Keadilan dan Sense of Justice Butuh IQ, dan IQ Tidak Terdapat pada Kekuatan Fisik-OTOT, namun pada OTAK
Question: Mengapa watak yang paling khas dari orang Indonesia ialah, sedikit-sedikit main kekerasan fisik, apapun itu main kekerasan fisik, segala masalah diselesaikan dengan cara-cara bernuansa kekerasan fisik? Apa bedanya sifat kebanyakan masyarakat Indonesia yang khas ini, dengan manusia biadab pada zaman prasejarah yang belum beradab dan tidak mengenal apa yang disebut “peradaban”? Jika mereka benar-benar jagoan, mengapa tidak berani bertarung diatas ring tinju?
Brief Answer: JIka konteksnya ialah “satu lawan satu dan
tangan kosong”, serta kedua belah pihak patuh dan tunduk sepenuhnya pada dunia
pertarungan tinju, maka itu sportif dan patut diapresiasi, terlepas dari siapapun
yang menang dan yang kalah dalam pertarungan “adu jotos”. Akan tetapi itu butuh
jiwa-jiwa ksatria, bukan-bukan mental-mental premanis. Namun, karakteristik
paling buruk dari kebanyakan masyarakat di Indonesia termasuk kalangan preman
di Indonesia ialah, “banyak (keroyokan) Vs. satu orang”, serta tidak jarang “senjata
tajam Vs. tangan kosong”—alias sangat kental nuansa “ke-pengecut-annya”.
Kondisi demikian diperparah oleh praktik dunia
peradilan kita, yang tidak serius memberantas aksi “main hakim sendiri” oleh
warganya dengan sekadar menjatuhkan vonis hukuman yang sangat ringan sehingga
tidak terbit apa yang disebut sebagai “efek jera” bagi si pelaku maupun sebagai
peringatan bagi masyarakat luas agar tidak meniru perbuatan yang akan diganjar
vonis hukuman yang menyerupai “disinsentif” bagi sang pelaku. Itulah sebabnya,
kejahatan paling primitif yang dikenal dalam sejarah peradaban umat manusia,
yakni “menganiaya” dan “penganiayaan”, tidak pernah punah dari muka Bumi,
justru kian lestari menjelma “budaya”.
Mengandalkan “otot” untuk berpikir, keadilan
menjelma “jauh panggang daripada api”, bagaikan “pungguk merindukan rembulan”.
Kebijaksanaan, butuh IQ, yakni kemampuan berpikir serta menimbang—sementara itu
dengan “otot”, tidak pernah butuh akal-budi maupun sejumlah kecil IQ sekalipun,
namun sekadar mengandalkan naluri kehewanan dan kebinatangan. Terlebih gawat,
dengan modal IQ yang dangkal demikian, masyarakat kita kerap gemar melakukan
aksi “main hakim sendiri”—alias hakim yang sangat amat buruk, yang berlaku
ialah “hukum rimba” bernama “kekerasan fisik bebasis otot”. Penegakan hukum di Indonesia
sudah sejak lama sangat “tumpul”. Dengan memakai alibi “penjara telah terlampau
penuh dari narapidana penghuninya”, maka pemerintah memakai jalan pintas berupa
“obral remisi” serta mengumbar jargon “pidana sebagai ultimum remedium”.
PEMBAHASAN:
Trauma serta luka fisik,
terutama “luka dalam” (internal injure)
di balik tempurung kepala (seperti pendarahan otak akibat benturan) maupun
rusaknya kornea mata akibat benturan benda tumpul bernama “pukulan tinju tangan”,
dapat berakibat fatal dan menyerupai “silent
killer” yang seringkali tidak tampak kasat-mata dari luar (hanya dapat
dikenali lewat analisa forensik), serta sifatnya bisa jadi permanen untuk
seumur hidup. Kondisi demikian sangatlah tidak setara dengan ketika sang pelaku
telah ternyata hanya dihukum “pidana percobaan” alias tidak benar-benar dihukum
dan tidak perlu menjalani masa hukuman—sehingga para pelakunya seolah-olah mendapatkan
“insentif” dari hukum sekalipun telah melakukan aksi “barbariknis” semacam
persekusi dan “main kekerasan fisik”.
Putusan pengadilan, juga
berfungsi sebagai “social engineering”.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur ancaman hukum bagi pelaku
penganiayaan, namun itu menjadi percuma alias sia-sia ketika “law in concreto”-nya ialah vonis hukuman
yang tergolong tidak menerbitkan “efek jera” bagi yang melanggarnya. Ketika putusan
berupa vonis pemidanaan gagal untuk membina dan mendidik warganya agar tidak
kerap “main kekerasan fisik untuk menyelesaikan setiap masalah” ataupun aksi-aksi
semacam persekusi (main hakim sendiri), maka yang kemudian terbentuk ialah
budaya masyarakat kita saat kini, “serba main kekerasan fisik”.
Salah satu ilustrasi konkretnya
dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan perkara pidana
register Nomor 2569 K/Pid.Sus/2010 tanggal 31 Maret 2011, dimana para Terdakwa
didakwa karena telah melakukan penganiayaan terhadap korban yang masih dibawah
umur, yakni masih berusia 15 tahun. Berawal saat korban sedang mengendarai sepeda
motor, di depan motor korban ada motor Terdakwa I Idham yang saat itu
menyalakan lampu weser kanan namun ternyata Terdakwa I Idham bukannya berbelok
ke kanan akan tetapi justru menepi ke kiri sehingga korban langsung melajukan motornya
mengambil jalur ke kanan, dan saat motor korban melaju tiba-tiba motor Terdakwa
I Idham langsung bergerak dan juga langsung mengambil jalur ke kanan, sehingga korban
menabrak motor Terdakwa I Idham yang menyebabkan korban dan Terdakwa I Idham
terjatuh.
Saat motor Terdakwa I Idham
terjatuh, motor Terdakwa 1. Idham tepat jatuh di dekat motor Terdakwa II Rusdi
yang saat itu sedang parkir, sehingga motor Terdakwa I Idham menyentuh motor Terdakwa
II Rusdi, mengakibatkan motor Terdakwa 2 Rusdi ikut terjatuh dan ban depan
motor Terdakwa II Rusdi masuk ke dalam got. Melihat hal tersebut, korban
berdiri dan oleh karena merasa takut akhirnya korban hendak lari namun Terdakwa
I Idham langsung mencegat dan menarik korban, lalu Terdakwa I Idham langsung
meninju mata kiri korban dengan menggunakan tangan kanannya sebanyak 1
(satu) kali, lalu memukul kepala korban dengan menggunakan kedua tangannya
secara berulang-ulang, lalu korban menghindar, namun setelah korban
berhasil menghindar dari Terdakwa I Idham dan langsung berlari, namun tiba-tiba
Terdakwa II Rusdi kembali mencegat dan menarik korban lalu juga Terdakwa II
Rusdi langsung memukul kepala korban, setelah itu Terdakwa II Rusdi menendang
korban dengan menggunakan kaki kanannya sebanyak 1 (satu) kali sehingga
menyebabkan saksi korban terjatuh.
Saat terjatuh, korban mendengar
suara yang mengatakan "lariko-lariko" sehingga korban langsung lari
meninggalkan tempat tersebut lalu datang warga menolong korban dan membawa ia ke
rumahnya dan mengobati luka yang dialami oleh korban. Akibat perbuatan kedua Terdakwa
tersebut, korban menderita luka dengan hasil Anamnese:
- Tampak mata kiri bengkak
dengan disertai nyeri tekan, warna merah dengan ukuran 3x2 cm;
- Dada teras nyeri dengan tanpa
disertai tanda-tanda kekerasan;
Kesimpulan : Kelainan tersebut disebabkan oleh
luka memar pada mata kiri kesan akibat benda tumpul luka derajat I, sesuai
dengan hasil pemeriksaan Visum Et Revertum Nomor yang dibuat dan ditanda tangani
oleh dokter pada RSUD Kabupaten Barru.
Terhadap tuntutan Jaksa
Penuntut Umum (JPU), yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Barru No.
09/Pid.B/2010/PN.BR, tanggal 25 Februari 2010, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa I. Muh Idham alias Idhang Bin La Beddu dan Terdakwa
II Rusdi Syamsuddin Bin Syamsuddin, telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama melakukan Penganiayaan
terhadap Anak”;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa I. Muh. Idham alias Idhang Bin La Beddu
dan Terdakwa II Rusdi Syamsuddin Bin Syamsuddin oleh karena itu dengan pidana
penjara masing-masing selama 3 (tiga) bulan;
3. Menetapkan lamanya masa tahanan yang telah dijalani Terdakwa-Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;”
Dalam tingkat banding, selanjutnya
yang menjadi putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan di Makassar No. 143/PID/2010/PT.MKS,
tanggal 2 Juni 2010, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Menerima permintaan banding dari para Terdakwa tersebut;
2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Barru, tanggal 25 Februari
2010, No. 09/Pid.B/2010/PN.BR, yang dimintakan banding tersebut;”
Vonis yang ringan, bahkan tidak
membuahkan “efek jera” sama sekali, bertolak-belakang dengan falfasah
pemidanaan dalam membina warga yang tidak patuh pada hukum agar “menyesali
perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya”. Sekalipun vonis
hukuman oleh pengadilan terhadap para Terdakwa tergolong “sangat teramat ringan”,
tetap saja pihak Terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi, dengan dalil bahwa
para Terdakwa sangat marah (mata gelap) memberi reaksi terhadap korban. Kondisi
kejiwaan Terdakwa pada waktu melakukan perbuatannya seperti dalam keadaan yang
tidak lagi menyadari konsekuensi hukum yang bakal diterima—salah satu ciri khas
sifat / karakteristik banyak masyarakat di Indonesia, yakni “sumbu-nya pendek”.
Dimana terhadapnya, Mahkamah
Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa atas
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
mengenai alasan-alasan Terdakwa
I ad. 1 dan ad. 2 serta Terdakwa II ad. 1 dan ad. 2:
“Bahwa alasan-alasan tersebut
tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti / Pengadilan Tinggi yang
menguatkan putusan Pengadilan Negeri telah tepat dan benar serta tidak salah
menerapkan hukum;
“Namun demikian Majelis
berpendapat bahwa pidana yang dijatuhkan terlalu berat, mengingat
fakta-fakta di persidangan yang berawal dari kekhilafan saksi korban yang
menyebabkan para Terdakwa menjadi kurang dapat mengontrol emosinya, dan
lagi pula pidana bukan merupakan suatu hukuman semata, akan tetapi terdapat
unsur pendidikan dan efek jera bagi para Terdakwa, maka cukup beralasan bila
pidana yang dijatuhkan tidak perlu dijalankan, sekalipun Terdakwa dinyatakan
terbukti bersalah;
“Menimbang, bahwa dengan
demikian maka putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan di Makassar No.
143/PID/2010/PT.MKS, tanggal 2 Juni 2010, yang menguatkan putusan Pengadilan
Negeri Barru, No. 09/Pid.B/2010/PN.BR, tanggal 25 Februari 2010, harus
diperbaiki sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini
tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi
tersebut harus ditolak dengan memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi
tersebut di atas, sehingga amar selengkapnya sebagaimana akan disebutkan di
bawah ini;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi : Terdakwa I MUH.
IDHAM alias IDDHANG Bin LA BEDDU dan Terdakwa II RUSDI SYAMSUDDIN Bin
SYAMSUDDIN tersebut;
- Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan di Makassar
No. 143/PID/2010/PT.MKS, tanggal 2 Juni 2010, yang menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Barru, No. 09/Pid.B/2010/PN.BR, tanggal 25 Februari 2010,
sekedar mengenai amar pidananya sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa I. Muh Idham alias Idhang Bin La Beddu dan Terdakwa
II Rusdi Syamsuddin Bin Syamsuddin, telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama melakukan Penganiayaan
terhadap Anak”;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa I. Muh. Idham alias Idhang Bin La Beddu
dan Terdakwa II Rusdi Syamsuddin Bin Syamsuddin oleh karena itu dengan pidana
penjara masing-masing selama 3 (tiga) bulan;
3. Menetapkan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalankan, kecuali
bila dikemudian hari ada perintah lain dari putusan Hakim, karena Terdakwa dipersalahkan
melakukan tindak pidana lain sebelum masa percobaan berakhir selama 6 (enam)
bulan;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.