(DROP DOWN MENU)

Disakiti adalah Pilihan yang Sudah Benar, daripada Memilih untuk Menyakiti Diri Kita Sendiri

SENI HIDUP yang Perlu Anda Ketahui dan Kuasai bila Ingin SURVIVE di Indonesia

Lebih Baik Disakiti (oleh Orang Lain), daripada Menyakiti / Mengkhianati Diri Sendiri

Artikel sederhana singkat ini, merupakan hasil kristalisasi pengalaman pribadi penulis yang telah hampir berusia empat dekade lamanya tumbuh dan besar di Indonesia—negara agamais mana yang bangsanya kerap sesumbar “ini itu dosa” namun disaat bersamaan menjadi pecandu ideologi “penghapusan dosa” serta memiliki misi misionaris “selesaikan setiap masalah dengan cara KEKERASAN FISIK”—dimana akan sangat bermanfaat bagi para pembaca yang juga sedang berdomisili atau secara terpaksa bertahan hidup di Indonesia. Bila Anda merupakan warga yang mendekam di Indonesia, maka Anda tergolong manusia yang cukup patut dikasihani. Kabar baiknya, Anda tidak sendiri, banyak yang senasib dengan Anda. Bangsa Indonesia, sudah dikenal sebagai bangsa yang rata-rata tingkat IQ rendah (namun berdelusi sebagai bangsa ber-EQ dan SQ tinggi), disamping menyandang warisan genetik yang sangat tidak berkualitas alias bermutu dangkal / rendahan.

Dapat penulis pastikan, para pembaca telah pernah, sedang, serta akan mengalami hal yang sama dengan pengalaman yang pernah dan seringkali penulis alami, seakan penulis mampu melihat kehidupan Anda. Ilustrasi nyatanya cukup yang sederhana saja, namun sudah mewakili esensi pengalaman yang hendak penulis sampaikan. Pada suatu siang, penulis berangkat menuju suatu rumah makan yang menjual “gado-gado”, salah satu makanan tradisional Indonesia yang berbahan dasar sayur-sayuran. Sebagai seseorang yang intelek (melek literasi), kita harus tahu apa itu “keracunan sayur-sayuran” yang seringkali berupa sayur-mayur yang terkontaminasi bakteri serta spora beracun dan berbahaya. Untuk itu, sebagai “konsumen yang cerdas”, kita tidak boleh berdiam diri dan bersikap “masak bodoh” terhadap apa yang akan masuk ke dalam perut kita.

Ingat, “tukang sampah” mungkin tidak pernah cuci tangan sebelum makan dan bisa hidup. Namun lihat nasib hidupnya seperti apa, menjadi “tukang sampah”. Ciri-ciri hidup menentukan nasib hidup, itulah “rahasia kehidupan” yang mungkin tidak pernah diberitahukan oleh guru, orangtua, ataupun pemuka agama Anda. Untuk itu, penulis mengajukan pertanyaan yang wajar saja kepada si penjual gado-gado yang harganya cukup mahal mengingat lokasinya rumah makannya berupa perumahan, bukan gerobakan. “Sayurnya, dicuci belum?” demikian penulis bertanya. Alangkah terkejutnya penulis, sang penjual seketika “naik pitam”, marah-marah mencaci-maki penulis sebagai “tanya yang aneh-aneh!” Mungkin hanya terjadi di Indonesia, fenomena “korban yang justru dimarahi oleh si pelaku kejahatan” (lebih galak si pelaku). Sang penjual gado-gado, berbusana agamais, memakai jilbab. Makanannya “halal”, namun ucapannya, “sebusuk racun”. Segala sesuatunya serba halal-lifestyle di Indonesia. Ironisnya, penjara tidak pernah kekurangan penghuni, dan negeri ini tidak pernah kekurangan penipu ataupun kriminal.

Namun, pilihan yang penulis pilih, yakni memberanikan diri untuk bertanya dan memakai hak sebagai konsumen, adalah sudah benar—sekalipun itu artinya disakiti, dijahati, dan dilukai. Penulis selamat dari “keracunan makanan”, suatu opsi yang “worthed” untuk dipilih. Sementara itu warga yang membeli dengan “beli kucing dalam karung”, takut-takut untuk bertanya, celaka sendiri akibatnya. Mungkin hanya terjadi di Indonesia, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan sukar semacam itu. Apakah si penjual, akan bertanggung-jawab bila konsumennya mengidap penyakit akibat memakan “gado-gado bumbu pestisida dan air seni tikus” (food poisoned)? Sudah pasti tidak, mengingat sang penjual adalah pemeluk ideologi “penghapusan dosa” (abolition of sins)—yang setiap harinya berdoa memohon “penghapusan dosa”, setiap hari rayanya pesta-pora “penghapusan dosa” (berpuasa cukup sebulan, dosa-dosa selama satu tahun dihapuskan, kabar buruk bagi kalangan korban), dimana bahkan ketika sang pendosa meninggal dunia maka sanak-saudaranya akan melantunkan doa permohonan agar sang almarhum pendosa dihapus dosa-dosanya. Lantas, dimanakah dan bagaimanakah nasib para korban dari sang pendosa? Tidak ada kosakata “korban” dalam “Kitab DOSA” yang menjadi sumber otentik “Agama DOSA” yang mereka peluk, yang ada hanyalah “pendosa” dan “pendosawan”, seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap “pendosa penjilat penuh dosa” ketimbang nasib korban-korban dari sang “pendosawan”.

Terdapat pengalaman yang membuat penulis menyesal karena salah memilih opsi, akibat termakan oleh rasa sungkan ataupun rasa takut. Semoga kisah nyata berikut ini dapat menjadi pembelajaran bagi diri pribadi penulis dimana kini serta mendatang, maupun bagi para pembaca, agar tidak mengalami ataupun memilih opsi keliru serupa. Pada suatu hari, penulis mengunjungi sebuah rumah makan “nasi padang”. Penjualnya hanya satu orang dimana juga kebetulan pengunjungnya hanya penulis seorang diri pada siang hari itu, dan ternyata ia sedang mengepel lantai. Tanpa mencuci tangan, ia langsung melayani pengunjung. Artinya, penulis sejatinya sadar betul bahwa memakan “nasi padang” yang ia sajikan ke dalam bungkusnya secara tidak higienis, berpotensi menyakiti tubuh penulis. Namun akibat rasa takut ataupun sungkan terhadap sang penjual, penulis tetap membelinya. Jika penulis batal membeli, potensi ancamannya ialah akan dicaci oleh sang penjual sebagai “worst case scenario”-nya. Namun, opsi kedua tersebut, yakni dicaci oleh sang penjual, sudah merupakan pilihan yang benar, daripada menyakiti diri sendiri dengan tetap membelinya. Secara lebih rasional, bila saja penulis mampu menyisihkan rasa takut dari dalam diri, kita akan menyadari bahwa terkena penyakit tifus ataupun diare akibat disajikan oleh jemari tangan penjual yang tidak higienis demikian, barulah benar-benar “worst case”-nya.

Berangkat dari pengalaman-pengalaman demikian, penulis mulai menyelidiki dan menganalisa sepanjang hari sampai pada suatu kesimpulan, dan sejak saat itulah, semisal ketika penulis akan turun dari angkutan umum, penulis akan memilih untuk turun dengan perlahan, sekalipun ancamannya ialah dicaci-maki oleh pengemudi yang tidak mau memikirkan nasib penumpangnya, dimana itulah pilihan yang benar dan pilihannya sudah benar, karena kita tidak memilih untuk menyakiti diri kita sendiri. Bersikap takut-takut, sungguh toxic dan berbahaya, kondisi takut dapat melemahkan IQ kita hingga ke titik paling dangkal, membuat kita mudah dibodohi oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab, dimana kita akan didorong untuk menyakiti diri kita sendiri. Dalam hati penulis berkata, ketika didesak oleh pengemudi yang tidak menghargai keselamatan penumpang, “Kamu suruh saya untuk celaka? Lebih baik saya disakiti oleh kamu, daripada saya memilih untuk menyakiti diri saya sendiri.” Namun kita tidak perlu berdebat, bangsa Indonesia “tiarap IQ”-nya. Mohon maaf atas kejujuran penulis, sama seperti ketika penulis menegur tukang bangunan tetangga yang merobohkan rumah untuk mendirikan rumah baru, namun sang tukang dengan arogan menjawab : “Untuk bikin rumah baru, tidak butuh Izin Mendirikan Bangunan.” Itulah “tukang”, otot tidak punya IQ.

Salah satu kiat untuk membuat kita tegar dan kuat hidup di Indonesia, dimana segala sesuatunya menjadi terbolak-balik dari “salah menjadi benar” dan “benar jadi salah” ialah, visualisasikan gambaran dimana seseorang menyuruh kita untuk melompat dari atas jurang. Tentu kita akan menolaknya dan apapun konsekuensinya kita memilih untuk tidak menuruti keinginan ataupun perintah orang tersebut serta siap melakukan konfrontasi sampai titik darah penghabisan bila diperlukan, mengingat naluri “survival” kita akan terbit dan menerangi kesadaran serta akal sehat kita secara optimal. Kita tidak perlu komentar ataupun izin dari orang lain atas hidup kita sendiri, kita sendiri yang putuskan karena yang paling bertanggung-jawab atas hidup kita ialah diri sendiri. Jangan bersikap seolah-olah kita tidak punya pikiran untuk menilai dan putuskan sendiri. Karenanya kita perlu belajar untuk menghargai pikiran dan pilihan bebas kita sendiri, dengan terlebih dahulu membuang jauh-jauh sikap “penakut” lewat memberdayakan mental “survival” sebagaimana tersebut diatas.

Telah ternyata, jauh sebelum itu, hal demikian telah pernah disinggung sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

238 (8) Seorang yang Layak Dicela (3)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.

(2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.

(3) Ia kikir dan serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal.

(4) Ia kikir dan serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga.

(5) Ia kikir sehubungan dengan perolehan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.

(2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. [266]

(3) Ia tidak kikir dan tidak serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal.

(4) Ia tidak kikir dan tidak serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga.

(5) Ia tidak kikir sehubungan dengan perolehan.

Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

~DHAMMAPADA~

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

258. ... tidak berpenakut itulah disebut ‘bijaksanawan’.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.