ADIL Saja Tidak Cukup, namun ADIL serta BERADAB
Pentingnya Praktik Latihan SELF-CONTROL dalam Rangka menjadi Manusia yang BERADAB
Salah satu sila dalam Pancasila, ialah “Kemanusiaan yang adil dan beradab”—bukan hanya sekadar “adil”, namun “adil dan/serta beradab”. Lantas, apa makna “beradab”? Untuk membahasnya secara sederhana, ilustrasi konkret berikut dapat cukup mewakili. Kita sepakat bahwa adalah cukup “adil” memiskinkan koruptor. Namun, persoalannya ialah, bagaimana caranya memiskinkan koruptor? Itulah, pentingnya makna “beradab”, cara-cara menegakkan “ke-adil-an” haruslah dengan cara yang “etis”, dimana “etis” bermakna “tidak tercela oleh para bijaksanawan”. Dengan demikian, cara-cara yang “tidak etis” tidaklah dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang “beradab”. Baru-baru ini saat ulasan ini disusun, berbagai pegawai lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diadili oleh pengadilan karena terkait kasus pemerasan oleh mereka terhadap para tahanan di rumah tahanan KPK.
Pemerasan oleh pegawai ataupun
petinggi KPK terhadap para tersangka pelaku Tipikor (tindak pidana korupsi),
sedikit banyak turut berkontribusi memiskinkan sang koruptor—terutama ketika
sang tersangka kemudian terbukti benar melakukan korupsi sebagaimana amar
putusan pengadilan khusus Tipikor nantinya—sehingga seakan menjadi “alasan
pembenar” bagi para pegawai KPK yang ironisnya justru melakukan penyalah-gunaan
kekuasaan terhadap para tahanan, memberantas korupsi namun disaat bersamaan “nyambi
korupsi”. Meski demikian, cara-caranya tergolong tidak etis, sehingga secara
langsung dikategorikan sebagai tidak beradab. Itulah sebabnya, adil yang kurang
beradab tetaplah tidak beradab. Keadilan, harus ditegakkan dengan cara-cara yang
beradab.
Kini, pertanyaan yang patut
kita tanyakan ialah, bagaimana caranya, agar seseorang atau siapapun itu mampu
bersikap “adil” dan disaat bersamaan bersifat “beradab”? Bila konteksnya ialah masyarakat
sipil, maka kita perlu berlatih praktik pengendalian diri (self-control) untuk tidak meng-korupsi hak-hak sesama sipil,
seperti tidak meng-korupsi iuran yang dibayarkan oleh warga setiap bulannya,
tidak merampas hak-hak pejalan kaki, tidak merampas bantuan sosial yang
semestinya untuk kalangan tidak mampu, juga tidak mengambil subsidi pemerintah
yang terbatas sifatnya, juga sikap-sikap yang penuh tanggung-jawab. Sementara
itu bila konteksnya ialah penyelenggara negara, maka perlu berlatih praktik “self control” berupa menahan diri untuk
tidak menyalah-gunakan wewenang maupun jabatan dan disaat bersamaan menjiwai
peran serta tanggung-jawabnya eslaku “civil
servant”.
Niat boleh baik, namun cara-caranya tetap harus “beradab”.
Adapun Aparatur Sipil Negara, perlu mampu menahan diri dari godaan untuk
menyalah-gunakan kekuasaan. Salah satunya dapat dicerminkan lewat khotbah Sang
Buddha dalam “Aṅguttara
Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi
oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun
2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan
kutipan sebagai berikut:
5 (5) Berdarah Murni (1)
“Para bhikkhu, dengan memiliki
enam faktor, seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak
menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai
satu faktor kerajaan. Apakah enam ini? Di sini, seekor kuda yang baik yang berdarah
murni milik seorang raja dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar
menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar
menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan
memiliki keindahan. Dengan memiliki keenam faktor ini, seekor kuda kerajaan
yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja,
perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.
“Demikian pula, dengan memiliki
enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima
keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa
yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? [283] Di sini, seorang bhikkhu dengan
sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan
sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan
sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan dengan sabar menahankan fenomena-fenomena
pikiran. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima
pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak
menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”
~0~
6 (6) Berdarah Murni (2)
“Para bhikkhu, dengan memiliki
enam faktor, seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak
menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai
satu faktor kerajaan. Apakah enam ini? Di sini, seekor kuda yang baik yang berdarah
murni milik seorang raja dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar
menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar
menahankan rasarasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan
memiliki kekuatan. Dengan memiliki keenam faktor ini, seekor kuda
kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja,
perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.
“Demikian pula, dengan memiliki
enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima
keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa
yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? Di sini, seorang bhikkhu dengan
sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan
sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan
sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan dengan sabar menahankan
fenomena-fenomena pikiran. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang
bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak
menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada
taranya di dunia.”
~0~
7 (7) Berdarah Murni (3)
“Para bhikkhu, dengan memiliki
enam faktor, seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak
menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai
satu faktor kerajaan. Apakah enam ini? Di sini, seekor kuda yang baik yang berdarah
murni milik seorang raja dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar
menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar
menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan
memiliki kecepatan. [284] Dengan memiliki keenam faktor ini, seekor
kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang
raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.
“Demikian pula, dengan memiliki
enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima
keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa
yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? Di sini, seorang bhikkhu dengan
sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan
sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan
sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan dengan sabar menahankan
fenomena-fenomena pikiran. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang
bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak
menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada
taranya di dunia.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.