Moralitas Dogma Agama Bersifat Rigid dan Ajeg, sementara Moralitas Norma Hukum Senantiasa Berdialektika dan Berkembang Lewat Diskursus
Question: Apakah hukum harus dipisahkan dari anasir moralitas (tipe negara sekular) atau sebaliknya, moralitas harus dinormakan ke dalam norma hukum (negara agama)? Bukankah moralitas basisnya adalah norma sosial? Bagaimana juga dengan moralitas keagamaan, apakah boleh dicampur-adukkan kedalam hukum?
Brief Answer: Antara norma hukum dan dogma keagamaan, masing-masing
memiliki perpektif moralitasnya sendiri, sehingga tidak dapat dipertukarkan
ataupun dipersamakan. Hukum adalah hukum, agama adalah agama. Ketika norma
hukum dikeruhkan oleh dogma-dogma keagamaan, maka ilmu hukum menjadi stagnan
dan terkunci, tanpa lagi dapat berdialektika serta tertutup dari diskursus
publik yang manjemuk sifatnya dari segi etnik maupun ras dan agama. Dalam perspektif
norma hukum, segenap lapisan masyarakat, tanpa pandang bulu, adalah merupakan “sederajat”
(equality before the law) serta
merupakan “stakeholders” (pemangku
kepentingan). Berbeda dengan dogma keagamaan, yang dinilai hanya milik Tuhan.
PEMBAHASAN:
Kita ambil contoh Agama Islam,
dimana “Islam” sendiri bermakna “kepatuhan secara mutlak (membuta)”, sehingga
menjadi tabu untuk dipertanyakan lewat diskursus maupun dialektika baik maupun
buruknya, para umatnya hanya sekadar “membeo”. Akibatnya, seolah-olah dogma
keagamaan demikian menolak dinamika maupun fenomena sosial yang bersifat “cair”
(liquid) dan senantiasa berubah
mengikuti perkembangan zaman dan sosial. Sebaliknya, norma hukum dapat
dibentuk, diubah, direvisi, dikembangkan, dikurangkan, atau bahkan dihapuskan,
lewat serangkaian dialektika dan diskursus di ruang publik maupun di ruang
legislatif. Bila yang dikejar oleh dogma keagamaan, satu-satunya ialah kepatuhan,
baik dan buruk tidak lagi menjadi relevan. Sementara itu, yang dituju oleh
norma hukum ialah kemanfaatan, tertib sosial, serta keadilan, dimana diskursus
mengenai pro dan kontra menjadi relevan, terbuka untuk dipertanyakan serta
dieksaminasi, bahkan diuji materiil.
Kita ambil contoh putusan Pengadilan
Negeri, menyertakan irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA”. Putusan seorang hakim, membawa-bawa nama Tuhan. Gaibnya, putusan tersebut
masih dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi, hingga Peninjauan Kembali,
yang sama artinya meragukan serta mempertanyakan “putusan atas nama Tuhan”. Perubahan
terhadap dogma keagamaan, adalah tabu sifatnya. Sementara itu perubahan maupun
revisi terhadap norma hukum, adalah niscaya sifatnya. Karena itulah, sudah
saatnya putusan para hakim di ruang pengadilan sekalipun, seyogianya bersih
dari anasir keagamaan, karena pada muaranya akan mencoreng nama Tuhan itu
sendiri ketika masyarakat mencemooh putusan hakim di pengadilan.
Cobalah Anda tanyakan kepada diri
Anda sendiri, apa jadinya bila dogma-dogma keagamaan berikut ini, diadopsi ke
dalam norma hukum, dan diberlakukan secara umum bagi setiap lapisan dan
golongan masyarakat di Indonesia pada khususnya maupun pada masyarakat global
dunia pada umumnya:
- Roma 3:7 Tetapi
jika kebenaran Allah oleh dustaku semakin melimpah bagi kemuliaan-Nya, mengapa
aku masih dihakimi lagi sebagai orang berdosa?
- Filipi 1:18 Tetapi
tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan
maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku
akan tetap bersukacita,
- Ajaran Paulus bukan dari Tuhan : II Korintus 11:17
Apa yang aku katakan, aku
mengatakannya bukan sebagai seorang yang berkata menurut firman Tuhan,
melainkan sebagai seorang bodoh yang berkeyakinan, bahwa ia boleh bermegah.
- Membenarkan penipuan dan kelicikan untuk
kepentingan hegemoni agama Kristen : Korintus 12:16 Baiklah, aku sendiri tidak merupakan suatu beban bagi kamu, tetapi
dalam kelicikanku aku telah menjerat kamu dengan tipu daya. [Corinthians 12:16 But be it so, I did not
burden you: nevertheless, being crafty, I caught you with guile.]
- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam
hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah
baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak
bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim]. Bangga menjadi pendosawan, alih-alih merasa tabu dan malu.
Umpama orang buta hendak menuntun para butawan lainnya. Pendosawan, ingin
berceramah hidup suci, mulia dan luhur? Ibarat orang buta hendak menuntun para butawan
lainnya.
- “Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami
Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur
berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya
siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu
apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri
dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.”
[Shahih Bukhari 6933]
- Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan
apa yang dilihatnya. “Umar mendekati
Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu
kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat
mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau,
aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]
Berhala teriak berhala, kafir teriak kafir.
- “Saya diperintahkan
untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN
ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan
sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal
tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA
mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533] Wahyu tersebut berisi perintah,
wajib hukumnya dijalankan. Bila tidak, itu namanya “murtadin”! Para Muslim menuntut serta menikmati
toleransi dari para Buddhist (nenek-moyang Nusantara abad ke-5—15 Masehi) saat
masuk ke Nusantara di abad ke-15 Masehi, namun kini setelah menjelma mayoritas
para Muslim hendak memberangus toleransi yang dahulu mereka nikmati.
- QS 9:14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka
dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan
menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman,
- QS 66:9. Hai
Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap
keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam dan itu adalah
seburuk-buruk tempat kembali.
- QS 2:191. Dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari
tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya
dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali
jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat
itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.
[NOTE : Balas dizolimi dengan pembunuhan, kapan konflik akan berakhir
dan apakah proporsional? Apakah itu bukan merupakan “alasan pembenar” alias
alibi atau justifikasi diri seolah berhak untuk merampas hidup orang lain?]
- QS 5:33. Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri
(tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. [NOTE : Maha
Pengasih juga Maha Pengampun. Yang “Maha Pemurka” akan seperti apa
perintahnya?]
- QS 8:12. Ingatlah,
ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu,
maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman”. Kelak aku akan
jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka PENGGALLAH
KEPALA MEREKA dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP UJUNG JARI MEREKA. [NOTE : Agama
“cinta damasi”. Yang “gila perang”, “haus darah”, dan “gaya iblis”, seperti
apa?
- QS 9:5. Apabila
sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di
mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan
intailah di tempat pengintaian. [NOTE: sekaligus sebagai bukti, selama ini
siapa yang menyerang dan siapa yang terlebih dahulu diserang. Mengaku “dizolimi”,
namun mengapa justru mengintai dan mengepung? Bagaimana mungkin, mengaku
diserang, namun yang diserang yang justru mengintai dan mengepung yang
menyerang?]
- “Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S.
an-Nisa` [4]: 3). [NOTE : Tidak puas? Kawin lagi solusinya, tiada ajakan
ataupun nasehat untuk “self-control”.
Kawin itu “ibadah”? Manusia tidak perlu disuruh kawin, hewan saja tidak disuruh
kawin, sudah hobi kawin dan beranak-pinak itu tikus-tikus dan kucing-kucing
liar. Agama yang menghewankan manusia.]
Karena itulah, Buddhisme
memisahkan antara moralitas agama dan hukum yang berlaku di suatu negara baik
berbentuk republik maupun kerajaan. Hanya Buddhisme, yang mempromosikan dialog
serta diskursus, dimana banyak sutta mengisahkan pembabaran Sang Buddha
dalam bentuk tanya dan jawab, bukan semata monolog wahyu dogmatis ala agama
samawi, sebagaimana salah satunya ialah khotbah
Sang Buddha dalam “Aṅguttara
Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi
oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun
2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, yang
mengkampanyekan pembelajaran serta diskursus dengan kutipan:
24 (4) Tidak Bermoral
“Para bhikkhu, (1) pada seorang
yang tidak bermoral, pada seorang yang tidak memiliki perilaku bermoral, (2)
maka konsentrasi benar tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada
konsentrasi benar, pada seorang yang tidak memiliki konsentrasi benar, (3) maka
pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya tidak
memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada pengetahuan dan penglihatan
pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seseorang yang tidak memiliki pengetahuan
dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, (4) maka kekecewaan dan
kebosanan tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada kekecewaan dan kebosanan,
pada seseorang yang tidak memiliki kekecewaan dan kebosanan, (5) maka pengetahuan
dan penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekatnya.
“Misalkan ada sebatang pohon
yang tidak memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tidak tumbuh
sempurna; kulit kayunya, [20] kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tidak tumbuh
sempurna. Demikian pula, pada seorang yang tidak bermoral, pada seorang yang
tidak memiliki perilaku bermoral, maka konsentrasi benar tidak memiliki
penyebab terdekatnya. Jika tidak ada konsentrasi benar … pengetahuan dan
penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekatnya.
“Para bhikkhu, (1) pada seorang
yang bermoral, pada seorang yang perilakunya bermoral, (2) maka konsentrasi
benar memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada konsentrasi benar, pada seorang
yang memiliki konsentrasi benar, (3) maka pengetahuan dan penglihatan pada
segala sesuatu sebagaimana adanya memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada
pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seseorang
yang memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana
adanya, (4) maka kekecewaan dan kebosanan memiliki penyebab terdekatnya. Ketika
ada kekecewaan dan kebosanan, pada seseorang yang memiliki kekecewaan dan kebosanan,
(5) maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan memiliki penyebab terdekatnya.
“Misalkan ada sebatang pohon
yang memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tumbuh sempurna; kulit
kayunya, kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tumbuh sempurna. Demikian pula, pada
seorang yang bermoral, seorang yang perilakunya bermoral, maka konsentrasi
memiliki penyebab terdekatnya. Jika ada konsentrasi benar … pengetahuan dan
penglihatan pada kebebasan memiliki penyebab terdekatnya.”
~0~
25 (5) Dibantu
“Para bhikkhu, ketika pandangan
benar dibantu oleh lima faktor, maka pandangan benar itu memiliki kebebasan
pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya;
memiliki kebebasan melalui
kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan
manfaatnya. Apakah lima ini? [21] Di sini, pandangan benar dibantu oleh perilaku
bermoral, pembelajaran, diskusi, ketenangan, dan pandangan
terang. Ketika pandangan benar dibantu oleh kelima faktor ini, maka
pandangan benar itu memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan
pikiran sebagai buah dan manfaatnya; memiliki kebebasan melalui
kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan
manfaatnya.”