat menolaknya dan meminta agar Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor 12 tanggal 12 September 2011 dibatalkan;

“Bahwa Tergugat tidak terbukti melakukan wanprestasi kepada Penggugat dan tuntutan Penggugat untuk pembatalan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak beralasan hukum;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali William Supit tersebut harus ditolak;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali WILLIAM SUPIT tersebut;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.