(DROP DOWN MENU)

Bayar Dulu atau AJB Dulu, Masalah Klasik yang Seolah Dipelihara oleh Negara

Ambiguitas Hukum Perdata di Indonesia, Melahirkan Ketidakpastian Hukum

Question: Sebetulnya aturan hukumnya bagaimana, bayar lunas dulu atau AJB dulu?

Brief Answer: Negara telah lama mengabaikan permasalahan hukum yang sudah tergolong klasik serta klise, sehingga masyarakat terkesan dibiarkan mencari kepastian dan keadilan hukumnya sendiri. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menjadi payung hukum tertinggi transaksi jual-beli, bahkan secara ambigu mengaturnya, alias tidak tegas dalam mengatur suatu hubungan hukum jual-beli : bayar lunas dahulu ataukah menyerahkan barangnya dahulu.

Sehingga, wajar bila kemudian disimpulkan bahwa jual-beli sebidang tanah di Indonesia tergolong sebagai spekulasi derajat tinggi, tidak sejalan dengan ekonomi berbiaya tinggi tarif notaris / PPAT yang meminta “sekian persen nilai transaksi” juga pajak jual-beli yang dipungut negara akan tetapi negara sebagai imbal-baliknya tidak mampu memberikan jaminan ataupun kepastian hukum apapun.

PEMBAHASAN:

Untuk memudahkan pemahaman, dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat ilustrasi konkret sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah register Nomor 2120 K/Pdt/2015 tanggal 30 Desember 2015, perkara antara:

- Ir. TULADI, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Penggugat; melawan

1. DIAN NURWAHYUNI; dan 2. SUDARSONO selaku Termohon Kasasi, semula sebagai Para Tergugat.

Penggugat mengaku sebagai pemilik hak atas tanah Sertifikat Hak Milik Nomor 269 Desa Sumbercangkring, luas : 4835 m2, dan pernah membuat Akta Jual Beli (AJB) pada tanggal 13 Februari tahun 2008 antara Penggugat dan Tergugat I. Sebelum dibuat AJB, telah terlebih dahulu dibuat perjanjian berisi kesepakatan dengan syarat-syarat:

- Penggugat masih berhak menempati rumah sebagaimana tersebut dalam Akta Jual Beli dan masih menjadi Hak Milik Penggugat selama Tergugat I belum melunasi pembayarannya;

- Tergugat I belum dapat memiliki rumah / tanah (objek jual beli) dan tidak dapat menjadi hak Tergugat I selama belum lunas pembayarannya.

Namun demikian, sebelum terjadi pelunasan pembayaran yang dilakukan oleh Tergugat I kepada Penggugat meski AJB telah dilakukan, Tergugat I tanpa sepengetahuan dan seizin Penggugat telah menjaminkan objek jual beli pada Bank, akibat mana objek jual beli telah dibeli oleh Tergugat II dengan cara lelang. Sesuai perjanjian antara Penggugat dan Tergugat I dimana sebelum ada pelunasan, maka Tergugat I belum berhak sebagai pemilik atas objek jual beli, sehingga Tergugat I tidak berhak untuk menjadikan jaminan / agunan pelunasan hutang kepada pihak ketiga atas objek jual beli, sehingga perbuatan demikian dikualifisir sebagai Perbuatan Melawan Hukum.

Penggugat lalu mendalilkan, mengingat alas hak yang menjadi dasar Tergugat I menjaminkan objek jual beli mengandung cacat hukum, maka Tergugat II sebagai pembeli atas objek jual beli yang dilakukan oleh Penggugat dan Tergugat I adalah juga mengandung cacat hukum, oleh karena secara yuridis Akta Jual Beli antara Penggugat dan Tergugat I yang dibuat pada tanggal 13 Februari 2008 adalah cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Pihak Tergugat II selaku pembeli lelang, membuat bantahan bahwa dengan adanya Akta Jual Beli dan mengenai hal ini telah diakui dan dibenarkan oleh Penggugat sendiri dalam surat gugatannya, maka sesungguhnya Penggugat sudah tidak mempunyai hak lagi atas bidang tanah Sertifikat Hak Milik dimaksud, karena itu Penggugat tidak mempunyai kapasitas (legal standing) untuk mengajukan gugatan ini. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (Hasil Rapat Kamar Perdata, Sub Kamar Perdata Umum) menyepakati kaedah berikut:

Perlindungan harus diberikan kepada Pembeli yang itikad baik sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak (objek jual beli tanah).

Pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada penjual yang tidak berhak.”

Hanya pihak Penggugat dan Tergugat I itu sendiri yang mengetahui, apakah sengketa diantara keduanya adalah benar terjadi ataukah sekadar rekayasa yang mereka buat-buat sendiri. Terhadap gugatan Penggugat maupun gugatan-balik (rekonvensi) Tergugat II, Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri kemudian menjatuhkan putusan Nomor 87/PDT.G/2013/PN.Kdi tanggal 2 Juni 2014, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

Dalam Konvensi

Dalam Pokok Perkara

- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

Dalam Rekonvensi

1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;

2. Menyatakan sebidang tanah Sertifikat Hak Milik Nomor 269/Desa Sumbercangkring, gambar situasi tanggal 13 Agustus 1993 Nomor 1.441, luas 4835 m2 berikut bangunan dan segala sesuatu yang berdiri, melekat, tertancap dan tertanam di atasnya, terletak di Dusun Babadan, RT/RW. 01/05, Desa Sumbercangkring, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, adalah milik sah dari Penggugat Rekonvensi;

3. Menyatakan tindakan Tergugat Rekonvensi menguasai sebidang tanah Sertifikat Hak Milik Nomor 269/Desa Sumbercangkring, Gambar Situasi tanggal 13 Agustus 1993 Nomor 1.441, luas 4835 m2 berikut bangunan dan segala sesuatu yang berdiri, melekat, tertancap dan tertanam di atasnya, terletak di Dusun Babadan, RT/RW. 01/05, Desa Sumbercangkring, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, adalah perbuatan melawan hukum;

4. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk menyerahkan sebidang tanah Sertifikat Hak Milik Nomor 269/Desa Sumbercangkring, Gambar Situasi tanggal 13 Agustus 1993 Nomor 1.441, luas 4835 m2 berikut bangunan dan segala sesuatu yang berdiri, melekat, tertancap dan tertanam di atasnya, terletak di Dusun Babadan, RT/RW. 01/05, Desa Sumbercangkring, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, kepada Penggugat Rekonvensi tanpa syarat apapun juga;

5. Menyatakan putusan atas perkara ini dapat dijalankan atau dilaksanakan lebih dahulu walaupun Tergugat Rekonvensi melakukan upaya hukum Banding, Kasasi maupun Verzet;

6. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk selain dan selebihnya;”

Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, Putusan Pengadilan Negeri diatas selanjutnya kembali dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya dengan Putusan Nomor 621/PDT/2014/PT.SBY tanggal 9 Februari 2015.

Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Tergugat I i.c Dian Nurwahyuni telah melakukan penipuan dengan membayar atau membeli tanah milik Penggugat dengan menggunakan Bilyet Giro kosong yang tidak dapat dicairkan yang selanjutnya diterbitkan Surat Keterangan Penolakan dari pihak Bank, dikukuhkan sebagaimana Laporan Polisi atas dugaan tindak pidana penipuan yang dilakukan oleh Tergugat I. Penggugat mengutip ketentuan Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan maupun penipuan.”

Oleh karena asal perolehan hak atas tanah objek sengketa dilakukan dengan perbuatan melawan hukum yaitu penipuan, maka dengan demikian peralihan hak atas tanah objek sengketa haruslah dinyatakan cacat hukum dan apabila diterbitkan suatu hak maka akan merugikan pemilik tanah karena pihak Penggugat penjual merupakan korban penipuan yang harus dilindungi hak-haknya. Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

“Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, putusan Judex Facti sudah tepat dan benar (Judex Facti tidak salah menerapkan hukum);

Bahwa Penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya, tidak ada satupun alat bukti yang dapat membenarkan bahwa objek sengketa dalah milik sah Penggugat;

Bahwa sebaliknya, Tergugat II dapat membuktikan bahwa objek sengketa adalah miliknya yang diperoleh dari membeli dari Lelang Negara terhadap Sertifikat Hak Milik Nomor 269 tanggal 6 Oktober 1993 atas nama Dian Nurwahyuni istri Drs. Hariono seluas 4.835 m2 berikut bangunan yang berdiri di atasnya yang terletak di Desa Sumbercangkring, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri seharga Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), setelah jual beli tersebut Sertifikat Hak Milik Nomor 269 / Sumbercangkring dibalik nama menjadi atas nama Sudarsono (Tergugat II) tetapi tanah tersebut belum dikuasainya karena masih dikuasai oleh Penggugat. Oleh karena Tergugat II merupakan Pembeli yang beriktikad baik, maka harus dilindungi;

Bahwa Penggugat asal telah terbukti telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang merugikan Tergugat;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Ir. TULADI tersebut;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.