Apakah Pasal 74 KUHP, tentang Kadaluarsa Hak Mengadu untuk Delik Aduan, Masih Berlaku?
Warga Dituntut Patuh Hukum, namun menjadi “Aneh
Sendiri” ketika Aparatur Penegak Hukum justru Tidak Patuh terhadap Hukum
EQUALITY BEFORE THE LAW, namun Ada Pasal / Undang-undang
yang Dianak-Tirikan dan yang Dianak-Emaskan—Hukum Sendiri telah Ternyata Tidak
Equal
Patuh terhadap hukum, adalah baik dan terpuji serta patut diteladani, dikenal sebagai kultur / budaya hukum. Namun cobalah Anda patuh terhadap norma hukum berikut, Pasal 74 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur : “Pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan”, dijamin Anda akan “aneh sendiri”. Kita telah lama mengenal istilah “putusan yang menang diatas kertas”, begitupula terdapat beragam peraturan perundang-undangan yang sejatinya hanya “macam ompong diatas kertas”, yang tidak pernah diberlakukan secara efektif dalam tataran praktik di lapangan.
Seorang mahasiswa hukum, sejatinya
telah dibodohi oleh para dosen mereka di perguruan tinggi hukum. Begitupula kita
sebagai anggota masyarakat, telah banyak dibodohi serta dikecoh oleh berbagai peraturan
perundang-undangan yang tidak jarang banyak atau sedikit diantaranya yang
hanyalah berupa “pasal-pasal gertak-sambal”. Bercermin dari pengalaman pribadi
penulis ketika masih sebagai seorang mahasiswa pada salah satu perguruan tinggi
hukum, sang dosen tidak pernah memberitahu dalam ruang perkuliahan bahwa dalam
satu Undang-Undang, terdapat pasal-pasal yang dianak-emaskan sementara beberapa
pasal lainnya justru dianak-tirikan. Lebih naas lagi nasib Undang-Undang seperti
Undang-Undang tentang Lelang, masih berlaku karena tidak pernah dicabut atau
diganti, namun realitanya seluruh pasal-pasal didalamnya sudah dalam kondisi
status “in-actice” alias
di-peti-es-kan.
Cobalah tengok regulasi selevel
Undang-Undang seperti Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Kitab Hukum Acara Perdata,
hingga Rv, lebih banyak pasal-pasal didalamnya yang dianak-tirikan—dalam artian
tidak pernah diterapkan dalam praktik, alias valid namun in-efektif. Yang terlebih
konyol, terdapat ratusan pasal dalam satu Undang-Undang, namun hanya satu atau
dua pasal yang masih diberlakukan secara tegas dan efektif, itulah nasib Undang-Undang
yang bernama Rv. Dunia praktik dibidang hukum memang benar berbeda dengan dunia
akademisi hukum, masing-masing hidup dalam dunia yang berbeda sama sekali. Dunia
akademisi, memandang bahwa hukum adalah apa yang tertuang diatas kertas peraturan
perundang-undangan. Dunia praktik, memiliki “hukum dan aturan main”-nya
sendiri.
Ketika terjun dalam dunia
praktik, yang pertama-tama perlu dilakukan oleh penulis ialah adaptasi diri terhadap
hukum dalam realita, yakni mengenali mana Undang-Undang yang dianak-tirikan dan
yang dianak-emaskan, serta mana pasal-pasal yang dianak-tirikan dan yang
dianak-emaskan. Mahkamah Agung RI tegas-tegas dalam beragam putusannya, membuat
distingsi pemisah antara “law in concreto”
dan “law in abstracto”—apakah ini
artinya pembangkangan lembaga yudikatif terhadap lembaga pembentuk Undang-Undang
maupun terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang telah membatalkan,
menafsirkan, ataupun mengukuhkan suatu norma Undang-Undang dalam putusan uji
materiil-nya?
Kembali kepada contoh Pasal 74 KUHP
sebagaimana telah kita singgung di muka, pasal dari Undang-Undang tersebut tidak
pernah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi juga tidak pernah dicabut
oleh Undang-Undang lainnya. Namun realitanya, pasal tersebut memang tidak
pernah efektif diberlakukan, alias “mati suri”. Itulah yang disebut sebagai “law in abstracto”, dimana kalangan
akademisi secara membuta dan berbangga diri membeo pasal tersebut, akibat selama
ini hidup di atas menara gading, memandang yakin bahwa Pasal 74 KUHP tersebut
masih berlaku. Faktanya, dapat kita jumpai masifnya putusan-putusan dimana
perkara menyangkut putusan dengan delik penggelapan, salah satu kejahatan yang secara
diam-diam disepakati sebagai “delik aduan”, tetap divonis hukuman pidana
penjara sekalipun telah lewat bertahun-tahun sejak korban pelapor menyadari
telah menjadi korban penggelapan.
Pada suatu waktu, seorang Klien
bertanya kepada penulis selaku konsultan hukum dalam suatu sesi konsultasi yang
penulis bawakan, apakah Pasal 74 KUHP masih berlaku? Jawabannya ternyata sangat
kompleks, sepanjang uraian diatas, sekalipun pertanyaannya sesederhana demikian—namun
telah ternyata tidak sesederhana itu—dimana jawabannya justru dapat kita jumpai
pada berbagai preseden yang menjadi kebiasaan praktik peradilan pidana kita
selama ini di Indonesia sebagai “best
practice”, dimana terhadap terdakwa yang didakwa dan dituntut atas dasar
laporan / aduan korban pelapor, telah ternyata meski penasehat hukum terdakwa
mengemukakan adanya ketentuan Pasal 74 KUHP dalam nota pembelaan (pledooi),
akan tetapi selalu diabaikan oleh Majelis Hakim, dengan tetap menjatuhkan amar
putusan berisi penghukuman.
Karenanya, jika Anda selaku
korban kasus-kasus “delik aduan”, lalu patuh terhadap kaedah norma Pasal 74 KUHP
diatas, maka Anda akan tampak sebagai warga yang “aneh sendiri”. Begitupula
ketika Anda seorang aparatur penegak hukum, dihadapkan oleh aduan korban
terhadap kejahatan berjenis “delik aduan”, bilamana Anda menolak aduan dengan
alasan telah kadaluarsa haknya untuk melapor, sebagaimana diatur oleh Pasal 74 KUHP,
maka Anda tergolong sebagai aparatur penegak hukum yang “aneh sendiri”. Kemungkinan
kedua, Pasal 74 KUHP dijadikan sebagai ajang untuk menjadikan korban pelapor sebagai
“projek sapi perahan”—dalam artian menjadikannya alibi untuk memeras : “Menurut pasal ini, aduan Bapak dan Ibu telah
kadaluarsa, karena ini jenis kejahatan dengan kriteria delik aduan. Jika mau,
bayar sekian, barulah saya tetap proses aduan Bapak dan Ibu.”
Dunia praktik pun tidaklah
sesederhana logika biner ala dunia akademisi. Sekadar sebagai contoh serta
ilustrasi konkret yang terjadi di lapangan sebagai perkembangan maupun pen-ciut-an
hukum dalam dinamika dan fenomenanya, terhadap delik atau pelanggaran hukum
yang diancam hukuman penjara dibawah lima tahun, seorang tersangka tidak dapat
ditahan. Namun apakah artinya, terhadap pelanggaran-pelanggaran demikian, sang
tersangka benar-benar tidak dapat ditahan? Seringkali atau tidak jarang, aparatur
penegak hukum memasang pasal yang disangkakan dilanggar oleh seorang tersangka,
dengan menyertakan pasal-pasal lain yang tidak relevan, namun semata karena mengandung
ancaman hukuman penjara diatas lima tahun—sekadar agar sang tersangka menjadi
sah untuk ditahan. Dunia tidak sesempit daun kelor, dan hukum tidak sependek
kertas peraturan perundang-undangan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.