JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Moralitas Norma Hukum Vs. Moralitas Dogma Agama

Moralitas Dogma Agama Bersifat Rigid dan Ajeg, sementara Moralitas Norma Hukum Senantiasa Berdialektika dan Berkembang Lewat Diskursus

Question: Apakah hukum harus dipisahkan dari anasir moralitas (tipe negara sekular) atau sebaliknya, moralitas harus dinormakan ke dalam norma hukum (negara agama)? Bukankah moralitas basisnya adalah norma sosial? Bagaimana juga dengan moralitas keagamaan, apakah boleh dicampur-adukkan kedalam hukum?

Brief Answer: Antara norma hukum dan dogma keagamaan, masing-masing memiliki perpektif moralitasnya sendiri, sehingga tidak dapat dipertukarkan ataupun dipersamakan. Hukum adalah hukum, agama adalah agama. Ketika norma hukum dikeruhkan oleh dogma-dogma keagamaan, maka ilmu hukum menjadi stagnan dan terkunci, tanpa lagi dapat berdialektika serta tertutup dari diskursus publik yang manjemuk sifatnya dari segi etnik maupun ras dan agama. Dalam perspektif norma hukum, segenap lapisan masyarakat, tanpa pandang bulu, adalah merupakan “sederajat” (equality before the law) serta merupakan “stakeholders” (pemangku kepentingan). Berbeda dengan dogma keagamaan, yang dinilai hanya milik Tuhan.

PEMBAHASAN:

Kita ambil contoh Agama Islam, dimana “Islam” sendiri bermakna “kepatuhan secara mutlak (membuta)”, sehingga menjadi tabu untuk dipertanyakan lewat diskursus maupun dialektika baik maupun buruknya, para umatnya hanya sekadar “membeo”. Akibatnya, seolah-olah dogma keagamaan demikian menolak dinamika maupun fenomena sosial yang bersifat “cair” (liquid) dan senantiasa berubah mengikuti perkembangan zaman dan sosial. Sebaliknya, norma hukum dapat dibentuk, diubah, direvisi, dikembangkan, dikurangkan, atau bahkan dihapuskan, lewat serangkaian dialektika dan diskursus di ruang publik maupun di ruang legislatif. Bila yang dikejar oleh dogma keagamaan, satu-satunya ialah kepatuhan, baik dan buruk tidak lagi menjadi relevan. Sementara itu, yang dituju oleh norma hukum ialah kemanfaatan, tertib sosial, serta keadilan, dimana diskursus mengenai pro dan kontra menjadi relevan, terbuka untuk dipertanyakan serta dieksaminasi, bahkan diuji materiil.

Kita ambil contoh putusan Pengadilan Negeri, menyertakan irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Putusan seorang hakim, membawa-bawa nama Tuhan. Gaibnya, putusan tersebut masih dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi, hingga Peninjauan Kembali, yang sama artinya meragukan serta mempertanyakan “putusan atas nama Tuhan”. Perubahan terhadap dogma keagamaan, adalah tabu sifatnya. Sementara itu perubahan maupun revisi terhadap norma hukum, adalah niscaya sifatnya. Karena itulah, sudah saatnya putusan para hakim di ruang pengadilan sekalipun, seyogianya bersih dari anasir keagamaan, karena pada muaranya akan mencoreng nama Tuhan itu sendiri ketika masyarakat mencemooh putusan hakim di pengadilan.

Cobalah Anda tanyakan kepada diri Anda sendiri, apa jadinya bila dogma-dogma keagamaan berikut ini, diadopsi ke dalam norma hukum, dan diberlakukan secara umum bagi setiap lapisan dan golongan masyarakat di Indonesia pada khususnya maupun pada masyarakat global dunia pada umumnya:

- Roma 3:7 Tetapi jika kebenaran Allah oleh dustaku semakin melimpah bagi kemuliaan-Nya, mengapa aku masih dihakimi lagi sebagai orang berdosa?

- Filipi 1:18 Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita,

- Ajaran Paulus bukan dari Tuhan : II Korintus 11:17 Apa yang aku katakan, aku mengatakannya bukan sebagai seorang yang berkata menurut firman Tuhan, melainkan sebagai seorang bodoh yang berkeyakinan, bahwa ia boleh bermegah.

- Membenarkan penipuan dan kelicikan untuk kepentingan hegemoni agama Kristen : Korintus 12:16 Baiklah, aku sendiri tidak merupakan suatu beban bagi kamu, tetapi dalam kelicikanku aku telah menjerat kamu dengan tipu daya. [Corinthians 12:16 But be it so, I did not burden you: nevertheless, being crafty, I caught you with guile.]

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]. Bangga menjadi pendosawan, alih-alih merasa tabu dan malu. Umpama orang buta hendak menuntun para butawan lainnya. Pendosawan, ingin berceramah hidup suci, mulia dan luhur? Ibarat orang buta hendak menuntun para butawan lainnya.

- “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680] Berhala teriak berhala, kafir teriak kafir.

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533] Wahyu tersebut berisi perintah, wajib hukumnya dijalankan. Bila tidak, itu namanya “murtadin”! Para Muslim menuntut serta menikmati toleransi dari para Buddhist (nenek-moyang Nusantara abad ke-5—15 Masehi) saat masuk ke Nusantara di abad ke-15 Masehi, namun kini setelah menjelma mayoritas para Muslim hendak memberangus toleransi yang dahulu mereka nikmati.

- QS 9:14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman,

- QS 66:9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.

- QS 2:191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. [NOTE : Balas dizolimi dengan pembunuhan, kapan konflik akan berakhir dan apakah proporsional? Apakah itu bukan merupakan “alasan pembenar” alias alibi atau justifikasi diri seolah berhak untuk merampas hidup orang lain?]

- QS 5:33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. [NOTE : Maha Pengasih juga Maha Pengampun. Yang “Maha Pemurka” akan seperti apa perintahnya?]

- QS 8:12. Ingatlah, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman”. Kelak aku akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka PENGGALLAH KEPALA MEREKA dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP UJUNG JARI MEREKA. [NOTE : Agama “cinta damasi”. Yang “gila perang”, “haus darah”, dan “gaya iblis”, seperti apa?

- QS 9:5. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. [NOTE: sekaligus sebagai bukti, selama ini siapa yang menyerang dan siapa yang terlebih dahulu diserang. Mengaku “dizolimi”, namun mengapa justru mengintai dan mengepung? Bagaimana mungkin, mengaku diserang, namun yang diserang yang justru mengintai dan mengepung yang menyerang?]

- “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. an-Nisa` [4]: 3). [NOTE : Tidak puas? Kawin lagi solusinya, tiada ajakan ataupun nasehat untuk “self-control”. Kawin itu “ibadah”? Manusia tidak perlu disuruh kawin, hewan saja tidak disuruh kawin, sudah hobi kawin dan beranak-pinak itu tikus-tikus dan kucing-kucing liar. Agama yang menghewankan manusia.]

Karena itulah, Buddhisme memisahkan antara moralitas agama dan hukum yang berlaku di suatu negara baik berbentuk republik maupun kerajaan. Hanya Buddhisme, yang mempromosikan dialog serta diskursus, dimana banyak sutta mengisahkan pembabaran Sang Buddha dalam bentuk tanya dan jawab, bukan semata monolog wahyu dogmatis ala agama samawi, sebagaimana salah satunya ialah khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, yang mengkampanyekan pembelajaran serta diskursus dengan kutipan:

24 (4) Tidak Bermoral

“Para bhikkhu, (1) pada seorang yang tidak bermoral, pada seorang yang tidak memiliki perilaku bermoral, (2) maka konsentrasi benar tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada konsentrasi benar, pada seorang yang tidak memiliki konsentrasi benar, (3) maka pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seseorang yang tidak memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, (4) maka kekecewaan dan kebosanan tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada kekecewaan dan kebosanan, pada seseorang yang tidak memiliki kekecewaan dan kebosanan, (5) maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekatnya.

“Misalkan ada sebatang pohon yang tidak memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tidak tumbuh sempurna; kulit kayunya, [20] kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tidak tumbuh sempurna. Demikian pula, pada seorang yang tidak bermoral, pada seorang yang tidak memiliki perilaku bermoral, maka konsentrasi benar tidak memiliki penyebab terdekatnya. Jika tidak ada konsentrasi benar … pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekatnya.

“Para bhikkhu, (1) pada seorang yang bermoral, pada seorang yang perilakunya bermoral, (2) maka konsentrasi benar memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada konsentrasi benar, pada seorang yang memiliki konsentrasi benar, (3) maka pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seseorang yang memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, (4) maka kekecewaan dan kebosanan memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada kekecewaan dan kebosanan, pada seseorang yang memiliki kekecewaan dan kebosanan, (5) maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan memiliki penyebab terdekatnya.

“Misalkan ada sebatang pohon yang memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tumbuh sempurna; kulit kayunya, kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tumbuh sempurna. Demikian pula, pada seorang yang bermoral, seorang yang perilakunya bermoral, maka konsentrasi memiliki penyebab terdekatnya. Jika ada konsentrasi benar … pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan memiliki penyebab terdekatnya.”

~0~

25 (5) Dibantu

“Para bhikkhu, ketika pandangan benar dibantu oleh lima faktor, maka pandangan benar itu memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya;

memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya. Apakah lima ini? [21] Di sini, pandangan benar dibantu oleh perilaku bermoral, pembelajaran, diskusi, ketenangan, dan pandangan terang. Ketika pandangan benar dibantu oleh kelima faktor ini, maka pandangan benar itu memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya; memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya.”