Menunggak Harga Jual-Beli Barang / Jasa, dapat Meminta Pokok Hutang Plus Bunga ke Pengadilan dalam Gugatan Perdata Ingkar Janji Membayar
Question: Pembeli menunggak bayar, sekalipun sudah ditagih berulang kali. Akhirnya kami gugat. Kalau “Sipil lawan Sipil” dalam gugatan, bisa tuntut disertai pembayaran bunga disamping pokok hutang yang tertunggak. Namun bagaimana yang membeli barang kami dan yang menunggak ialah pihak pemerintah, bisakah kami tuntut juga bunga, mengingat tunggakan ini sudah bertahun-tahun tidak dibayar pihak pemerintah?
Brief Answer: Dari preseden yang ada sebagai “best practice”
peradilan di Indonesia hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung, tampaknya
tuntutan pembayaran hutang yang berbuntut gugatan perdata ke pengadilan, dapat
juga disertai tuntutan dalam surat gugatan (petitum)
berupa “keuntungan yang diharapkan” alias bunga sebesar 6% (enam persen)
pertahun, baik pihak Tergugatnya ialah sesama warga sipil ataupun dari pihak
lembaga negara / pemerintahan—sepanjang dimohon / dituntut dalam surat gugatan
dengan mengindahkan asas “non-ultra-petitum”
(hakim tidak dapat mengabulkan melebihi apa yang dituntut atau dimintakan dalam
surat gugatan).
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman
perihal apa yang dapat dituntut dalam sengketa hutang-piutang dalam praktik
peradilan sebagai “best practice”,
dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan cerminan konkretnya
sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa perdata hutang-piutang register
Nomor 1479 K/Pdt/2010 tanggal 28 Februari 2011, perkara antara:
- YONI SALIM, sebagai Penggugat;
melawan
1. PRESIDEN REPUBLIK Indonesia
sebagai Tergugat I;
2. PANGLIMA TINGGI TENTARA
NASIONAL Indonesia (TNI) sebagai Tergugat II;
3. KEPALA STAF TENTARA NASIONAL
Indonesia ANGKATAN DARAT (TNI-AD) sebagai Tergugat III;
4. PANGLIMA KODAM ISKANDAR MUDA
Banda Aceh selaku Tergugat IV.
Penggugat merupakan ahli waris
ARIFIN SALIM (pemilik Toko KARYA Lhokseumawe), yang telah pernah melakukan
pekerjaan pengadaan alat-alat (sparepart) serta melakukan perawatan berbagai
jenis kendaraan I mobil milik Tergugat IV sesuai dengan kebutuhan dan
permintaan Tergugat IV pada tahun 1964 sampai dengan tahun 1965. Dari pekerjaan
tersebut, orangtua Penggugat mempunyai tagihan biaya-biaya pengadaan dan
perawatan (piutang) kepada Tergugat IV, dengan uraian sebagai berikut:
- Tagihan untuk periode I tahun
1964 sebesar Rp 64.218.000,-
- Tagihan untuk periode II
tahun 1964 sebesar Rp 27.400.000,-
- Tagihan untuk periode I tahun
1965 sebesar Rp 36.780.450,-
- Tagihan untuk periode II
tahun 1965 sebesar Rp 26.493.000,-
Dengan demikian, jumlah tagihan / piutang ialah Rp154.891.450,-
Terhadap permasalahan piutang
tersebut diatas, pada bulan April 1966 Tergugat IV telah meminta faktur-faktur barang
serta tanda penerimaan / pemakaian alat-alat (sparepart) kendaraan / mobil yang
dilanjutkan dengan proses verbal serta menerbitkan Surat Persetujuan Pembayaran
terhadap orangtua Penggugat. Akan tetapi walaupun telah ada surat persetujuan
pembayaran dari Tergugat IV dan terakhir surat dari Tergugat III (ic. Kepala Dinas Hukum Markas Besar TNI
AD) tanggal 9 Juli 1982 serta berbagai usaha penagihan yang telah dilakukan
oleh orangtua Penggugat sampai akhir hayatnya, telah ternyata pembayaran hutang
Tergugat IV tersebut tidak pernah direalisasikan.
Mengingat adanya perubahan
nilai mata uang sejak tahun 1964, maka jumlah hutang Tergugat IV tersebut diatas
setelah disesuaikan dengan nilai mata uang pada saat ini berjumlah Rp
5.775.631.555,- (lima milyar tujuh ratus tujuh puluh lima juta lima
ratus lima puluh lima rupiah)—perhitungan jumlah hutang tersebut didasarkan
kepada yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI No. 74 K/SIP/1969 tanggal 14 Juni
1969 jo. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.MAlPEMB/479/70 tanggal 2 Maret 1970,
dengan rumusan dan uraian sebagai berikut: ½ X Hutang X harga emas saat ini
/ Harga emas pada waktu pengambilan barang. Keterangan Harga emas:
- Harga emas pada tahun 1964 = 1.800,-
dan
- Harga emas pada tahun 1965 = 6.000,-
- Harga emas Juni 2007 = 189.500
(sesuai data BPS Sumatera Utara).
Dengan demikian, perhitungan
hutang Tergugat IV dengan rumus diatas, menjadi sebagai berikut:
I. Untuk tagihan periode 1964 :
½ X Rp 91.618.000 X 188.000 / 1.800 = Rp 4.784.495.555,-
II. Untuk tagihan periode 1965
: ½ X Rp 63.273.450 X 188.000 / 6.000 = Rp 991.136.000,-
Jumlah hutang pada saat ini adalah Rp
4.784.495.555,- + Rp 991.136.000,- = Rp 5.775.631.555,-.
Penggugat selaku ahli waris ARIFIN
SALIM juga telah berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan hak orangtua
Penggugat, dengan bermohon kepada Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III serta
Tergugat IV, akan tetapi sampai gugatan ini didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Banda Aceh, ternyata usaha Penggugat tidak mendapat jawaban
maupun kepastian realisasi pembayaran hutang-hutang dimaksud. Oleh karena
Tergugat IV tidak melakukan pembayaran hutang kepada Penggugat selaku ahli
waris ARIFIN SALIM sebagaimana telah diuraikan di atas, maka telah jelas
Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat IV melakukan inkar janji / wanprestasi.
Sekalipun Penggugat telah
berulangkali bermohon kepada Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, dan
Tergugat IV untuk mengadakan upaya penyelesaian secara musyawarah dan terakhir
Tergugat IV telah mengirim tim untuk melakukan pemeriksaan kebenaran atas
hutang-hutang dimaksud, akan tetapi tidak dicapai suatu kesepakatan apapun. Akibat
perbuatan ingkar janji / wanprestasi para Tergugat, akibatnya terbit kerugian
materiil yang diderita Penggugat, yakni tidak dapat memanfaatkan sejumlah uang
yang merupakan hak Penggugat yaitu sebesar Rp 5.775.631.555,- ditambah dengan keuntungan
yang diharapkan berupa bunga 1,2 % (satu koma dua persen) setiap bulannya sejak
gugatan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri sampai dibayar lunas.
Adapun bantahan pihak Tergugat
ialah, Pengadilan Negeri Banda Aceh tidak berwenang memeriksa dan mengadili
perkara ini, karena berdasarkan Pasal 40 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara bahwa Hak untuk menagih hutang beban Negara
Kadaluarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, bahwa
Penggugat telah mendalilkan dalam gugatanya utang Tergugat IV adalah sejak
tahun 1964—1965, dan tenggang waktu tersebut hingga gugatan ini di daftarkan
telah menacapai 44 Tahun, maka sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, adalah telah kadaluarsa karena segala
utang Badan Publik yang menggunakan Dana APBN maka penyelesaian Utang tersebut
harus tunduk kepada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004.
Secara kurang etis, pihak TNI
mendalilkan pula bahwa gugatan Penggugat adalah “Kurang Pihak”, karena Menteri Pertahanan
Republik Indonesia dan Menteri Keuangan tidak ikut di tarik dalam Gugatan. Yang
berwenang menentukan pembayaran utang Tergugat yang bersumber dari Dana APBN adalah
Menteri Pertahanan RI dan yang mengalokasikan dana pembayaran utang Tergugat IV
adalah Menteri Keuangan dan berdasarkan ketentuan Pasal 36 Undang-undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka Penyelesaian Utang Negara yang
tidak disepakati tidak lebih dari Rp 10.000.000.000.- (sepuluh miliar rupiah) harus
berdasarkan penetapan Menteri Keuangan Republik Indonesia, maka seharusnya
Menteri Pertahanan dan Menteri Keuangan RI harus ditarik dalam perkara ini—namun
mengapa pihak Tergugat yang berwenang membeli, jika kewenangan membayar ialah
lembaga lain? Ibarat membeli, namun menyuruh pihak penjual untuk menagihnya
kepada pihak lain.
Pihak Tergugat lebih sibuk
berkelit daripada bertanggung-jawab (suatu sikap yang jauh dari sifat
“ksatria”, militer yang tidak berjiwa “ksatria”), dengan menyatakan bahwa surat
gugatan tidak menjelaskan siapa saja ahli waris Arifin Salim (pemilik toko
Karya Lhokseumawe), apakah hanya Penggugat sendiri atau ada pihak lain yang
menjadi ahli waris Arifin Salim baik ahli waris karena hubungan darah maupun
ahli waris berdasarkan surat wasiat atau hibah wasiat, dimana gugatan yang
tidak menyebutkan dengan jelas berapa dan siapa saja yang berhak atas objek
warisan, dikategorikan sebagai gugatan “kabur” atau tidak jelas (obscuur libel) karena dianggap tidak
memenuhi dasar (feitelijke ground)
gugatan.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan
Negeri Banda Aceh kemudian mengambil sikap sebagaimana register putusan No.
21/Pdt.G/2007/PN.BNA tanggal 2 Juli 2008, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
Dalam Eksepsi:
- Menolak eksepsi Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV untuk
seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat
III dan Tergugat IV yang tidak memenuhi kewajiban untuk membayar kepada
Penggugat selaku ahli waris ARIFIN SALIM (Toko Karya) adalah merupakan perbuatan
ingkar janji/wanprestasi;
3. Menyatakan menurut hukum bahwa jumlah hutang Tergugat IV setelah disesuaikan
dengan nilai mata uang rupiah sampai dengan gugatan ini di daftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Banda Aceh adalah sebesar Rp 5.775.631.555,-
(lima milyar tujuh ratus tujuh puluh lima juta enam ratus tiga puluh satu ribu
lima ratus lima puluh lima rupiah);
4. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV untuk membayar
hutang (kerugian materiil) kepada Penggugat secara tanggung renteng sebesar Rp
5.775.631.555,- (lima milyar tujuh ratus tujuh puluh lima juta enam ratus tiga
puluh satu ribu lima ratus lima puluh lima rupiah) secara tunai dan sekaligus,
ditambah dengan keuntungan yang diharapkan berupa bunga 6% (enam persen)
pertahun sejak gugatan ini di daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Banda
Aceh sampai dibayar lunas;
5. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV dan
atau pihak lain yang mendapat hak maupun wewenang hukum dari padanya untuk
tunduk dan patuh terhadap isi putusan dalam perkara ini;
6. Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara
ini secara tanggung renteng yang hingga kini ditaksir sebesar Rp 399.000,-
(tiga ratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah);
7. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;”
Dalam tingkat banding atas
permohonan Tergugat II, III, IV, putusan Pengadilan Negeri tersebut diatas dibatalkan
oleh Pengadilan Tinggi di Banda Aceh, dengan putusannya No. 16/PDT/2009/PT-BNA,
tanggal 29 Juni 2009, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Tergugat II, III dan IV / Pembanding
I, II, IIII tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh tanggal 2 Juli 2008,
Nomor : 21/Pdt.G/2007/PN-BNA, yang dimohon banding;
Mengadili Sendiri:
Dalam eksepsi:
- Menolak Eksepsi Tergugat II, III dan IV / Pembanding I, II dan III
untuk seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat / Terbanding seluruhnya;”
Pihak Penggugat mengajukan
upaya hukum kasasi, menyayangkan sikap lembaga negara yang justru merasa bangga
dapat mencurangi dan merugikan warga sipilnya sendiri. Yang menjadi
pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi sehingga membuat gugatan Penggugat
dinyatakan “ditolak”, ialah kaedah hukum Yurisprudensi MA RI No.701 K/SIP/1974
dan No.1121 K/Pdt/1996 yang menyatakan bahwa bukti fotocopy surat yang tidak
disertai aslinya saat diperiksa dan tidak didukung alat bukti lainnya, maka
tidak bisa dijadikan alat bukti yang sah menurut hukum.
Penggugat dalam kasasinya
mendalilkan, untuk dinyatakan tidak sah atas bukti fotocopy surat yang tidak disertai
aslinya maka bukti fotocopy surat harus berdiri sendiri atau tidak didukung
oleh bukti lain apapun, sedangkan dalam perkara a quo bukti-bukti surat yang dipertimbangkan Judex Facti ternyata
tidak melulu fotocopy yang tidak disertai aslinya tetapi saling terkait dan
pendukung bukti-bukti surat utama yang disertai aslinya yang mempunyai
pembuktian sempurna seperti suatu akta outentik. Penggguat kemudian merujuk ketentuan
Pasal 1 (b) Ordonansi Tahun 1867 No. 29 (tentang kekuatan pembuktian dari pada
tulisan-tulisan di bawah tangan), yang mengatur:
“Tulisan-tulisan di bawah tangan,
berasal dari orang-orang Indonesia atau orang-orang yang dipersamakan yang
diakui oleh mereka terhadap siapa tulisan-tulisan itu diajukan atau sebagai telah
diakui, memberikan pembuktian yang sempurna seperti suatu akta outentik."
Sementara itu Pasal 2 Ordonansi
tersebut, mengatur:
“Barang siapa yang terhadapnya
diajukan suatu tulisan di bawah tangan dengan kewajiban secara tegas mengakui
atau menyangkal tandatangan, tetapi bagi ahli warisnya atau orang yang mendapat
hak dari padanya cukuplah jika mereka menerangkan tidak mengakui tulisan atau
tandatangan orang yang mereka wakili.”
Dimana terhadapnya, Mahkamah
Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan dari
Pemohon Kasasi tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti yang
membatalkan putusan Pengadilan Negeri telah salah dalam menerapkan hukum
pembuktian, karena Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tidak berlaku retroaktif
adalah tepat;
“Bahwa orang tua Penggugat
wafat pada tahun 2003 dan sejak tahun 1966 secara terus menerus menagih
hutang tersebut, tetapi tidak dipenuhi oleh para Tergugat;
“Bahwa pada tahun 1966 para
Tergugat menyetujui pembayaran hutang tersebut, tetapi tidak direalisasikan;
“Bahwa Judex Facti telah salah
karena telah mengesampingkan bukti-bukti surat berupa foto copy, padahal
bukt-bukti tersebut saling bersesuaian antara satu dengan lainnya serta ada
beberapa surat aslinya dan didukung pula pengakuan Tergugat IV yang telah
mempunyai hutang kepada Penggugat yang belum dibayar yaitu sebesar Rp
154.000.000,- (seratus lima puluh empat juta rupiah) atas jasa Penggugat
memenuhi kebutuhan suku cadang / sparepart serta merawat kendaraan milik
Tergugat IV pada tahun 1964 dan 1965, yang jika diperhitungkan dengan nilai
mata uang sekarang adalah sebagaimana yang telah dirinci dalam pertimbangan
Judex facti Pengadilan Negeri, yaitu sebessar Rp 5.775.631.555,- (lima
miliar tujuh ratus tujuh puluh lima juta enam ratus tiga puluh satu ribu lima
ratus lima puluh lima rupiah), sedangkan para Tergugat tidak berhasil
membuktikan dalil-dalil sangkalannya bahwa jasa Penggugat telah dibayar lunas
oleh para Tergugat;
“Bahwa apabila hubungan
keperdataan ini tidak terselesaikan, akan merupakan pengalaman buruk yang dapat
mencoreng citra TNI-AD di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (ex aequo et
bono), seharusnya aparat Pemerintah Daerah harus memberikan contoh yang baik
agar terselenggara ketenangan berkehidupan masyarakat di Daerah Aceh;
“Bahwa oleh karena pertimbangan
dan putusan Pengadilan Negeri dianggap telah tepat dan benar, maka diambil alih
sebagai pertimbangan Mahkamah Agung;
“Bahwa namun demikian, Hakim
Agung Dr.H. Mohammad Saleh, SH., MH. mengajukan pendapat yang berbeda
(dissenting opinion) dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Judex Facti / Pengadilan
Tinggi tidak salah menerapkan hukum, karena bukti P.5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13,
14, 16, 20, 21, 23, 24 berupa foto copy tanpa pernah diperlihatkan dan dicocokkan
dengan aslilnya;
“Bahwa dalil gugatan bahwa
hutang terjadi pada tahun 1964/1965, sedangkan gugatan diajukan pada tanggal 28
Juni 2007, jadi sudah 43 tahun, maka hutang pada Negara kadaluarsa setelah 5
tahun sejak jatuh tempo sesuai dengan ketentuan Pasal 60 Stbl No. 448 Tahun
1925 (Indonesiche comptabiliteits wet, jo. Pasal 40 Undang-Undang No. 1 Tahun
2004, Pasal 40 tentang Perbendaharaan Negara;
“Bahwa atas dasar pertimbangan
tersebut Hakim Agung Dr.H. Mohammad Saleh, SH., MH. berpendapat Permohonan
kasasi harus ditolak, karena Pemohon Kasasi tidak dapat membuktikan dalil-dalil
gugatannya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan
untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : YONI SALIM, dan
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi di Banda Aceh, No. 16/PDT/2009/PT-BNA,
tanggal 29 Juni 2009, yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.
21/Pdt.G/2007/PN.BNA, tanggal 2 Juli 2008, serta Mahkamah Agung mengadili sendiri
perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
“M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : YONI SALIM
tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi di Banda Aceh, No.
16/PDT/2009/PT-BNA, tanggal 29 Juni 2009, yang membatalkan putusan Pengadilan
Negeri Banda Aceh No. 21/Pdt.G/2007/PN.BNA, tanggal 2 Juli 2008;
MENGADILI SENDIRI :
Dalam Eksepsi :
- Menolak eksepsi Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV untuk seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan Tergugat I, Tergugat II,
Tergugat III dan Tergugat IV yang tidak memenuhi kewajiban untuk membayar
kepada Penggugat selaku ahli waris ARIFIN SALIM (Toko Karya) adalah merupakan
perbuatan ingkar janji / wanprestasi;
3. Menyatakan menurut hukum bahwa jumlah hutang Tergugat IV setelah
disesuaikan dengan nilai mata uang rupiah sampai dengan gugatan ini di
daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Banda Aceh adalah sebesar Rp
5.775.631.555,- (lima milyar tujuh ratus tujuh puluh lima juta enam
ratus tiga puluh satu ribu lima ratus lima puluh lima rupiah);
4. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV untuk
membayar hutang (kerugian materiil) kepada Penggugat secara tanggung renteng
sebesar Rp 5.775.631.555,- (lima milyar tujuh ratus tujuh puluh lima
juta enam ratus tiga puluh satu ribu lima ratus lima puluh lima rupiah) secara
tunai dan sekaligus, ditambah dengan keuntungan yang diharapkan berupa bunga
6% (enam persen) pertahun sejak gugatan ini di daftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Banda Aceh sampai dibayar lunas;
5. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV dan
atau pihak lain yang mendapat hak maupun wewenang hukum dari padanya untuk
tunduk dan patuh terhadap isi putusan dalam perkara ini;
6. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.