Agama yang TOXIC, Ideologi Penuh Delusi yang Beracun namun Dipeluk, Dibanggakan, Dipertontonkan, dan Dirayakan
Question: Bukankah mengherankan serta memprihatinkan, ada agama yang menjadikan praktik pesugihan anak sebagai hari raya keagamaan yang mereka rayakan setiap tahunnya? Mengapa agama bisa membutakan mata maupun nurani umat manusia, alih-alih mencerahkan, mencerdaskan, dan mendewasakan?
Brief Answer: Salah satu ciri paling utama dari orang yang
bijaksana, ialah tidak terburu-buru dalam membuat penilaian. Yang paling fatal
ialah agama yang memiliki definisi “patuh secara mutlak”, dimana seakan memakai
otak untuk mencerna dogma-dogma adalah hal yang tabu dan terlarang. Pernahkah Anda
melihat, orang yang menjadi pecandu tembakau, merasa bangga menjadi seorang
pecandu yang diperbudak hidupnya oleh racun nikotin? Sama halnya dengan mereka
yang merasa begitu bangga mempertontonkan kebodohan dan kekotoran batinnya
sendiri.
PEMBAHASAN:
Sejak diperkenalkannya agama-agama
samawi, praktik perdukunan (black magic)
berupa pesugihan yang menumbalkan orang-orang terdekat sang “manusia pengikut
iblis”, kian tumbuh subur bak cendawan di musim penghujan. Mengapa? Karena sang
dukun jahat memiliki legitimasi serta justifikasi agar para klien-nya yakin
adalah “tidak salah” dan “tidak tercela” melakukan praktik jahat dan busuk
serta tercela demikian. Pertama-tama kita dapat melihat isi kutipan dari Alkitab,
kisah pengorbanan Ishak atas perintah Allah kepada Abraham (Ibrahim) tercatat secara
eksplisit dalam Kitab Kejadian, (Alkitab) 22:1-3.
(1) Setelah semuanya itu Allah
mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya: “Abraham,” lalu sahutnya: “Ya, Tuhan.”
(2) Firman-Nya: “Ambillah
anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah
ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada
salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”
(3) Keesokan harinya pagi-pagi
bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang bujangnya
beserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu untuk korban bakaran itu,
lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya. [NOTE : Menurut ilmu
hukum, sudah terjadi delik “percobaan pembunuhan”, karena melakukan persiapan
disamping juga merupakan delik “pembunuhan berencana”.]
Atas dasar ayat inilah umat
Kristen meyakini bahwa anak yang akan dikurbankan oleh Abraham adalah Ishak dan
bukan Ismail sebagaimana kepercayaan Umat Islam di seluruh dunia, juga
di-“halal”-kan untuk dilakukan oleh para Nasrani kepada anak-anak kandung
mereka sendiri, alih-alih di-tabu-kan. Dalam kitab Kejadian 22:2 di atas, Allah
memerintahkan kepada Abraham mengambil anak tunggalnya, Ishak, untuk
dipersembahkan. Demi apa? Demi memuaskan EGO diri Abraham sendiri guna
mendapatkan surga lengkap dengan bidadarinya.
Pertanyaan nurani dan “akal
sehat”-nya bukanlah, apakah Ishak ataukah Ismail yang hendak coba dikorbankan
oleh Abraham, namun apakah praktik SETAN (kesetanan) demikian berbeda dengan
praktik perdukukan klenik “black magic” seperti pesugihan yang
mengorbankan anak kandung kesayangan para pelaku praktik pesugihan? Semua dukun
“black magic”, ketika ditanya dari mana sumber kekuatan mistis
pendukukannya, dijawab oleh semua dukun manapun sebagai, “Dari Allah.”—Anda
lihat, semua dukun jahat sekalipun, mengaku-ngaku kekuatannya bersumber dari
Tuhan. Itulah ciri khas pola tingkah-laku setan, si “Maha Penyesat” yang haus
darah, suka menyaru sebagai Tuhan.
Bersekutu dengan dukun,
sejatinya bersekutu dengan setan / iblis—makhluk alam “apaya” (alam tanpa kebahagiaan) yang lebih rendah alamnya daripada
alam manusia. Alih-alih memohon pertolongan dan petunjuk kepada para dewata
yang alamnya lebih tinggi daripada manusia, manusia-manusia dungu (pendosawan)
tersebut justru berlindung, memohon, serta meminta petunjuk kepada makhluk-makhluk
dari alam rendah demikian. Itu sama artinya membuat diri sang pelaku terperosok
ke alam yang lebih rendah, bagaikan seseorang yang menggali lubang kuburnya
sendiri dan membenamkan diri ke dalamnya. Alih-alih bergerak menuju ke alam
yang lebih tinggi, justru bergerak menuju alam rendah, akibat sifat irasional
dan kebodohan batin yang mereka pelihara dan bersarang dalam diri. Sang
Buddha menyebut kaum dunguwan tersebut sebagai “manusia setan”, alih-alih “manusia
manusia” terlebih “manusia dewa”. Bergaul dan berkawan dengan setan, jadilah
setan. Belum mati saja, sudah menyerupai setan.
Kini kita membandingkan versi
dalam AL-QURAN, yang (justru) juga mempromosikan dan mengkampanyekan praktik
EGOSENTRIS dengan merampas hak hidup anak sendiri maupun orang lain demi
memakan iming-iming “masuk surga” (selfish
motive), iman membuta mengangkangi akal sehat otak (otak mana untuk
berpikir sendiri merupakan pemberian dan anugerah terbesar Tuhan, justru
digadaikan), tidak mengkritisi dengan nurani apakah itu “bisikan SETAN” ataukah
“bisikan Tuhan”, dan tidak juga memilih untuk menyembelih leher sendiri
alih-alih menyembelih leher orang yang “terkasih” ataupun orang lain—semata
demi EGO pribadi untuk disebut “beriman”, untuk disebut sebagai “nabi”, untuk
disebut sebagai “calon penghuni surga”, “soleh”, “patuh”, mendapat hadiah
puluhan bidadari berdada “montok”, dsb.
Peristiwa pengurbanan serupa dapat
kita jumpai juga dalam Al-Quran dalam versi yang sangat singkat, dan tanpa
menyebut secara jelas nama anak yang akan dikurbankan oleh Ibrahim. Mari kita
simak ayat-ayat Al-Quran yang bercerita tentang kisah perintah Allah kepada
Ibrahim versi Al-Quran sebagai berikut dalam Surah Ash Shaffat ayat 100 - 111.
(100) “Ya Tuhanku,
anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang
yang saleh”.
(101) Maka Kami beri dia kabar
gembira dengan seorang anak yang amat sabar. [NOTE : Namun menjadi kabar buruk bagi sang
anak yang memiliki ayah kandung yang EGOISTIK dan NARSISTIK!]
(102) Maka tatkala anak itu
sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai
anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.
Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang sabar”. [NOTE : Sang anak “durhaka” ini telah mencelakai ayah kandungnya
sendiri dengan membiarkan tangan sang ayah banjir darah karena menumpahkan
darah anak kandungnya sendiri. Sang anak pun tidak menghargai hidup pemberian
Tuhan. Penjahat yang paling beruntung ialah penjahat yang selalu gagal
melancarkan niat jahatnya, sementara itu penjahat yang paling malang ialah
penjahat yang selalu lancar ketika hendak mewujudkan niat jahatnya.]
(103) Tatkala keduanya telah
berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas
pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).
(104) Dan Kami panggillah dia:
“Hai Ibrahim,
(105) susungguhnya kamu
telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan
kepada orang-orang berbuat baik. [NOTE : Sang setan menang, dua orang dungu
membenarkan bisikan sang setan.]
(106) Sesungguhnya ini
benar-benar suatu ujian yang nyata. [NOTE : Pertanyaannya,
Tuhan Maha Tahu, mustahil masih perlu menguji umat manusia. Hanya setan, yang
merasa perlu menguji kedunguan umat manusia.]
(107) Dan Kami tebus anak itu
dengan seekor sembelihan yang besar.
(108) Kami abadikan Ibrahim itu
(pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang yang dating kemudian.
(109) (yaitu) “Kesejahteraan
dilimpahkan atas Ibrahim”. [NOTE : Anda lihat, yang punya niat buruk dan jahat untuk membunuh
orang lain, justru diberikan “reward” alih-alih diberi “punishment”.
Jika yang berlaku ialah hukum pidana, jelas bahwa sang ayah terkena delik pasal
“percobaan pembunuhan berencana”, alias kriminal, penjahat.]
(111) Sesungguhnya ia termasuk
hamba-hamba Kami yang beriman.
Mendengar paparan sang dukun
dengan mengutip isi Alkitab maupun Al-quran di atas, makin yakin dan
ke-setan-an-lah para kalangan orangtua yang hendak menumbalkan anak kandungnya
sendiri, dan merasa bahwa praktik pesugihan adalah ritual ibadah “agamais” itu
sendiri yang “halal” hukumnya untuk dipraktikkan, dijunjung, dan ditiru. Bila
sang “nabi” sendiri kelakuannya ialah melakukan praktik pesugihan, maka mengapa
umatnya tidak meniru teladan sang “nabi”? Bila Allah telah meng-“halal”-kan
pesugihan, maka mengapa umat-“Nya” justru meng-“haram”-kan pesugihan? Itulah, yang
disebut sebagai “rahmatan bagi segenap orangtua kesetanan”. Sejak
diperkenalkannya agama-agama samawi, sejak saat itulah juga menjadi rusak
serusak-rusaknya “standar moral” umat manusia.
Perihal cara berlatih untuk bersikap bijaksana, kita
dapat merujuk langsung khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID III”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:
238 (8) Seorang yang Layak
Dicela (3)
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah
dibawa ke sana. Apakah lima ini?
(1) Tanpa menyelidiki dan
tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.
(2) Tanpa menyelidiki dan
tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.
(3) Ia kikir dan serakah
sehubungan dengan tempat-tempat tinggal.
(4) Ia kikir dan serakah
sehubungan dengan keluarga-keluarga.
(5) Ia kikir sehubungan dengan
perolehan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah
ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah
dibawa ke sana. Apakah lima ini?
(1) Setelah menyelidiki dan
setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.
(2) Setelah menyelidiki dan
setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. [266]
(3) Ia tidak kikir dan tidak
serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal.
(4) Ia tidak kikir dan tidak
serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga.
(5) Ia tidak kikir sehubungan
dengan perolehan.
Dengan memiliki kelima kualitas
ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke
sana.”
~0~
236 (6) Seorang yang Layak
Dicela (1)
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah
dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa,
ia memuji seorang yang layak dicela. (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa
memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Tanpa menyelidiki
dan tanpa memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang mencurigakan. (4) Tanpa
menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang seharusnya dipercaya.
(5) Ia menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan.
Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan
di neraka seolah-olah dibawa ke sana.
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah
dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Setelah menyelidiki dan setelah
memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela. (2) Setelah menyelidiki
dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. (3) Setelah
menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang mencurigakan.
(4) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mempercayai sesuatu
yang seharusnya dipercaya. (5) Ia tidak menghambur-hamburkan pemberian yang
diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang
bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”
~0~
237 (7) Seorang yang Layak
Dicela (2)
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah
dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa,
ia memuji seorang yang layak dicela. (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa
memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Ia kikir dan serakah
sehubungan dengan tempat-tempat tinggal. (4) Ia kikir dan serakah sehubungan
dengan keluarga-keluarga. (5) Ia menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan
dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu
tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah
dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Setelah menyelidiki dan setelah
memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela. (2) Setelah menyelidiki
dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. (3) Ia tidak
kikir dan tidak serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal. (4) Ia tidak
kikir dan tidak serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga. (5) Ia tidak
menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan
memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di
surga seolah-olah dibawa ke sana.”