Ciri-Ciri Dosen Hukum yang Menyesatkan Mahasiswanya Sendiri
Question: Ada dosen saya di kampus hukum, yang justru tidak meluluskan mahasiswa yang berpendirian bahwa pertimbangan hukum hakim dalam putusan tidak boleh dipandang sebelah mata. Sang dosen, justru mengajarkan pada mahasiswa bahwa cukup membaca amar putusan hakim, semisal amar putusan Mahkamah Konstitusi, tanpa perlu membuang-buang waktu untuk membaca pertimbangan hukumnya. Mahasiswa yang rajin, dengan menelaah isi pertimbangan hukum hakim, justru diberi nilai buruk oleh sang dosen. Sebenarnya yang keliru dan “sesat berpikir” itu siapa, mahasiswa atau si dosen pengajar itu sendiri?
Brief Answer: Dosen atau tenaga pengajar pada perguruan tinggi
ilmu hukum yang mengajarkan pada para mahasiswa sendiri untuk meremehkan dan
menafikan sifat penting pertimbangan hukum hakim dalam produk hukumnya berupa
putusan pengadilan, merupakan dosen yang “menyesatkan” bila tidak dapat
dipandang sebagai tidak kompeten dibidang disiplin ilmu hukum, baik sebagai
akademisi maupun sebagai praktisi hukum. Kita dapat menyebutnya sebagai dosen
yang tidak bertanggung-jawab, mengingat sang tenaga pengajar justru mendidik
mahasiswanya untuk menihilkan pertimbangan hukum hakim, dan memandangnya bukan sebagai
norma hukum sehingga dapat dicampakkan secara begitu saja. Contoh lainnya,
ketika kita mengajukan upaya hukum banding maupun kasasi, yang dibantah bukan hanya
amar putusan sang hakim, namun juga pertimbangan hukumnya yang menjadi hulu
dari amar putusan sebagai muaranya.
Bila dosen tersebut ternyata juga merupakan
praktisi hukum, maka dapat dipastikan bukanlah praktisi yang bertanggung-jawab,
mengingat seluruh kalangan litigator tahu betul bahwa norma atau kaedah
preseden dibentuk seringkali lewat bentuk pertimbangan hukum hakim dalam
putusannya, alias jarang berupa amar putusan yang dikutip dalam surat gugatan maupun
nota pembelaan. Seorang akademisi maupun praktisi hukum yang kompeten, tidak
dapat dibenarkan bersikap “pragmatis” dengan mengamputasi pertimbangan hukum
hakim dalam amar putusannya. Karena itulah, penting untuk menjadi akademisi
maupun praktisi hukum yang bersifat spesialis, dimana bermakna harus tahu
segala seluk-beluk bidang yang menjadi spesialisasinya, tanpa dibenarkan beralasan
semacam “tidak punya waktu membaca isi pertimbangan hukum hakim dalam putusannya”.
PEMBAHASAN:
Dimana bahkan, amar putusan Mahkamah
Konstitusi RI berupa “permohonan uji materil tidak dapat diterima” sekalipun,
tidak jarang terkadung pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi substansinya
justru berisi kaedah hukum yang bersifat mengikat. Sehingga, adalah menyesatkan
ketika seorang Sarjana Hukum ataupun praktisi hukum sekadar membaca amar putusan
lalu meremehkan dan menafikan substansi pertimbangan hukum dalam putusan
dimaksud. Dosen hasil “salah didik” demikian, tidak patut untuk mengajar juga
tidak layak untuk diteladani sikapnya yang tidak bertanggung-jawab terhadap
peserta diri maupun terhadap klien yang bersangkutan.
Sebagai pembuktian, salah satu ilustrasi
konkretnya dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah
Konstitusi RI perkara uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 register
Nomor 122/PUU-XIII/2015 tanggal 29 Oktober 2016, dengan pasal-pasal yang
dimohonkan uji materiil berupa:
“Pasal 55
Setiap Orang secara tidak sah
dilarang:
a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan
perkebunan;
b mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah
masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat dengan maksud untuk
Usaha Perkebunan;
c. melakukan penebangan Perkebunan; atau
d. memanen dan/atau memungut Hasil perkebunan.
Pasal 58
(1) Perusahaan Perkebunan yang mendapatkan Perizinan Berusaha untuk budi
daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari:
a. area penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha; dan/atau
b. areal yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, wajib memfasilitasi
pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 2O% (dua puluh persen) dari luas
lahan tersebut.
(21 Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, bentuk kemitraan
lainnya, atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 3
(tiga) tahun sejak hak guna usaha diberikan.
(4) Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Penjelasan Resmi Pasal 58 Ayat
(1):
Kewajiban memfasilitasi
pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 2O% (dua puluh persen) hanya
ditqiukan kepada Pekebun yang mendapatkan lahan untuk Perkebunan yang berasal
dari areal penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha dan/ atau yang
berasal dari areal lahan dari pelepasan hutan. Kewajiban tersebut timbul atas
Lahan Perkebunan yang bersumber dari lahan negara.
Dalam hal perolehan Lahan
Perkebunan dilakukan langsung kepada masyarakat yang diberikan hak guna usaha,
maka Pekebun tersebut tidak diwajibkan untuk memberikan fasilitasi.
Kewajiban fasilitasi Perkebunan
masyarakat tersebut diintegrasikan dengan kewajiban lainnya yang timbul dalam
perolehan Lahan Perkebunan, antara lain dalam hal lahan berasal dari kawasan
hutan yang memberikan kewajiban untuk 20% (dua puluh persen) lahan kepada
masyarakat dan telah dilaksanakan, maka kewajiban tersebut sudah Selesai.
Namun Pekebun tetap didorong
memberikan fasilitasi kepada masyarakat yang bersifat sukarela agar masyarakat
dapat mengembangkan pengelolaan kebunnya.
Pasal 107
Setiap Orang secara tidak sah
yang:
a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan
perkebunan;
b. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah
masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk
Usaha Perkebunan;
c. melalukan penebangan tanaman Perkebunan; atau
d. memanen dan/atau memungut Hasil perkebunan;
sebagaimana dimaksud. dalam
pasal 55, dipidana dengan Pidana. penjara paling lama 4 (empat) tahun atau
denda paling banyak Rp4. 000. 000.000 (empat miliar rupiah).”
Dimana terhadapnya, Mahkamah
Konstitusi kemudian membuat pertimbangan hukum serta amar putusan dengan
kutipan sebagai berikut:
“Menimbang, setelah memeriksa
secara saksama permohonan para Pemohon, keterangan para Pemohon dalam
persidangan, dan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah berpendapat:
1. Bahwa Pasal 12 ayat (1) UU Perkebunan adalah berkaitan dengan
penguasaan / penggunaan lahan masyarakat hukum adat oleh pelaku usaha
perkebunan mengharuskan melalui musyawarah. sementara itu, Pasal 55 huruf a,
huruf c dan huruf d UU Perkebunan adalah pemberdayaan usaha perkebunan. Adapun
Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d UU Perkebunan adalah ketentuan pidana.
Apabila dalil para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU
Perkebunan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 18B ayat (2) UUD
1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Musyawarah
yang dilakukan antara pelaku usaha perkebunan dengan Masyarakat Hukum Adat
dilakukan dengan posisi setara dan memberikan sepenuhnya hak masyarakat hukum
adat untuk menolak penyerahan jika tidak terdapat kesepakatan’ dan Pasal 55
huruf a, huruf c, dan huruf d serta Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d UU
Perkebunan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D
ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, maka justru akan terjadi
ketidakpastian hukum. Sebab jika demikian, menjadi tidak jelas apa yang
dimaksud penggunaan lahan yang diperlukan untuk usaha perkebunan, apa yang
dimaksud pemberdayaan usaha perkebunan, dan ketentuan pidana yang mengatur
setiap orang secara tidak sah melakukan usaha di lahan Perkebunan. Justru,
dengna pengaturan norma terhadap pelaku usaha perkebunan ‘harus’ atau ‘wajib’
bermusyawarah dengan masyarakat hukum adat atas penguasaan lahan / tanah yang
digunakan menjadi areal perkebunan merupakan perlindungan hukum terhadap
masyarakat hukum adat akan eksistensi dan kedudukan hukumnya sehingga
mewujudkan kepastian hukum dan perlindungan atas hak termasuk hak asasinya.
Demikian pula, Pasal 55 UU Perkebunan mengatur perbuatan-perbuatan yang
dilarang dan dikualifikasi sebagai tindak pidana berlaku terhadap semua orang
termasuk pelaku uasha perkebunan, yaitu dilarang untuk mengerjakan,
menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai tanah atau tanah hak ulayat
masyarakat hukum adat, artinya ketentuan pelarangan dalam pasal tersebut jika
dibaca secara keseluruhan dan utuh telah mewujudkan kepastian hukum bagi
masyarakat hukum adat dan pelaku usaha perkebunan.
Berkenaan dengan Pasal 107 UU
Perkebunan yang mengatur mengenai sanksi pidana yang berlaku kepada setiap
orang, in casu masyarakat hukum adat dan atau pelaku usaha perkebunan dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak
Rp.4.000.000.000 (empat milyar rupiah) bagi yang tidak sah mengerjakan,
menggunakan, menduduki dan menguasai, memanfaatkan kawasan / lahan perkebunan
dan atau tanah masyarakat atas tanah hak ulayat, bahwa pengenaan sanksi
pidana dalam pasal ini berlaku bagi setiap orang bukan hanya terhadap
masyarakat hukum adat apabila melakukan perbuatan yang tidak sah, sehingga
telah terwujud kepastian hukum. Dalam hal ini penting ditegaskan bahwa
berkenaan dengan keberadaan masyarakat hukum adat, Mahkamah telah memutus dalam
perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 bertanggal 10 Desember 2015 yang pada prinsipnya
menyatakan bahwa keberlakuan ketentuan pidana dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e
dan huruf i Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dikecualikan
terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak
ditujukan untuk kepentingan komersial, sehingga keberlakuan ketentuan pidana
dalam Pasal 107 UU Perkebunan harus juga dibaca dalam semangat yang sama.
Dengan demikian tidak terdapat pertentangan Pasal 12 ayat (1), Pasal 55 huruf
a, huruf c dan huruf d serta Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d UU
Perkebunan terhadap UUD 1945;
2. Bahwa telah terang bagi Mahkamah apa yang dialami oleh para Pemohon
bukanlah kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)
UU MK. Kalaupun benar para Pemohon merasa dirugikan oleh peristiwa yang
dialaminya, kerugian itu bukanlah disebabkan oleh inkonstitusionalnya norma
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian in casu Pasal 12 ayat (1), Pasal 55
huruf a, huruf c, dan huruf d serta Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d UU
Perkebunan melainkan masalah penerapan norma Undang-Undang itu dalam praktik.
Mahkamah penting mengingatkan bahwa penerapan Pasal 12 ayat (1), Pasal 55 huruf
a, huruf c, dan hurud d serta Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d UU
Perkebunan harus dilakukan dengan mengindahkan pertimbangan sebagaimana
diuraikan pada angka 1 di atas;
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada angka 1 dan angka 2 di atas telah
ternyata bahwa kerugian yang dialami para Pemohon bukan merupakan kerugian
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
“Menimbang bahwa oleh karena
apa yang didalilkan oleh para Pemohon bukanlah merupakan kerugian
konstitusional maka para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
AMAR PUTUSAN
Mengadili
Permohonan para Pemohon tidak
dapat diterima.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.