Mengembalikan secara Penuh Kerugian Korban, Bukanlah Alasan Pemaaf dari Kesalahan Pidana
Tidak Memulihkan Kerugian Korban, sang Pelaku akan Dihukum
Lebih Berat Lagi
Question: Si pelaku yang telah menipu dan membawa lari uang kami, saat kami bekuk, berjanji dan sepakat akan mengembalikan uang kami secara penuh. Namun hingga kini belum juga dikembalikan seutuhnya, masih menyisakan banyak uang kami yang belum ia kembalikan meski sudah lewat waktu dari yang disepakati. Apakah pelakunya bisa kami laporkan akan diproses secara pidana?
Brief Answer: Menjanjikan akan mengembalikan uang milik korban
penipuan kepada sang korban, namun tidak kunjung direalisasikan oleh sang
pelaku penipuan, akan menjadi “keadaan yang memberatkan kesalahan pihak
Terdakwa” saat Majelis Hakim di pengadilan membuat pertimbangan hukum, sehingga
amar vonis hukumannya berpotensi untuk diperberat. Sebaliknya, mengembalikan
kerugian korban juga bukanlah alasan yang dapat menghapus kesalahan pidana,
namun sekadar sebagai “keadaan yang meringankan kesalahan Terdakwa” sehingga
dapat dijatuhi hukuman pidana yang relatif lebih ringan.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman,
terdapat ilustrasi konkret dimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan
lewat contoh kasus sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Bulukumba perkara
pidana penipuan register Nomor 150/Pid.B/2013/PN.BLK tanggal 18 Juni 2014, dimana
terhadap dakwaan Penuntut Umum, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar
putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa selanjutnya
Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah perbuatan Terdakwa mengandung
unsur-unsur sebagaimana yang dimaksud dalam Dakwaan alternatif kesatu tersebut
yaitu melanggar Pasal 378 KUHPidana yang mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. Barang siapa;
2. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu
muslihat ataupun rangkaian kebohongan;
3. Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya
atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang;
“Untuk jelasnya Majelis Hakim
akan menguraikan unsur-unsur tersebut sebagai berikut, sekaligus
mempertimbangkan segala hal yang berkaitan dengan alibi atau segala sesuatu
yang termuat dalam nota pembelaan Terdakwa:
“Menimbang, ... sehingga maksud
dari si pelaku itu tidaklah boleh ditafsirkan lain kecuali dengan maksud
menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, sebagai unsur
sengaja maka si pelaku menyadari / menghendaki suatu keuntungan untuk dirinya
sendiri / orang lain, ia menyadari pula akan ketidak berhaknya atas suatu
keuntungan tersebut.
“Bahwa Yang dimaksud dengan
kesengajaan menurut memori penjelasan (Memorie van Toelichting) adalah:
“menghendaki dan menginsyafi” terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya
artinya seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja harus mengendaki
serta menginsyafi tindakan tersebut dan atau akibatnya, dengan perkataan lain kesengajaan
ditujukan terhadap suatu tindakan.
“Adapun yang dimaksud: Nama
palsu adalah nama yang bukan nama pelaku sendiri; Sedangkan keadaan palsu
adalah menyebutkan dirinya berada dalam suatu keadaan yang tidak benar yang
mengakibatkan korban percaya kepadanya. Dan karena percaya, lalu korban
memberikan barang atau membuat hutang atau menghapuskan piutang; Dikatakan dengan
akal dan tipu muslihat adalah suatu perbuatan yang bukan berupa
kata-kata yang membohongi, sehingga seseorang yang berpikiran normal dapat
tertipu karenanya; Adapun pengertian karangan perkataan bohong adalah
berupa adanya beberapa kata-kata yang tidak benar yang tersusun sedemikian rupa
seakan-akan benar;
“Menimbang, bahwa apabila
pengertian tersebut dihubungkan dengan fakta yang terungkap di depan
persidangan keterangan para saksi, serta barang bukti yang didukung oleh keterangan
Terdakwa. Terungkap bahwa benar pada bulan Maret tahun 2009, saksi Sudirman
Bin H.Caring dan saksi H. Harmin, S. Bin Sanre mengetahui adanya penerimaan
Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tanpa seleksi atau tanpa tes berdasarkan
pemberitahuan dari Terdakwa yang datang ke rumah saksi H. Harmin, S. Bin Sanre,
yang kemudian juga diketahui oleh saksi korban Jumase Bin H.Caring, saksi Sumrah
Binti H. Caring dan Basri Bin H. Zainuddin, kemudian karena percaya kepada Terdakwa,
maka para saksi tersebut, termasuk saksi Saenal Bin Basri yang mewakili Basri Bin
H. Zainuddin kemudian menyerahkan sejumlah uang kepada terdakwa dalam beberapa
tahapan.
“Bahwa uang yang telah diterima
dari para saksi dikirimkan Terdakwa kepada pihak yang ada di Jakarta yaitu I
Nyoman Arse, SH.,MH., yang mengaku sebagai Direktur Pengadaan CPNS Badan
Kepegawaian Negara Pusat Jakarta, melalui nomor rekening atas nama Winarti, Bambang.
SR dan Sulastri yang walaupun sebelumnya Terdakwa tidak pernah mengenal I Nyoman
Arse ataupun Winarti, Bambang. SR dan Sulastri. Bahwa sampai pada saat ini
ternyata saksi korban Jumase Bin H.Caring, saksi Sudirman Bin H.Caring, saksi
Sumrah Binti H. Caring dan Basri Bin H zainuddin tidak menjadi Pegawai
Negeri Sipil atau CPNS sebagaimana telah dijanjikan oleh Terdakwa dan Terdakwa
tidak pernah mengembalikan uang para saksi tersebut, walaupun sebelumnya pernah
berjanji untuk mengembalikan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
fakta hukum tersebut, menurut Majelis Hakim, Terdakwa telah memberikan
rangkaian kata-kata, gambaran khususnya kepada saksi korban Jumase Bin
H.Caring, saksi Sudirman Bin H.Caring, saksi Sumrah Binti H. Caring dan Basri
Bin H zainuddin bahwa Terdakwa mampu meluluskan para saksi tersebut menjadi
seorang pegawai negeri Sipil atau CPNS hanya dengan membayar sejumlah uang.
“Menimbang, bahwa terhadap hal
tersebut Majelis Hakim dengan berpedoman atau berdasarkan UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1961 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK
KEPEGAWAIAN Khususnya yang termuat dalam BAB II. Tentang PENERIMAAN,
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PEGAWAI. Maka telah secara jelas tersurat bahwa
dalam penerimaan dan atau pengadaan pegawai negeri sipil, terdapat proses
seleksi yang ketat dan tidak semata-mata berdasarkan penyerahan sejumlah uang.
Sebagaimana telah ditegaskan pula oleh saksi TAUFIK RAMLI, S.STP.,MM BIN H.
RAMLI sebagai Kepala Sub Bidang Pengadaan PNS pada Kantor Badan Kepegawaian
Daerah (BKD) Kab. Bulukumba;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
hal tersebut Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Terdakwa hanyalah memberikan
gambaran-gambaran yang keliru dan bertentangan dengan kenyataan yang
membuat orang lain (dalam hal ini para saksi korban dan saksi yang lainnya)
menerima kenyataan tersebut. Padahal gambaran-gambaran itu belum terbukti benar
adanya (hanya merupakan rangkaian kebohongan). Hal ini sesuai pula dengan
HR 8 Maret 1926, menyatakan: “terdapat suatu rangkaian kebohongan, jika antara
berbagai kebohongan itu terdapat suatu hubungan yang sedemikan rupa dan
kebohongan yang satu melengkapi kebohongan yang lain sehingga mereka secara
timbal balik menimbulkan suatu gambaran palsu seolah-olah merupakan suatu
kebenaran”;
“Bahwa tindakan terdakwa
tersebut menurut Majelis Hakim dilakukan secara melawan hukum atau secara
wederrechtelijk yang menurut Simons (Lihat buku Satochid Kartanegara Hukum
Pidana, Kumpulan Kuliah Bagian Satu) menerangkan melawan hukum adalah “perbuatan
yang bertentangan dengan hukum pada umumnya baik tertulis maupun tidak tertulis”.
Begitupula Van Hammel, T.J Noyon dan Hoge Raad berarti bertentangan dengan hak pribadi
orang lain atau perbuatan tanpa hak dan wewenang, karena Terdakwa dalam keterangannya
sendiri menyatakan sebagai salah satu kasubag di Dinas Pertanian, Terdakwa tidak
mempunyai tugas atau kewenangan berkaitan dengan penerimaan CPNS, tetapi
seolah-olah Terdakwa telah yakin akan kebenarannya padahal
sebelumnya Terdakwa tidak pernah mengenal ataupun melakukan cross cek terhadap
kebenaran informasi yang menurut Terdakwa bersumber dari I Nyoman Arse ataupun
Winarti, Bambang. SR dan atau Sulastri. Yang menurut Terdakwa memiliki
kewenangan meluluskan seseorang menjadi pegawai negeri sipil dan dalam kenyataannya
mereka yang disebutkan oleh Terdakwa tidak memiliki kewenangan tersebut.
“Fakta hukum tersebut menurut
Majelis Hakim, sekali lagi hanyalah bersifaat rekaan ataupun rangkaian
kebohongan Terdakwa agar para saksi yakin dan menyerahkan sejumlah uang
kepada Terdakwa.
“Menimbang, bahwa berdasarkan
hal tersebut Majelis hakim berpendapat bahwa unsur ‘Dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai
nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan’
telah terpenuhi;
Ad. 3. Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya
atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang;
“Bahwa pengertian menggerakkan
di sini adalah melakukan pengaruh dengan kelicikan berupa nama palsu
atau keadaan palsu, tipu muslihat, atau karangan perkataan bohong, sehingga
seseorang terpengaruh dan menuruti berbuat sesuatu yaitu menyerahkan
barang, membuat hutang atau menghapuskan piutang;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
fakta fakta yang terungkap di sidang sebagaimana telah terurai pada pembahasan
unsur ke-1 dan ke-2, yang menurut Majelis Hakim tidak dapat dipisahkan dan
merupakan satu kesatuan dengan unsur ini, maka telah ternyata bahwa akibat perkataan-perkataan
(rangkaian) kebohongan yang telah terbukti pada pembuktian unsur kedua tersebut
di atas, sehingga menggerakan saksi korban Jumase Bin H.Caring, saksi Sudirman
Bin H.Caring, saksi Sumrah Binti H. Caring dan saksi Saenal Bin Basri yang
mewakili Basri Bin H. Zainuddin untuk menyerahkan sejumlah uang kepada terdakwa
dalam beberapa tahapan dengan total yang telah diserahkan sejumlah
Rp.160.000.000,- (seratus enam puluh juta rupiah).
“Menimbang, bahwa dengan
demikian unsur ke-3 ini pun, menurut Majelis Hakim telah terbukti secara sah
dan meyakinkan;
“Menimbang, bahwa oleh karena
unsur–unsur dari Dakwaan Penuntut Umum telah terpenuhi, maka dakwaan Penuntut
Umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bahwa Terdakwa
telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut
Pasal 378 KUHP;
“Menimbang, bahwa dari dakwaan
Pasal 378 KUHP yang telah dinyatakan terbukti tersebut diatas, Majelis Hakim
selanjutnya akan mempertimbangkan tanggapan terdakwa terkait pelanggaran
terhadap Pasal 76 KUHP tentang larangan pengajuan perkara kedua kalinya dalam perbuatan
/ perkara yang telah diputus oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,
dengan alasan yang sama, subyek dan obyek yang sama dan pengadilan yang sama
(Nebis In Idem), hal ini juga diatur dalam Pasal 18 ayat (5) UU N0.39 Tahun
1999 tentang Hak Azasi Manusia (HAM), bahwa para saksi korban dalam dakwaan
perkara ini adalah bagian dari para saksi korban yang telah melaporkan kejadian
yang sama kepada penyidik Kepolisian dalam kasus pengangkatan CPNS tahun 2009
dimana perkaranya telah berkekuatan hukum tetap, bahwa prinsip yang
diterapkan dalam hukum pidana yang diutamakan adalah perbuatan, bukan dilihat orang
per orang, bahwa fakta-fakta dan alat bukti yang dijadikan dasar tuntutan jaksa
telah dipertanggungjawabkan dan diputus oleh pengadilan yang sama pada tahun
2010;
“Menimbang, bahwa Pasal 76 KUHP
menyebutkan bahwa:
(1) Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak
boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap
dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim
Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang
mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.
(2) Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka
terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan
penuntutan dalam hal:
1. putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;
2. putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah
diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.
“Menimbang, bahwa atas alasan
dari terdakwa dan uraian Pasal 76 KUHP tersebut diatas, Majelis Hakim
berpendapat bahwa perlu diuraikan terlebih dahulu perbandingan antara waktu
dan tempat serta cara peristiwa pidana yang didakwakan tersebut dilakukan oleh terdakwa
dalam perkara pertama yang telah berkekuatan hukum tetap yang hukumannya telah
dijalani oleh terdakwa saat ini, dengan peristiwa pidana yang didakwakan dalam
perkara kedua ini;
“Menimbang, bahwa dalam
perkara pidana yang pertama telah diperoleh fakta-fakta sebagaimana dikutip
dalam putusan tingkat pertama dalam registrasi perkara No. 188/PID.B/2009/PN.BLK
sebagai berikut:
- Bahwa, benar pada tahun 2009 ini, Saksi Erniwati Binti Muh. Yunus
mengetahui ada penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) berdasarkan
pemberitahuan dari Terdakwa yang datang ke rumah Saksi Erniwati Binti Muh.
Yunus di Jalan Labu No. 01 Kec. Ujung Bulu Kab. Bulukumba, yang kemudian saksi sering
dibujuk oleh Terdakwa untuk menyerahkan sejumlah uang sejumlah
Rp.25.000.000,- (Dua puluh lima juta rupiah) untuk dapat diangkat menjadi CPNS;
- Bahwa, benar kemudian karena percaya kepada Terdakwa, maka saksi
menyerahkan sejumlah uang kepada terdakwa dalam beberapa tahapan dengan total
yang telah diserahkan sejumlah Rp.25.000.000,- (Dua puluh lima juta rupiah)
- Bahwa, benar kemudian Terdakwa memberitahukan kepada saksi Erniwati
Binti Muh. Yunus. Saksi Erniwati Binti Muh. Yunus telah lulus dan Surat
Keputusannya (SK) dipegang oleh Terdakwa dan kemudian Terdakwa menyuruh saksi
Erniwati Binti Muh. Yunus untuk membayar lunas kepada Terdakwa dan kemudian
saksi Erniwati Binti Muh. Yunus menyatakan ingin melapor ke Bupati atas
kelulusannya, tetapi Terdakwa melarang saksi untuk melapor;
- Bahwa, benar Terdakwa pernah datang menemui saksi Dra Hj. Andi Nurlaela
Binti H. A. Muh. Ali dan menyatakan ada telpon dari Jakarta bahwa ada
penambahan CPNS pada Bulan April 2009 dan dilakukan tanpa melalui tes dan
kemudian Terdakwa menyatakan kepada saksi agar membayar dulu Rp.5.000.000,-
(lima juta rupiah);
- Bahwa, benar kemudian saksi Dra Hj. Andi Nurlaela Binti H. A. Muh. Ali
memberikan uang kepada Terdakwa sebanyak Tiga kali pertama Rp.5.000.000,-, ke
dua Rp.5.000.000 dan ketiga Rp.20.000.000,-
- Bahwa, benar yang meyakinkan saksi Dra Hj. Andi Nurlaela Binti
H. A. Muh. Ali, karena setiap ke rumah saksi, terdakwa selalu melakukan telepon
dengan orang yang katanya ada di Jakarta dan mampu meluluskan saksi;
- Bahwa, benar saksi Rosmala Dewi Binti Nurdin Sila telah menyerahkan sejumlah
uang Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) kepada Terdakwa karena dijanjikan
sebagai CPNS dan Terdakwa telah memperlihatkan kepada saksi NRPT Kelurahan
Tanah Kongkong, Kecamatan Ujung Bulu, Kabupaten Bulukumba untuk menawarkan hal
tersebut dan saat itu pula terdakwa bertemu dengan saksi Sudirman Bin H.Caring
dirumah saksi H. Harmin, S. Bin Sanre lalu terdakwa juga menawarkan kepada
saksi Sudirman Bin H.Caring untuk menjadi CPNS tanpa melalui seleksi atau tanpa
tes dengan syarat saksi harus menyiapkan uang sejumlah Rp. 40.000.000,- (empat
puluh juta rupiah) dimana uang tersebut akan digunakan untuk pengurusan menjadi
CPNS.
- Bahwa terdakwa meminta agar informasi tersebut juga bisa disampaikan
kepada orang lain atau keluarga saksi Sudirman Bin H.Caring, sampai kemudian
saksi korban Jumase Bin H.Caring, saksi Sumrah Binti H. Caring dan saksi Saenal
Bin Basri yang mewakili Basri Bin H. Zainuddin juga mengetahui penawaran tersebut;
- Bahwa terdakwa selanjutnya meminta pembayaran pertama sebanyak Rp. 5.000.000,-
(lima juta rupiah) sebagai uang pengurusan awal, dan nanti setelah SK CPNS
diterima oleh Saksi baru sisa pembayarannya bisa dilakukan, selanjutnya
terdakwa pernah meminta uang untuk pengurusan ke Jakarta dan juga terdakwa
pernah meminta uang kembali untuk pengambilan SK CPNS di Jakarta.
- Bahwa sesuai dengan bukti surat berupa kwitansi yang terlampir dalam
berkas perkara, pada bulan Maret 2009, terdakwa telah menerima sejumlah uang
dari saksi korban Jumase Bin H.Caring, saksi Sudirman Bin H.Caring dan saksi
Saenal Bin Basri yang mewakili Basri Bin H. Zainuddin;
- Bahwa sesuai dengan bukti surat berupa kwitansi yang terlampir dalam
berkas perkara, pada bulan April 2009, terdakwa kembali menerima sejumlah uang
dari saksi korban Jumase Bin H.Caring, saksi Sumrah Binti H. Caring dan juga
titipan uang yang diserahkan melalui saksi H. Harmin, S. Bin Sanre;
- Bahwa uang yang telah terdakwa terima tersebut dengan nilai total
sejumlah Rp. 160.000.000,- (seratus enam puluh juta rupiah) tersebut telah
dikirim ke rekening atas nama WINARTI, BAMBANG SR dan SULASTRI;
- Bahwa pada saat terdakwa di Jakarta dan bertemu dengan I NYOMAN ARSE SH,MH.,
terdakwa baru mengetahui bahwa uang yang telah terdakwa kirimkan tidak diterima
oleh I NYOMAN ARSE SH.,MH, dan daftar nama yang terdakwa kirimkan juga tidak
ada dalam daftar nama-nama CPNS yang diurus oleh terdakwa sehingga SK CPNS dari
nama yang terdakwa daftarkan tidak keluar;
- Bahwa para saksi telah meminta agar uangnya dikembalikan namun terdakwa
belum dapat menyanggupi sehingga pada 26 Juli 2012, saksi saksi korban Jumase Bin
H.Caring, bersama saksi Sudirman Bin H.Caring, saksi Sumrah Binti H. Caring dan
saksi Saenal Bin Basri yang mewakili Ayah kandungnya yaitu Basri Bin H.
Zainuddin membuat kesepakatan tertulis dengan terdakwa yang isinya adalah bahwa
terdakwa HASAN BASRI, S.Sos., Bin MUH. SULTAN sanggup untuk mengembalikan uang
milik saksi pada hari Senin tanggal 03 September 2012, tetapi sampai
sekarang uang milik para saksi tersebut belum juga dikembalikan oleh terdakwa
HASAN BASRI, S.Sos., Bin MUH. SULTAN;
“Menimbang, bahwa dari dua
fakta peristiwa pidana tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat bahwa telah diperoleh
bukti adanya dua peristiwa pidana sejenis yaitu Penipuan yang masing-masing
berkaitan dengan materi yang sama yaitu mengenai penerimaan CPNS tanpa
seleksi atau tanpa tes, dengan pelaku yang sama yaitu terdakwa dan dalam
kurun waktu yang sama yaitu pada bulan Maret dan April 2009, namun dengan
tempat yang berbeda dan dengan korban yang berbeda pula;
“Menimbang, bahwa terhadap
keadaan seperti tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat bahwa dalam KUHP
telah diatur suatu kaidah hukum yang mengatur jika terjadi keadaan sebagaimana
tersebut diatas yang merupakan suatu bentuk perbarengan tindak pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa “Jika diantara beberapa
perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan, ada hubungannya sedemikian
rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut”;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
kaidah hukum tersebut, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa pada pokoknya, Terdakwa
dalam perkara ini kembali terbukti melakukan perbuatan yang juga merupakan
kejahatan yang ternyata masih mempunyai hubungan dengan perbuatan kejahatan
sebelumnya yang telah dinyatakan terbukti dalam putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan
berlanjut, bukan merupakan pengulangan atau pelanggaran atas azas hukum nebis
in idem;
“Menimbang, bahwa selain
pertimbangan mengenai kaidah hukum tersebut diatas, Majelis Hakim juga
berpendapat bahwa dengan memperhatikan kepentingan para saksi korban terhadap
harta bendanya maka dipandang perlu untuk memberikan ketegasan dan kepastian
hukum bagi para saksi korban mengenai telah adanya perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh terdakwa yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan
hak secara keperdataan terhadap harta benda para saksi korban tersebut;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
uraian tersebut diatas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa pada pokoknya eksepsi
yang diajukan oleh terdakwa tidak terbukti dan tidak memenuhi ketentuan hukum
yang berlaku, karena itu materi eksepsi terdakwa tersebut patut ditolak untuk
seluruhnya;
“Menimbang, bahwa sebelum
sampai pada kesimpulan dan pendapat tersebut diatas, dalam Musyawarah Majelis
Hakim terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) mengenai penafsiran
azas hukum Nebis in idem dan hak keperdataan para saksi korban. Bahwa Hakim Anggota
II, BAMBANG SUPRIYONO, SH., berpendapat bahwa rumusan Pasal 76 ayat (1) KUHP
yang dikenal dalam istilah azas hukum nebis in idem, mengandung syarat-syarat
yang pada pokoknya secara kumulatif telah terpenuhi untuk diterapkan dalam
perkara ini berdasarkan uraian sebagai berikut:
1. Bahwa perbuatan yang didakwakan kedua kalinya tersebut, sama dengan
peristiwa pidana yang sudah pernah didakwakan yaitu pidana yang sejenis
mengenai penipuan;
2. Bahwa pelakunya sama yaitu terdakwa dan atas perbuatan / peristiwa
pidana yang sama dan sejenis yaitu mengenai penipuan;
3. Bahwa korban yang diajukan sama, atau ada tambahan yang belum pernah diajukan
dalam perkara tetapi tidak seharusnya menjadi dasar untuk dua kali penuntutan
atas hal yang sama atau sudah bersifat pengulangan;
4. Bahwa obyeknya sama atau satu yaitu mengenai “penerimaan uang
dalam rangka penerimaan cpns tanpa seleksi atau tanpa tes”;
5. Bahwa terhadap peristiwa pidana tersebut telah ada putusan
Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap;
“Bahwa uraian tersebut diatas,
sejalan dengan kaidah hukum yang terkandung dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung
RI No 2644 K/Pid.Sus/ 2010 tanggal 27 Januari 2011, yang menguatkan Putusan
Pengadilan Tinggi Semarang No.185/Pid/2010/PT.Smg. tanggal 20 Agustus 2010
mengenai terpenuhinya pelanggaran atas azas Nebis In Idem dalam perkara
tersebut;
“Menimbang, bahwa selain
pertimbangan mengenai azas hukum tersebut diatas, Hakim Anggota II juga
berpendapat bahwa terhadap kepentingan para saksi korban terhadap harta bendanya
maka cukup dengan telah adanya pengakuan dari terdakwa, maka dapat
ditafsirkan telah adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa
yang selanjutnya dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan hak secara keperdataan
terhadap harta benda para saksi korban tersebut;
“Menimbang, bahwa atas
pertimbangan tersebut diatas, Hakim Anggota II berpendapat bahwa sepatutnya dalam
perkara ini diputuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Menyatakan penuntutan dan pemeriksaan perkara pidana atas nama terdakwa
HASAN BASRI S.Sos BIN MUH. SULTAN, gugur demi hukum karena nebis in idem;
2. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
3. Memerintahkan agar barang bukti dikembalikan kepada yang berhak
sebagaimana asal penyitaannya;
4. Membebankan biaya perkara kepada negara;
“Menimbang, bahwa meskipun
Majelis Hakim telah berupaya secara bersungguh-sungguh untuk mencapai
permufakatan dalam perkara ini, namun hal tersebut tidak tercapai, oleh karena
itu, berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, maka dengan memperhatikan komposisi suara terbanyak dalam Majelis
Hakim maka terhadap pokok perkara dalam perkara ini ditetapkan bahwa terdakwa
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
Penipuan sebagai perbuatan berlanjut;
“Menimbang, bahwa oleh karena
perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah menurut hukum dan meyakinkan, maka
kepadanya harus dinyatakan bersalah dan karenanya itu sudah sepantasnya pula
dijatuhi pidana yang setimpal dengan kesalahannya, karena sepanjang pemeriksaan
di persidangan pada waktu terdakwa melakukan perbuatan tersebut dalam keadaan sehat
jasmani dan rohani serta tidak diketemukan adanya alasan pemaaf dan pembenar
yang dapat membebaskan dan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum
atas perbuatan dan kesalahannya.
“Menimbang, bahwa Pidana yang
dijatuhkan Majelis Hakim bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau
pengimbalan kepada orang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai
tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat diantaranya yaitu adanya pengaruh pencegahan
(deterrent effect), pengaruh moral atau bersifat pendidikan sosial dari pidana
(the moral or social-pedagogical influence of punishment) dan pengaruh untuk
mendorong kebiasaan perbuatan patuh pada hukum;
“Menimbang, bahwa dengan
mengacu kepada hal-hal tersebut dan berdasarkan pasal 193 ayat 1 KUHAP terhadap
diri terdakwa harus dijatuhi pidana dan terhadap lamanya pemidanaan, Majelis
Hakim tidak sependapat dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan oleh karena pada
pokoknya tindak pidana dalam perkara ini merupakan perbuatan berlanjut dari
tindak pidana sebelumnya, yang oleh putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
telah dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan oleh karena itu pemidanaan
dalam perkara ini lebih bersifat sebagai pemberatan dari hukuman yang
pernah dijatuhkan kepada terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2)
maka patut dipertimbangan penjatuhan pidana berupa pidana penjara yang
bersifat penambahan sejumlah sepertiga dari putusan terdahulu;
“Menimbang, bahwa sebelum Majelis
hakim menjatuhkan pidana, maka perlu pula dipertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan yang meringankan bagi diri Terdakwa sebagaimana diuraikan di
bawah ini:
Hal-hal yang memberatkan:
- Perbuatan Terdakwa dapat meresahkan masyarakat karena dalam bertindak mengatas-namakan
institusi pemerintahan;
- Perbuatan Terdakwa merugikan secara ekonomi Para Saksi korban,
walaupun sebelumnya pernah berjanji untuk mengembalikan kerugian yang dialami para
saksi tersebut;
Hal-hal yang meringankan:
- Terdakwa tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah;
“M E N G A D I L I :
1 Menyatakan Terdakwa HASAN BASRI. S. Sos BIN MUHAMMAD SULTAN telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PENIPUAN
SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT”;
2 Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa HASAN BASRI. S. Sos BIN MUHAMMAD SULTAN
oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan;
3 Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa, diperhitungkan
dan dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.