JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Betapa Menyiksanya Membaca OMNIBUS LAW Undang-Undang tentang Cipta Kerja

Regulasi yang Kompleks, Tidak Berbanding Lurus dengan Tingkat Kepatuhan Masyarakat, Justru Sebaliknya

Pernahkah Anda membaca Undang-Undang tentang Cipta Kerja? Bila masyarakat tidak membaca Undang-Undang tentang Cipta Kerja, maka bagaimana dapat menjadi warga yang “patuh” terhadap hukum? Namun bukanlah itu, pertanyaan yang relevan untuk kita ajukan. Pertanyaan yang lebih rasional untuk diajukan ialah : apakah Anda merasa nyaman alias merasa dipermudah untuk membaca dan memahami isi Undang-Undang tentang Cipta Kerja, ataukah sebaliknya, merasa tersiksa serta bingung membaca dan memahami isi Undang-Undang tentang Cipta Kerja? JIka masyarakat dipersulit untuk memahami dan membaca substansi pengaturan dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja, maka atas dasar apakah, pemerintah berharap serta menuntut warganya untuk “patuh” terhadap hukum?

Sebagai “efek domino” berantai-nya, apakah akibat atau buntut dari rumitnya pengaturan dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja? Mungkin kita ingin menjadi warga yang “patuh” terhadap hukum, namun telah ternyata kita menjadi demikian tidak termotivasi (demotivasi) untuk membaca dan mendalami Undang-Undang tentang Cipta Kerja, saat mendapati betapa sukarnya membaca dan memahami Undang-Undang tentang Cipta Kerja. Ingin “patuh” terhadap hukum, namun justru diberikan “dis-insentif” berupa sakit mata dan pikiran menjadi pusing. Pengalaman pribadi penulis menelaah Undang-Undang tentang Cipta Kerja, semisal untuk mengetahui ada atau tidaknya perubahan terhadap Undang-Undang tentang Perkebunan sebagai contoh, sudah merupakan satu masalah tersendiri, karena harus membaca lebih dari seribu halaman Undang-Undang tentang Cipta Kerja, hanya untuk mendapati satu jawaban : Undang-Undang tentang Cipta Kerja ternyata merubah sebagian pasal Undang-Undang tentang Perkebunan.

Persoalannya tidak berhenti sampai disitu, kesukaran demi kesukaran akan kita dapati—terutama kalangan awam hukum, dimana Sarjana Hukum sekalipun merasa begitu dipusingkan—dimana kita harus pula membandingkan atau menyandingkan antara Undang-Undang tentang Perkebunan dan Undang-Undang tentang Cipta Kerja, untuk mengetahui pasal-pasal berapa saja yang diubah ataupun yang dihapus. Berlanjut pada penjelasan isi setiap pasal yang diatur didalam Undang-Undang tersebut, ini menjadi hal yang begitu menyiksa dan menggelisahkan, karena kita harus kembali mencari-cari pada halaman berapakah, mengingat lebih dari seribu halaman Undang-Undang tentang Cipta Kerja, terdapat penjelasan pasal-pasal dimaksud. Hanya untuk mencari tahu penjelasan resmi pasal-pasal yang diatur didalamnya, sudah begitu menyiksa dan membuang waktu, seolah-olah kita tidak punya urusan lain untuk dikerjakan. Pemeritah yang “pemalas” membentuk Undang-Undang secara tematik, sebagai akibatnya rakyat yang direpotkan.

Sebaliknya, ketika kita membaca dan mendalami Undang-Undang “tematik”, alias Undang-Undang yang mengatur hanya satu tema khusus secara spesifik, semisal Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan, Undang-Undang tentang Pertambangan, Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup, dan sebagainya, maka untuk menemukan penjelasan resmi pasal-pasal yang diatur didalamnya relatif mudah untuk ditemukan dan dibaca. Begitupula ketika Anda hendak mencari tahu, apakah Undang-Undang tentang Mahkamah Agung atau Undang-Undang tentang Hak Cipta, sebagai contoh, terdapat Undang-Undang terbaru yang merubah atau menggantikan Undang-Undang yang lama, relatif lebih mudah untuk secara efisien kita dapatkan kejelasan datanya.

Sepadat dan sekompleks apapun Undang-Undang “tematik”, semisal Undang-Undang tentang Perkebunan atau tentang Pertambangan, tetaplah ia akan dapat kita pahami pada akhirnya mengingat “first impression”-nya ialah tidak setebal ribuan halaman pengaturan dalam Undang-Undang dimaksud. Bertolak belakang dengan fenomena yang akan kita jumpai dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja, memiliki “user / reader experience” yang sangat buruk. Pertama menyentuhnya, kesan pertama ialah : betapa gemuk dan tebalnya Undang-Undang ini. Untuk apa juga kita membaca hal-hal yang tidak relevan dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja? Mentalitas pembaca, seketika Anda menyusut hingga dari semula “berminat mencari tahu dan membacanya” menjelma “jijik serta muak, bahkan ingin muntah”.

Sebagai contoh, Anda hanya ingin mengetahui pengaturan tentang budidaya perikanan, namun untuk apa Anda membaca lebih dari seribu halaman pengaturan dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja yang mengatur mulai dari A hingga Z secara tidak relevan atas norma hukum yang hendak Anda ketahui dan pahami. Menjadi tidak salah ketika sebagian kalangan menyebut Undang-Undang tentang Cipta Kerja sebagai Undang-Undang “sapu jagat” alias “gado-gado”. Kita tidak pernah punya waktu yang cukup untuk membaca norma-norma yang tidak relevan, mengingat peraturan perundang-undangan di republik bernama Indonesia ini telah menyerupai “hukum rimba belantara”. Kelebihan dari Undang-Undang “tematik”, ialah relevansinya, serta transparan sehingga mudah dikontrol oleh publik dalam proses penyusunannya di legislatif. Sementara itu kelemahan utama Undang-Undang tentang Cipta Kerja, ialah kebalikan dari memiliki relevansi.

Undang-Undang tentang Cipta Kerja memang tidak pro terhadap rakyat banyak. Atas dasar apakah, yakni dua hal, yakni : Pertama, substansi pengaturan didalamnya memang lebih menyudutkan rakyat dan hanya menguntungkan sejumlah pemodal maupun elit-elit penguasa tertentu. Kedua, pemerintah sadar betul bahwa tidak ada masyarakat kita yang begitu “kurang kerjaan” membaca dan mencermati RUU (Rancangan Undang-Undang) yang disusun dengan model “omnibus law” yang mana sudah ditinggalkan oleh banyak negara kerena tidak populis terhadap rakyat, semacam Undang-Undang tentang Cipta Kerja, mengingat sewaktu-waktu RUU versi terbaru dapat dibuat dan Anda harus kembali membaca ribuan halaman yang bisa jadi akan kembali terbit RUU versi kedua, RUU versi ketiga, RUU versi keempat, siapa yang tahu?

Yang jelas, tiada yang “sudi” membuang-buang waktu membaca sebuah RUU, yang belum tentu disahkan dan bisa jadi akan terbit RUU versi terbaru, cepat atau lambat. Untuk membaca RUU versi pertama Undang-Undang tentang Cipta Kerja, terdapat seribu halaman. Untuk membaca RUU versi kedua, artinya Anda dipaksa dan terpaksa untuk membaca dua ribu halaman secara total. Silahkan Anda hitung dan jumlahkan sendiri, berapa banyak waktu yang harus Anda habiskan untuk membaca beribu-ribu halaman hanya untuk sebuah Undang-Undang tentang Cipta Kerja? Sebagai kesimpulan yang tidak terbantahkan sebagaimana pengalaman penulis pribadi membaca Undang-Undang tentang Cipta Kerja, betapa menyiksanya membaca dan memahami Undang-Undang tentang Cipta Kerja, mengakibatkan masyarakat awam hukum dipastikan rendah tingkat “kepatuhan” hukum-nya. Singkatnya, Undang-Undang model “omnibus law” sangat rendah tingkat literasi masyarakat dalam menyerapnya. Jangankan Undang-Undang “gemuk” demikian, Undang-Undang tematik pun jarang diketahui dan dibaca oleh masyarakat, mengingat tingkat literasi masyarakat kita yang memang rendah, dan semakin rendah ketika dihadapkan pada Undang-Undang model “omnibus law”.

Menurut Jeremy Bentham, manusia cenderung bergerak mendekati kesenangan dan menjauhi rasa yang membuat derita. Mengingat membaca Undang-Undang tentang Cipta Kerja menjelma begitu mengerikan dan menyiksa, maka “kepatuhan” terhadap hukum menyerupai “jauh panggang daripada api”. Tampaknya memang bukanlah tujuan pemerintah untuk membuat warganya “patuh” terhadap hukum, namun untuk mencurangi rakyatnya sendiri yang dibuat sukar membaca dan memahami sebuah regulasi yang berlaku dan mengikat secara umum (erga omnes). Dengan dibentuknya Undang-Undang tentang Cipta Kerja, maka daya kritis publik pun dapat diredam hingga ke titik paling rendah, mengingat publik seakan berjarak terhadap Undang-Undang tentang Cipta Kerja yang tidak akan pernah mereka ingin disentuh ataupun dibaca. Tidak tercipta suatu bentuk rasa memiliki ataupun kedekatan, ketika melihat tebalnya saja sudah membuat “alergi”. Jangankan Anda, kami Sarjana Hukum maupun selaku praktisi hukum pun, merasa “jijik” dan “muak” membaca Undang-Undang tentang Cipta Kerja ataupun berbagai Undang-Undang yang disusun dengan model “omnibus law”.

Kita baru berbicara tentang Undang-Undang tentang Cipta Kerja, belum Undang-Undang tentang Harmonisasi Perpajakan, Penguatan Sektor Keuangan, maupun Undang-Undang tentang Kesehatan, yang masing-masing juga disusun dengan model “omnibus law”. Itulah, gaya arogansi legislasi pada era rezim otoritarian di dalam negara yang mengaku masih demokratis—sekadar jargon atau slogan semata. Apakah Anda sudah, telah, atau sedang membaca Undang-Undang model “omnibus law”? Anda tidak sendiri, mayoritas masyarakat kita pun tidak akan pernah menyentuh Undang-Undang “gemuk penuh lemak” tersebut, sama seperti mata kita akan “perih” melihat orang-orang “super gemuk” berkeliaran ataupun menggelinding di jalanan, tanpa mengurangi rasa hormat penulis terhadap kaum “gemuk-wan”.

Terdapat dua jenis Undang-Undang “hantu”, yakni Undang-Undang model “omnibus law” dan peraturan perundang-undangan yang tidak patuh terhadap asas publikasi dan transparansi. Bukan hanya warga yang seharusnya diwajibkan untuk patuh terhadap hukum. Namun telah ternyata, bagai ber-“standar ganda”, pihak pemerintah penerbit peraturan / regulasi hukum itu sendiri telah ternyata tidak patuh terhadap hukum, sehingga menjadi teladan nyata sikap buruk bagi para segenap rakyatnya. Undang-Undang model “omnibus law”, nyata-nyata tidak patuh terhadap asas publikasi karena adalah irasional menuntut rakyat untuk menyiksa diri membaca Undang-Undang yang substansi normanya menyakitkan mata dan menyakitkan hati—disamping merampas waktu (“time is money” dan sekaligus sisa umur atau satuan nyawa hidup Anda).

Kedua, ialah peraturan perundang-undangan yang sukar diakses oleh publik namun diberlakukan secara tajam. Sebagai contoh konkret, cobalah Anda mencari Peraturan Jenderal Kekayaan Negara tentang Petunjuk Teknis Lelang, maupun regulasi-regulasi dibawah lembaga Kementerian Keuangan, telah ternyata tidak dapat diakses oleh publik luas karena Jaringan Informasi Dokumen Hukum (JDIH) yang dikelola oleh Kementerian Keuangan bersifat eksklusif (tertutup dan menutup diri), sehingga hanya dapat diakses oleh elit-elit tertentu saja, namun diberlakukan secara tajam di berbagai Kantor Lelang Negara maupun pada institusi-institusi vertikal dibawah Kementerian Keuangan yang berimbas secara langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat umum dan luas.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.