JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Penyebab Budaya Kekerasan Fisik Tumbuh Subur di Tanah Air

Keadilan dan Sense of Justice Butuh IQ, dan IQ Tidak Terdapat pada Kekuatan Fisik-OTOT, namun pada OTAK

Question: Mengapa watak yang paling khas dari orang Indonesia ialah, sedikit-sedikit main kekerasan fisik, apapun itu main kekerasan fisik, segala masalah diselesaikan dengan cara-cara bernuansa kekerasan fisik? Apa bedanya sifat kebanyakan masyarakat Indonesia yang khas ini, dengan manusia biadab pada zaman prasejarah yang belum beradab dan tidak mengenal apa yang disebut “peradaban”? Jika mereka benar-benar jagoan, mengapa tidak berani bertarung diatas ring tinju?

Brief Answer: JIka konteksnya ialah “satu lawan satu dan tangan kosong”, serta kedua belah pihak patuh dan tunduk sepenuhnya pada dunia pertarungan tinju, maka itu sportif dan patut diapresiasi, terlepas dari siapapun yang menang dan yang kalah dalam pertarungan “adu jotos”. Akan tetapi itu butuh jiwa-jiwa ksatria, bukan-bukan mental-mental premanis. Namun, karakteristik paling buruk dari kebanyakan masyarakat di Indonesia termasuk kalangan preman di Indonesia ialah, “banyak (keroyokan) Vs. satu orang”, serta tidak jarang “senjata tajam Vs. tangan kosong”—alias sangat kental nuansa “ke-pengecut-annya”.

Kondisi demikian diperparah oleh praktik dunia peradilan kita, yang tidak serius memberantas aksi “main hakim sendiri” oleh warganya dengan sekadar menjatuhkan vonis hukuman yang sangat ringan sehingga tidak terbit apa yang disebut sebagai “efek jera” bagi si pelaku maupun sebagai peringatan bagi masyarakat luas agar tidak meniru perbuatan yang akan diganjar vonis hukuman yang menyerupai “disinsentif” bagi sang pelaku. Itulah sebabnya, kejahatan paling primitif yang dikenal dalam sejarah peradaban umat manusia, yakni “menganiaya” dan “penganiayaan”, tidak pernah punah dari muka Bumi, justru kian lestari menjelma “budaya”.

Mengandalkan “otot” untuk berpikir, keadilan menjelma “jauh panggang daripada api”, bagaikan “pungguk merindukan rembulan”. Kebijaksanaan, butuh IQ, yakni kemampuan berpikir serta menimbang—sementara itu dengan “otot”, tidak pernah butuh akal-budi maupun sejumlah kecil IQ sekalipun, namun sekadar mengandalkan naluri kehewanan dan kebinatangan. Terlebih gawat, dengan modal IQ yang dangkal demikian, masyarakat kita kerap gemar melakukan aksi “main hakim sendiri”—alias hakim yang sangat amat buruk, yang berlaku ialah “hukum rimba” bernama “kekerasan fisik bebasis otot”. Penegakan hukum di Indonesia sudah sejak lama sangat “tumpul”. Dengan memakai alibi “penjara telah terlampau penuh dari narapidana penghuninya”, maka pemerintah memakai jalan pintas berupa “obral remisi” serta mengumbar jargon “pidana sebagai ultimum remedium”.

PEMBAHASAN:

Trauma serta luka fisik, terutama “luka dalam” (internal injure) di balik tempurung kepala (seperti pendarahan otak akibat benturan) maupun rusaknya kornea mata akibat benturan benda tumpul bernama “pukulan tinju tangan”, dapat berakibat fatal dan menyerupai “silent killer” yang seringkali tidak tampak kasat-mata dari luar (hanya dapat dikenali lewat analisa forensik), serta sifatnya bisa jadi permanen untuk seumur hidup. Kondisi demikian sangatlah tidak setara dengan ketika sang pelaku telah ternyata hanya dihukum “pidana percobaan” alias tidak benar-benar dihukum dan tidak perlu menjalani masa hukuman—sehingga para pelakunya seolah-olah mendapatkan “insentif” dari hukum sekalipun telah melakukan aksi “barbariknis” semacam persekusi dan “main kekerasan fisik”.

Putusan pengadilan, juga berfungsi sebagai “social engineering”. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur ancaman hukum bagi pelaku penganiayaan, namun itu menjadi percuma alias sia-sia ketika “law in concreto”-nya ialah vonis hukuman yang tergolong tidak menerbitkan “efek jera” bagi yang melanggarnya. Ketika putusan berupa vonis pemidanaan gagal untuk membina dan mendidik warganya agar tidak kerap “main kekerasan fisik untuk menyelesaikan setiap masalah” ataupun aksi-aksi semacam persekusi (main hakim sendiri), maka yang kemudian terbentuk ialah budaya masyarakat kita saat kini, “serba main kekerasan fisik”.

Salah satu ilustrasi konkretnya dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan perkara pidana register Nomor 2569 K/Pid.Sus/2010 tanggal 31 Maret 2011, dimana para Terdakwa didakwa karena telah melakukan penganiayaan terhadap korban yang masih dibawah umur, yakni masih berusia 15 tahun. Berawal saat korban sedang mengendarai sepeda motor, di depan motor korban ada motor Terdakwa I Idham yang saat itu menyalakan lampu weser kanan namun ternyata Terdakwa I Idham bukannya berbelok ke kanan akan tetapi justru menepi ke kiri sehingga korban langsung melajukan motornya mengambil jalur ke kanan, dan saat motor korban melaju tiba-tiba motor Terdakwa I Idham langsung bergerak dan juga langsung mengambil jalur ke kanan, sehingga korban menabrak motor Terdakwa I Idham yang menyebabkan korban dan Terdakwa I Idham terjatuh.

Saat motor Terdakwa I Idham terjatuh, motor Terdakwa 1. Idham tepat jatuh di dekat motor Terdakwa II Rusdi yang saat itu sedang parkir, sehingga motor Terdakwa I Idham menyentuh motor Terdakwa II Rusdi, mengakibatkan motor Terdakwa 2 Rusdi ikut terjatuh dan ban depan motor Terdakwa II Rusdi masuk ke dalam got. Melihat hal tersebut, korban berdiri dan oleh karena merasa takut akhirnya korban hendak lari namun Terdakwa I Idham langsung mencegat dan menarik korban, lalu Terdakwa I Idham langsung meninju mata kiri korban dengan menggunakan tangan kanannya sebanyak 1 (satu) kali, lalu memukul kepala korban dengan menggunakan kedua tangannya secara berulang-ulang, lalu korban menghindar, namun setelah korban berhasil menghindar dari Terdakwa I Idham dan langsung berlari, namun tiba-tiba Terdakwa II Rusdi kembali mencegat dan menarik korban lalu juga Terdakwa II Rusdi langsung memukul kepala korban, setelah itu Terdakwa II Rusdi menendang korban dengan menggunakan kaki kanannya sebanyak 1 (satu) kali sehingga menyebabkan saksi korban terjatuh.

Saat terjatuh, korban mendengar suara yang mengatakan "lariko-lariko" sehingga korban langsung lari meninggalkan tempat tersebut lalu datang warga menolong korban dan membawa ia ke rumahnya dan mengobati luka yang dialami oleh korban. Akibat perbuatan kedua Terdakwa tersebut, korban menderita luka dengan hasil Anamnese:

- Tampak mata kiri bengkak dengan disertai nyeri tekan, warna merah dengan ukuran 3x2 cm;

- Dada teras nyeri dengan tanpa disertai tanda-tanda kekerasan;

Kesimpulan : Kelainan tersebut disebabkan oleh luka memar pada mata kiri kesan akibat benda tumpul luka derajat I, sesuai dengan hasil pemeriksaan Visum Et Revertum Nomor yang dibuat dan ditanda tangani oleh dokter pada RSUD Kabupaten Barru.

Terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Barru No. 09/Pid.B/2010/PN.BR, tanggal 25 Februari 2010, dengan amar sebagai berikut:

“MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa I. Muh Idham alias Idhang Bin La Beddu dan Terdakwa II Rusdi Syamsuddin Bin Syamsuddin, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama melakukan Penganiayaan terhadap Anak”;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa I. Muh. Idham alias Idhang Bin La Beddu dan Terdakwa II Rusdi Syamsuddin Bin Syamsuddin oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing selama 3 (tiga) bulan;

3. Menetapkan lamanya masa tahanan yang telah dijalani Terdakwa-Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;”

Dalam tingkat banding, selanjutnya yang menjadi putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan di Makassar No. 143/PID/2010/PT.MKS, tanggal 2 Juni 2010, dengan amar sebagai berikut:

“MENGADILI :

1. Menerima permintaan banding dari para Terdakwa tersebut;

2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Barru, tanggal 25 Februari 2010, No. 09/Pid.B/2010/PN.BR, yang dimintakan banding tersebut;”

Vonis yang ringan, bahkan tidak membuahkan “efek jera” sama sekali, bertolak-belakang dengan falfasah pemidanaan dalam membina warga yang tidak patuh pada hukum agar “menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya”. Sekalipun vonis hukuman oleh pengadilan terhadap para Terdakwa tergolong “sangat teramat ringan”, tetap saja pihak Terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi, dengan dalil bahwa para Terdakwa sangat marah (mata gelap) memberi reaksi terhadap korban. Kondisi kejiwaan Terdakwa pada waktu melakukan perbuatannya seperti dalam keadaan yang tidak lagi menyadari konsekuensi hukum yang bakal diterima—salah satu ciri khas sifat / karakteristik banyak masyarakat di Indonesia, yakni “sumbu-nya pendek”.

Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

mengenai alasan-alasan Terdakwa I ad. 1 dan ad. 2 serta Terdakwa II ad. 1 dan ad. 2:

“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti / Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri telah tepat dan benar serta tidak salah menerapkan hukum;

“Namun demikian Majelis berpendapat bahwa pidana yang dijatuhkan terlalu berat, mengingat fakta-fakta di persidangan yang berawal dari kekhilafan saksi korban yang menyebabkan para Terdakwa menjadi kurang dapat mengontrol emosinya, dan lagi pula pidana bukan merupakan suatu hukuman semata, akan tetapi terdapat unsur pendidikan dan efek jera bagi para Terdakwa, maka cukup beralasan bila pidana yang dijatuhkan tidak perlu dijalankan, sekalipun Terdakwa dinyatakan terbukti bersalah;

“Menimbang, bahwa dengan demikian maka putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan di Makassar No. 143/PID/2010/PT.MKS, tanggal 2 Juni 2010, yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Barru, No. 09/Pid.B/2010/PN.BR, tanggal 25 Februari 2010, harus diperbaiki sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak dengan memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi tersebut di atas, sehingga amar selengkapnya sebagaimana akan disebutkan di bawah ini;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi : Terdakwa I MUH. IDHAM alias IDDHANG Bin LA BEDDU dan Terdakwa II RUSDI SYAMSUDDIN Bin SYAMSUDDIN tersebut;

- Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan di Makassar No. 143/PID/2010/PT.MKS, tanggal 2 Juni 2010, yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Barru, No. 09/Pid.B/2010/PN.BR, tanggal 25 Februari 2010, sekedar mengenai amar pidananya sehingga berbunyi sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa I. Muh Idham alias Idhang Bin La Beddu dan Terdakwa II Rusdi Syamsuddin Bin Syamsuddin, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama melakukan Penganiayaan terhadap Anak”;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa I. Muh. Idham alias Idhang Bin La Beddu dan Terdakwa II Rusdi Syamsuddin Bin Syamsuddin oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing selama 3 (tiga) bulan;

3. Menetapkan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalankan, kecuali bila dikemudian hari ada perintah lain dari putusan Hakim, karena Terdakwa dipersalahkan melakukan tindak pidana lain sebelum masa percobaan berakhir selama 6 (enam) bulan;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.