JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Tagihan Hutang Pemerintah, Kadaluarsa Setelah 5 (Lima) Tahun

Negara Tidak Semestinya Mencurangi dan Merugikan Warganya Sendiri

Contoh Kasus Kadaluarsa Hak Tagih Vs. Lembaga Negera / Pemerintah

Question: Apa betul, kadaluarsa hak menagih hutang, ialah selama 30 tahun?

Brief Answer: Jika konteksnya ialah “sipil Vs. sipil”, bukan “sipil Vs. pemerintah / pemerintah daerah / lembaga negara”, adalah betul kadaluarsa (verjaring) tagihan maupun hak menggugat secara perdata adalah selama 30 (tiga puluh) tahun sejak hak tagih tersebut terbit. Namun bila konteksnya ialah kewajiban perdata seperti hutang pemerintah, pemerintah daerah, maupun lembaga negara, maka kadaluarsa bagi sipil untuk menagih dan menggugatnya ialah selama sebatas 5 (lima) tahun. Negara semestinya melindungi masyarakat (sipil yang melakukan penagihan terhadap hutang-piutang) serta memberikan teladan yang baik, bukan justru mencurangi rakyatnya sendiri dengan berlindung / berkelit dibalik ketentuan perihal daluarsa hak menggugat terhadap lembaga negara, pemerintah, ataupun pemerintah daerah demikian.

PEMBAHASAN:

Perihal kadaluarsa yang melahirkan hak atau sebaliknya menggugurkan hak, diatur secara umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata):

- Pasal 1951 KUHPerdata : “Dalam tiap tingkatan pemeriksaan perkara dapatlah seorang menunjuk pada daluwarsa, bahkan dalam tingkatan banding.”

- Pasal 1946 KUHPerdata : “Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.”

- Pasal 1954 KUHPerdata : “Pemerintah, selaku wakil Negara, Kepala Pemerintahan Daerah, yang bertindak dalam jabatannya, dan lembaga-lembaga umum, tunduk kepada daluwarsa-daluwarsa yang sama seperti orang-orang perseorangan, dan mereka dapat menggunakannya dengan cara yang sama.”

- Pasal 1957 KUHPerdata : “Seorang yang sekarang menguasai suatu kebendaan, yang membuktian bahwa ia menguasainya sejak dahulu kala, dianggap juga telah menguasainya selama selang waktu antara dulu dan sekarang itu, dengan tidak mengurangi pembuktian hal sebaliknya.”

- Pasal 1965 KUHPerdata : “Itikad baik selamanya harus dianggap ada, sedangkan siapa yang menunjuk kepada suatu itikad buruk, diwajibkan membuktikannya.

- Pasal 1967 KUHPerdata : “Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagi pula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.”

- Pasal 1955 KUHPerdata : “Untuk memperoleh Hak Milik atas sesuatu diperlukan bahwa seseorang menguasai terus-menerus, tak terputus-putus, tak terganggu, dimuka umum dan secara tegas sebagai pemilik.

- Pasal 1963 KUHPerdata : “Siapa yang dengan itikad baik, dan berdasarkan suatu alasan hak yang sah oleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu pitang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluwarsa, dengan suatu penguasaan selama 20 tahun. Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama 30 tahun, memperoleh hak milik, dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alasan haknya."

Untuk memudahkan pemahaman, dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan cerminan konkretnya sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI perkara perdata register Nomor 310 PK/Pdt/2013 tanggal 16 April 2014, sengketa antara “Sipil Vs. Lembaga Negera”, dimana pada mulanya pihak sipil selaku Penggugat dimenangkan oleh pengadilan hingga tingkat kasasi, namun pihak Lembaga Negara mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK), dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

“Bahwa alasan peninjauan kembali tentang adanya kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut:

“Bahwa Penggugat mendalilkan kejadiannya hutang piutang pada tahun 1964/1965, sedangkan gugatan diajukan pada tanggal 28 Januari 2007 sehingga sudah 43 tahun;

“Bahwa berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ditentukan hak tagih mengenai hutang atas beban negara / daerah kedaluarsa setelah 5 (lima) tahun sejak hutang tersebut jatuh tempo, dengan demikian hak tagih atas piutang Penggugat kepada Tergugat telah kedaluarsa, oleh karena itu gugatan Penggugat harus ditolak;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali dan membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1479 K/Pdt/2010, tanggal 28 Februari 2011 serta Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;

M E N G A D I L I :

- Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali tersebut;

- Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1479 K/Pdt/2010, tanggal 28 Februari 2011;

MENGADILI KEMBALI:

Dalam Eksepsi:

- Menolak eksepsi Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV untuk seluruhnya;

Dalam Pokok Perkara:

- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.