JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Makna Kemanusiaan yang Adil dan BERADAB

ADIL Saja Tidak Cukup, namun ADIL serta BERADAB

Pentingnya Praktik Latihan SELF-CONTROL dalam Rangka menjadi Manusia yang BERADAB

Salah satu sila dalam Pancasila, ialah “Kemanusiaan yang adil dan beradab”—bukan hanya sekadar “adil”, namun “adil dan/serta beradab”. Lantas, apa makna “beradab”? Untuk membahasnya secara sederhana, ilustrasi konkret berikut dapat cukup mewakili. Kita sepakat bahwa adalah cukup “adil” memiskinkan koruptor. Namun, persoalannya ialah, bagaimana caranya memiskinkan koruptor? Itulah, pentingnya makna “beradab”, cara-cara menegakkan “ke-adil-an” haruslah dengan cara yang “etis”, dimana “etis” bermakna “tidak tercela oleh para bijaksanawan”. Dengan demikian, cara-cara yang “tidak etis” tidaklah dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang “beradab”. Baru-baru ini saat ulasan ini disusun, berbagai pegawai lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diadili oleh pengadilan karena terkait kasus pemerasan oleh mereka terhadap para tahanan di rumah tahanan KPK.

Pemerasan oleh pegawai ataupun petinggi KPK terhadap para tersangka pelaku Tipikor (tindak pidana korupsi), sedikit banyak turut berkontribusi memiskinkan sang koruptor—terutama ketika sang tersangka kemudian terbukti benar melakukan korupsi sebagaimana amar putusan pengadilan khusus Tipikor nantinya—sehingga seakan menjadi “alasan pembenar” bagi para pegawai KPK yang ironisnya justru melakukan penyalah-gunaan kekuasaan terhadap para tahanan, memberantas korupsi namun disaat bersamaan “nyambi korupsi”. Meski demikian, cara-caranya tergolong tidak etis, sehingga secara langsung dikategorikan sebagai tidak beradab. Itulah sebabnya, adil yang kurang beradab tetaplah tidak beradab. Keadilan, harus ditegakkan dengan cara-cara yang beradab.

Kini, pertanyaan yang patut kita tanyakan ialah, bagaimana caranya, agar seseorang atau siapapun itu mampu bersikap “adil” dan disaat bersamaan bersifat “beradab”? Bila konteksnya ialah masyarakat sipil, maka kita perlu berlatih praktik pengendalian diri (self-control) untuk tidak meng-korupsi hak-hak sesama sipil, seperti tidak meng-korupsi iuran yang dibayarkan oleh warga setiap bulannya, tidak merampas hak-hak pejalan kaki, tidak merampas bantuan sosial yang semestinya untuk kalangan tidak mampu, juga tidak mengambil subsidi pemerintah yang terbatas sifatnya, juga sikap-sikap yang penuh tanggung-jawab. Sementara itu bila konteksnya ialah penyelenggara negara, maka perlu berlatih praktik “self control” berupa menahan diri untuk tidak menyalah-gunakan wewenang maupun jabatan dan disaat bersamaan menjiwai peran serta tanggung-jawabnya eslaku “civil servant”.

Niat boleh baik, namun cara-caranya tetap harus “beradab”. Adapun Aparatur Sipil Negara, perlu mampu menahan diri dari godaan untuk menyalah-gunakan kekuasaan. Salah satunya dapat dicerminkan lewat khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:

5 (5) Berdarah Murni (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam faktor, seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah enam ini? Di sini, seekor kuda yang baik yang berdarah murni milik seorang raja dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan memiliki keindahan. Dengan memiliki keenam faktor ini, seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? [283] Di sini, seorang bhikkhu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan dengan sabar menahankan fenomena-fenomena pikiran. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

~0~

6 (6) Berdarah Murni (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam faktor, seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah enam ini? Di sini, seekor kuda yang baik yang berdarah murni milik seorang raja dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasarasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan memiliki kekuatan. Dengan memiliki keenam faktor ini, seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? Di sini, seorang bhikkhu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan dengan sabar menahankan fenomena-fenomena pikiran. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

~0~

7 (7) Berdarah Murni (3)

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam faktor, seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah enam ini? Di sini, seekor kuda yang baik yang berdarah murni milik seorang raja dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan memiliki kecepatan. [284] Dengan memiliki keenam faktor ini, seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? Di sini, seorang bhikkhu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan dengan sabar menahankan fenomena-fenomena pikiran. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.