Regulasi yang Kompleks, Tidak Berbanding Lurus dengan Tingkat Kepatuhan Masyarakat, Justru Sebaliknya
Pernahkah Anda membaca Undang-Undang tentang Cipta Kerja? Bila masyarakat tidak membaca Undang-Undang tentang Cipta Kerja, maka bagaimana dapat menjadi warga yang “patuh” terhadap hukum? Namun bukanlah itu, pertanyaan yang relevan untuk kita ajukan. Pertanyaan yang lebih rasional untuk diajukan ialah : apakah Anda merasa nyaman alias merasa dipermudah untuk membaca dan memahami isi Undang-Undang tentang Cipta Kerja, ataukah sebaliknya, merasa tersiksa serta bingung membaca dan memahami isi Undang-Undang tentang Cipta Kerja? JIka masyarakat dipersulit untuk memahami dan membaca substansi pengaturan dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja, maka atas dasar apakah, pemerintah berharap serta menuntut warganya untuk “patuh” terhadap hukum?
Sebagai “efek domino”
berantai-nya, apakah akibat atau buntut dari rumitnya pengaturan dalam
Undang-Undang tentang Cipta Kerja? Mungkin kita ingin menjadi warga yang
“patuh” terhadap hukum, namun telah ternyata kita menjadi demikian tidak
termotivasi (demotivasi) untuk membaca dan mendalami Undang-Undang tentang
Cipta Kerja, saat mendapati betapa sukarnya membaca dan memahami Undang-Undang
tentang Cipta Kerja. Ingin “patuh” terhadap hukum, namun justru diberikan “dis-insentif”
berupa sakit mata dan pikiran menjadi pusing. Pengalaman pribadi penulis
menelaah Undang-Undang tentang Cipta Kerja, semisal untuk mengetahui ada atau
tidaknya perubahan terhadap Undang-Undang tentang Perkebunan sebagai contoh,
sudah merupakan satu masalah tersendiri, karena harus membaca lebih dari seribu
halaman Undang-Undang tentang Cipta Kerja, hanya untuk mendapati satu jawaban :
Undang-Undang tentang Cipta Kerja ternyata merubah sebagian pasal Undang-Undang
tentang Perkebunan.
Persoalannya tidak berhenti
sampai disitu, kesukaran demi kesukaran akan kita dapati—terutama kalangan awam
hukum, dimana Sarjana Hukum sekalipun merasa begitu dipusingkan—dimana kita
harus pula membandingkan atau menyandingkan antara Undang-Undang tentang
Perkebunan dan Undang-Undang tentang Cipta Kerja, untuk mengetahui pasal-pasal
berapa saja yang diubah ataupun yang dihapus. Berlanjut pada penjelasan isi
setiap pasal yang diatur didalam Undang-Undang tersebut, ini menjadi hal yang
begitu menyiksa dan menggelisahkan, karena kita harus kembali mencari-cari pada
halaman berapakah, mengingat lebih dari seribu halaman Undang-Undang tentang
Cipta Kerja, terdapat penjelasan pasal-pasal dimaksud. Hanya untuk mencari tahu
penjelasan resmi pasal-pasal yang diatur didalamnya, sudah begitu menyiksa dan
membuang waktu, seolah-olah kita tidak punya urusan lain untuk dikerjakan. Pemeritah
yang “pemalas” membentuk Undang-Undang secara tematik, sebagai akibatnya rakyat
yang direpotkan.
Sebaliknya, ketika kita membaca
dan mendalami Undang-Undang “tematik”, alias Undang-Undang yang mengatur hanya
satu tema khusus secara spesifik, semisal Undang-Undang tentang
Ketenagakerjaan, Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan, Undang-Undang tentang
Pertambangan, Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup, dan sebagainya, maka
untuk menemukan penjelasan resmi pasal-pasal yang diatur didalamnya relatif
mudah untuk ditemukan dan dibaca. Begitupula ketika Anda hendak mencari tahu,
apakah Undang-Undang tentang Mahkamah Agung atau Undang-Undang tentang Hak
Cipta, sebagai contoh, terdapat Undang-Undang terbaru yang merubah atau
menggantikan Undang-Undang yang lama, relatif lebih mudah untuk secara efisien
kita dapatkan kejelasan datanya.
Sepadat dan sekompleks apapun
Undang-Undang “tematik”, semisal Undang-Undang tentang Perkebunan atau tentang
Pertambangan, tetaplah ia akan dapat kita pahami pada akhirnya mengingat “first impression”-nya ialah tidak
setebal ribuan halaman pengaturan dalam Undang-Undang dimaksud. Bertolak
belakang dengan fenomena yang akan kita jumpai dalam Undang-Undang tentang
Cipta Kerja, memiliki “user / reader
experience” yang sangat buruk. Pertama menyentuhnya, kesan pertama ialah :
betapa gemuk dan tebalnya Undang-Undang ini. Untuk apa juga kita membaca
hal-hal yang tidak relevan dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja? Mentalitas
pembaca, seketika Anda menyusut hingga dari semula “berminat mencari tahu dan
membacanya” menjelma “jijik serta muak, bahkan ingin muntah”.
Sebagai contoh, Anda hanya
ingin mengetahui pengaturan tentang budidaya perikanan, namun untuk apa Anda
membaca lebih dari seribu halaman pengaturan dalam Undang-Undang tentang Cipta
Kerja yang mengatur mulai dari A hingga Z secara tidak relevan atas norma hukum
yang hendak Anda ketahui dan pahami. Menjadi tidak salah ketika sebagian
kalangan menyebut Undang-Undang tentang Cipta Kerja sebagai Undang-Undang “sapu
jagat” alias “gado-gado”. Kita tidak pernah punya waktu yang cukup untuk
membaca norma-norma yang tidak relevan, mengingat peraturan perundang-undangan
di republik bernama Indonesia ini telah menyerupai “hukum rimba belantara”.
Kelebihan dari Undang-Undang “tematik”, ialah relevansinya, serta transparan
sehingga mudah dikontrol oleh publik dalam proses penyusunannya di legislatif.
Sementara itu kelemahan utama Undang-Undang tentang Cipta Kerja, ialah
kebalikan dari memiliki relevansi.
Undang-Undang tentang Cipta
Kerja memang tidak pro terhadap rakyat banyak. Atas dasar apakah, yakni dua
hal, yakni : Pertama, substansi pengaturan didalamnya memang lebih menyudutkan
rakyat dan hanya menguntungkan sejumlah pemodal maupun elit-elit penguasa
tertentu. Kedua, pemerintah sadar betul bahwa tidak ada masyarakat kita yang
begitu “kurang kerjaan” membaca dan mencermati RUU (Rancangan Undang-Undang)
yang disusun dengan model “omnibus law”
yang mana sudah ditinggalkan oleh banyak negara kerena tidak populis terhadap
rakyat, semacam Undang-Undang tentang Cipta Kerja, mengingat sewaktu-waktu RUU
versi terbaru dapat dibuat dan Anda harus kembali membaca ribuan halaman yang
bisa jadi akan kembali terbit RUU versi kedua, RUU versi ketiga, RUU versi
keempat, siapa yang tahu?
Yang jelas, tiada yang “sudi”
membuang-buang waktu membaca sebuah RUU, yang belum tentu disahkan dan bisa
jadi akan terbit RUU versi terbaru, cepat atau lambat. Untuk membaca RUU versi
pertama Undang-Undang tentang Cipta Kerja, terdapat seribu halaman. Untuk
membaca RUU versi kedua, artinya Anda dipaksa dan terpaksa untuk membaca dua
ribu halaman secara total. Silahkan Anda hitung dan jumlahkan sendiri, berapa
banyak waktu yang harus Anda habiskan untuk membaca beribu-ribu halaman hanya
untuk sebuah Undang-Undang tentang Cipta Kerja? Sebagai kesimpulan yang tidak
terbantahkan sebagaimana pengalaman penulis pribadi membaca Undang-Undang
tentang Cipta Kerja, betapa menyiksanya membaca dan memahami Undang-Undang
tentang Cipta Kerja, mengakibatkan masyarakat awam hukum dipastikan rendah
tingkat “kepatuhan” hukum-nya. Singkatnya, Undang-Undang model “omnibus law” sangat rendah tingkat
literasi masyarakat dalam menyerapnya. Jangankan Undang-Undang “gemuk”
demikian, Undang-Undang tematik pun jarang diketahui dan dibaca oleh masyarakat,
mengingat tingkat literasi masyarakat kita yang memang rendah, dan semakin
rendah ketika dihadapkan pada Undang-Undang model “omnibus law”.
Menurut Jeremy Bentham, manusia
cenderung bergerak mendekati kesenangan dan menjauhi rasa yang membuat derita.
Mengingat membaca Undang-Undang tentang Cipta Kerja menjelma begitu mengerikan
dan menyiksa, maka “kepatuhan” terhadap hukum menyerupai “jauh panggang
daripada api”. Tampaknya memang bukanlah tujuan pemerintah untuk membuat
warganya “patuh” terhadap hukum, namun untuk mencurangi rakyatnya sendiri yang dibuat
sukar membaca dan memahami sebuah regulasi yang berlaku dan mengikat secara
umum (erga omnes). Dengan dibentuknya
Undang-Undang tentang Cipta Kerja, maka daya kritis publik pun dapat diredam
hingga ke titik paling rendah, mengingat publik seakan berjarak terhadap
Undang-Undang tentang Cipta Kerja yang tidak akan pernah mereka ingin disentuh
ataupun dibaca. Tidak tercipta suatu bentuk rasa memiliki ataupun kedekatan,
ketika melihat tebalnya saja sudah membuat “alergi”. Jangankan Anda, kami
Sarjana Hukum maupun selaku praktisi hukum pun, merasa “jijik” dan “muak”
membaca Undang-Undang tentang Cipta Kerja ataupun berbagai Undang-Undang yang
disusun dengan model “omnibus law”.
Kita baru berbicara tentang
Undang-Undang tentang Cipta Kerja, belum Undang-Undang tentang Harmonisasi
Perpajakan, Penguatan Sektor Keuangan, maupun Undang-Undang tentang Kesehatan,
yang masing-masing juga disusun dengan model “omnibus law”. Itulah, gaya arogansi legislasi pada era rezim
otoritarian di dalam negara yang mengaku masih demokratis—sekadar jargon atau
slogan semata. Apakah Anda sudah, telah, atau sedang membaca Undang-Undang
model “omnibus law”? Anda tidak
sendiri, mayoritas masyarakat kita pun tidak akan pernah menyentuh
Undang-Undang “gemuk penuh lemak” tersebut, sama seperti mata kita akan “perih”
melihat orang-orang “super gemuk” berkeliaran ataupun menggelinding di jalanan,
tanpa mengurangi rasa hormat penulis terhadap kaum “gemuk-wan”.
Terdapat dua jenis Undang-Undang
“hantu”, yakni Undang-Undang model “omnibus
law” dan peraturan perundang-undangan yang tidak patuh terhadap asas
publikasi dan transparansi. Bukan hanya warga yang seharusnya diwajibkan untuk patuh
terhadap hukum. Namun telah ternyata, bagai ber-“standar ganda”, pihak
pemerintah penerbit peraturan / regulasi hukum itu sendiri telah ternyata tidak
patuh terhadap hukum, sehingga menjadi teladan nyata sikap buruk bagi para segenap
rakyatnya. Undang-Undang model “omnibus
law”, nyata-nyata tidak patuh terhadap asas publikasi karena adalah
irasional menuntut rakyat untuk menyiksa diri membaca Undang-Undang yang
substansi normanya menyakitkan mata dan menyakitkan hati—disamping merampas
waktu (“time is money” dan sekaligus sisa
umur atau satuan nyawa hidup Anda).
Kedua, ialah peraturan
perundang-undangan yang sukar diakses oleh publik namun diberlakukan secara
tajam. Sebagai contoh konkret, cobalah Anda mencari Peraturan Jenderal Kekayaan
Negara tentang Petunjuk Teknis Lelang, maupun regulasi-regulasi dibawah lembaga
Kementerian Keuangan, telah ternyata tidak dapat diakses oleh publik luas
karena Jaringan Informasi Dokumen Hukum (JDIH) yang dikelola oleh Kementerian
Keuangan bersifat eksklusif (tertutup dan menutup diri), sehingga hanya dapat
diakses oleh elit-elit tertentu saja, namun diberlakukan secara tajam di
berbagai Kantor Lelang Negara maupun pada institusi-institusi vertikal dibawah
Kementerian Keuangan yang berimbas secara langsung maupun tidak langsung
terhadap masyarakat umum dan luas.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.