JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Ciri Orang Bijaksana dan Kiat menjadi Orang Bijaksana

Agama yang TOXIC, Ideologi Penuh Delusi yang Beracun namun Dipeluk, Dibanggakan, Dipertontonkan, dan Dirayakan

Question: Bukankah mengherankan serta memprihatinkan, ada agama yang menjadikan praktik pesugihan anak sebagai hari raya keagamaan yang mereka rayakan setiap tahunnya? Mengapa agama bisa membutakan mata maupun nurani umat manusia, alih-alih mencerahkan, mencerdaskan, dan mendewasakan?

Brief Answer: Salah satu ciri paling utama dari orang yang bijaksana, ialah tidak terburu-buru dalam membuat penilaian. Yang paling fatal ialah agama yang memiliki definisi “patuh secara mutlak”, dimana seakan memakai otak untuk mencerna dogma-dogma adalah hal yang tabu dan terlarang. Pernahkah Anda melihat, orang yang menjadi pecandu tembakau, merasa bangga menjadi seorang pecandu yang diperbudak hidupnya oleh racun nikotin? Sama halnya dengan mereka yang merasa begitu bangga mempertontonkan kebodohan dan kekotoran batinnya sendiri.

PEMBAHASAN:

Sejak diperkenalkannya agama-agama samawi, praktik perdukunan (black magic) berupa pesugihan yang menumbalkan orang-orang terdekat sang “manusia pengikut iblis”, kian tumbuh subur bak cendawan di musim penghujan. Mengapa? Karena sang dukun jahat memiliki legitimasi serta justifikasi agar para klien-nya yakin adalah “tidak salah” dan “tidak tercela” melakukan praktik jahat dan busuk serta tercela demikian. Pertama-tama kita dapat melihat isi kutipan dari Alkitab, kisah pengorbanan Ishak atas perintah Allah kepada Abraham (Ibrahim) tercatat secara eksplisit dalam Kitab Kejadian, (Alkitab) 22:1-3.

(1) Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya: “Abraham,” lalu sahutnya: “Ya, Tuhan.”

(2) Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”

(3) Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya. [NOTE : Menurut ilmu hukum, sudah terjadi delik “percobaan pembunuhan”, karena melakukan persiapan disamping juga merupakan delik “pembunuhan berencana”.]

Atas dasar ayat inilah umat Kristen meyakini bahwa anak yang akan dikurbankan oleh Abraham adalah Ishak dan bukan Ismail sebagaimana kepercayaan Umat Islam di seluruh dunia, juga di-“halal”-kan untuk dilakukan oleh para Nasrani kepada anak-anak kandung mereka sendiri, alih-alih di-tabu-kan. Dalam kitab Kejadian 22:2 di atas, Allah memerintahkan kepada Abraham mengambil anak tunggalnya, Ishak, untuk dipersembahkan. Demi apa? Demi memuaskan EGO diri Abraham sendiri guna mendapatkan surga lengkap dengan bidadarinya.

Pertanyaan nurani dan “akal sehat”-nya bukanlah, apakah Ishak ataukah Ismail yang hendak coba dikorbankan oleh Abraham, namun apakah praktik SETAN (kesetanan) demikian berbeda dengan praktik perdukukan klenik “black magic” seperti pesugihan yang mengorbankan anak kandung kesayangan para pelaku praktik pesugihan? Semua dukun “black magic”, ketika ditanya dari mana sumber kekuatan mistis pendukukannya, dijawab oleh semua dukun manapun sebagai, “Dari Allah.”—Anda lihat, semua dukun jahat sekalipun, mengaku-ngaku kekuatannya bersumber dari Tuhan. Itulah ciri khas pola tingkah-laku setan, si “Maha Penyesat” yang haus darah, suka menyaru sebagai Tuhan.

Bersekutu dengan dukun, sejatinya bersekutu dengan setan / iblis—makhluk alam “apaya” (alam tanpa kebahagiaan) yang lebih rendah alamnya daripada alam manusia. Alih-alih memohon pertolongan dan petunjuk kepada para dewata yang alamnya lebih tinggi daripada manusia, manusia-manusia dungu (pendosawan) tersebut justru berlindung, memohon, serta meminta petunjuk kepada makhluk-makhluk dari alam rendah demikian. Itu sama artinya membuat diri sang pelaku terperosok ke alam yang lebih rendah, bagaikan seseorang yang menggali lubang kuburnya sendiri dan membenamkan diri ke dalamnya. Alih-alih bergerak menuju ke alam yang lebih tinggi, justru bergerak menuju alam rendah, akibat sifat irasional dan kebodohan batin yang mereka pelihara dan bersarang dalam diri. Sang Buddha menyebut kaum dunguwan tersebut sebagai “manusia setan”, alih-alih “manusia manusia” terlebih “manusia dewa”. Bergaul dan berkawan dengan setan, jadilah setan. Belum mati saja, sudah menyerupai setan.

Kini kita membandingkan versi dalam AL-QURAN, yang (justru) juga mempromosikan dan mengkampanyekan praktik EGOSENTRIS dengan merampas hak hidup anak sendiri maupun orang lain demi memakan iming-iming “masuk surga” (selfish motive), iman membuta mengangkangi akal sehat otak (otak mana untuk berpikir sendiri merupakan pemberian dan anugerah terbesar Tuhan, justru digadaikan), tidak mengkritisi dengan nurani apakah itu “bisikan SETAN” ataukah “bisikan Tuhan”, dan tidak juga memilih untuk menyembelih leher sendiri alih-alih menyembelih leher orang yang “terkasih” ataupun orang lain—semata demi EGO pribadi untuk disebut “beriman”, untuk disebut sebagai “nabi”, untuk disebut sebagai “calon penghuni surga”, “soleh”, “patuh”, mendapat hadiah puluhan bidadari berdada “montok”, dsb.

Peristiwa pengurbanan serupa dapat kita jumpai juga dalam Al-Quran dalam versi yang sangat singkat, dan tanpa menyebut secara jelas nama anak yang akan dikurbankan oleh Ibrahim. Mari kita simak ayat-ayat Al-Quran yang bercerita tentang kisah perintah Allah kepada Ibrahim versi Al-Quran sebagai berikut dalam Surah Ash Shaffat ayat 100 - 111.

(100) “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”.

(101) Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. [NOTE : Namun menjadi kabar buruk bagi sang anak yang memiliki ayah kandung yang EGOISTIK dan NARSISTIK!]

(102) Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar”. [NOTE : Sang anak “durhaka” ini telah mencelakai ayah kandungnya sendiri dengan membiarkan tangan sang ayah banjir darah karena menumpahkan darah anak kandungnya sendiri. Sang anak pun tidak menghargai hidup pemberian Tuhan. Penjahat yang paling beruntung ialah penjahat yang selalu gagal melancarkan niat jahatnya, sementara itu penjahat yang paling malang ialah penjahat yang selalu lancar ketika hendak mewujudkan niat jahatnya.]

(103) Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).

(104) Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim,

(105) susungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang berbuat baik. [NOTE : Sang setan menang, dua orang dungu membenarkan bisikan sang setan.]

(106) Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. [NOTE : Pertanyaannya, Tuhan Maha Tahu, mustahil masih perlu menguji umat manusia. Hanya setan, yang merasa perlu menguji kedunguan umat manusia.]

(107) Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

(108) Kami abadikan Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang yang dating kemudian.

(109) (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. [NOTE : Anda lihat, yang punya niat buruk dan jahat untuk membunuh orang lain, justru diberikan “reward” alih-alih diberi “punishment”. Jika yang berlaku ialah hukum pidana, jelas bahwa sang ayah terkena delik pasal “percobaan pembunuhan berencana”, alias kriminal, penjahat.]

(111) Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.

Mendengar paparan sang dukun dengan mengutip isi Alkitab maupun Al-quran di atas, makin yakin dan ke-setan-an-lah para kalangan orangtua yang hendak menumbalkan anak kandungnya sendiri, dan merasa bahwa praktik pesugihan adalah ritual ibadah “agamais” itu sendiri yang “halal” hukumnya untuk dipraktikkan, dijunjung, dan ditiru. Bila sang “nabi” sendiri kelakuannya ialah melakukan praktik pesugihan, maka mengapa umatnya tidak meniru teladan sang “nabi”? Bila Allah telah meng-“halal”-kan pesugihan, maka mengapa umat-“Nya” justru meng-“haram”-kan pesugihan? Itulah, yang disebut sebagai “rahmatan bagi segenap orangtua kesetanan”. Sejak diperkenalkannya agama-agama samawi, sejak saat itulah juga menjadi rusak serusak-rusaknya “standar moral” umat manusia.

Perihal cara berlatih untuk bersikap bijaksana, kita dapat merujuk langsung khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:

238 (8) Seorang yang Layak Dicela (3)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.

(2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.

(3) Ia kikir dan serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal.

(4) Ia kikir dan serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga.

(5) Ia kikir sehubungan dengan perolehan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.

(2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. [266]

(3) Ia tidak kikir dan tidak serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal.

(4) Ia tidak kikir dan tidak serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga.

(5) Ia tidak kikir sehubungan dengan perolehan.

Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

~0~

236 (6) Seorang yang Layak Dicela (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela. (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang mencurigakan. (4) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang seharusnya dipercaya. (5) Ia menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela. (2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. (3) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang mencurigakan. (4) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang seharusnya dipercaya. (5) Ia tidak menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

~0~

237 (7) Seorang yang Layak Dicela (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela. (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Ia kikir dan serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal. (4) Ia kikir dan serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga. (5) Ia menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela. (2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. (3) Ia tidak kikir dan tidak serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal. (4) Ia tidak kikir dan tidak serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga. (5) Ia tidak menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”