Yang Menang, yang Menuliskan Sejarah dalam Buku Sejarah. Yang Kalah, hanya Menjadi Penonton Bila Tidak Dijadikan Kambing Hitam
Yang beruntung atas kesehatannya, menyombongkan kesehatannya lalu menghakimi mereka yang kurang beruntung atas kesehatannya sebagai “kurang iman” atau “kurang ibadah”. Yang beruntung atas kemakmuran ekonominya, menyombongkan kemakmuran ekonominya dengan menghakimi mereka yang kurang beruntung sebagai “pemalas” atau “bodoh”. Hanya mereka yang pernah “jatuh”, yang memiliki kebijaksanaan, sehingga tidak cenderung menghakimi pihak lain yang kurang beruntung dalam hidupnya. Pepatah mengatakan, hidup bagai “berputarnya roda”, ada waktunya ia berada di atas, dan ada kalanya ia bergerak ke arah bawah. Segalanya berubah, tidak ada yang kekal, sehingga sejatinya tidak ada yang patut disombongkan, terlebih menghakimi pihak lain. Kekekalan adalah delusi, sama artinya membohongi diri sendiri atau bahkan menentang hukum alam itu sendiri, karena yang kekal ialah perubahan itu sendiri. Orang-orang bijak telah lama belajar, untuk tidak terlampau senang saat berada di puncak, dan tidak terlampau “putus asa” saat berada di titik terbawah dalam hidup mereka.
Tidak ada orang miskin yang
takut menjadi kaya, namun orang kaya selalu dihantui ketakutan jatuh dalam jurang
kemiskinan. Akan tetapi, itu tidak benar untuk sepenuhnya, orang miskin justru patut
untuk takut naik derajat, karena mereka patut merasa takut terjebak dalam fenomena
atau kondisi “post power syndrome”. Lihat
fenomena para penguasa kita, sekalipun telah dua kali periode menjabat sebagai Kepala
Negara, kini mereka dipusingkan oleh urusan “mencarikan anak-nya sebuah
pekerjaan”. Semakin tinggi Anda berada, semakin sakit jika Anda terjatuh. Karena
itulah, kerendahan hati itu penting, sembari menyadari bahwa kehidupan adalah dinamis,
selalu berubah dan dapat berubah sewaktu-waktu. Yang lebih relevan untuk saat
kini ialah : pikirkanlah apa yang akan anak Anda hadapi, bila Anda melahirkan
seorang anak, bila wajah dunia dan ekonomi negeri kita saja sudah tampak
demikian “bopeng”? Jangankan Anda, seorang mantan Kepala Negara saja disibukkan
urusan mencarikan kedua anak dan manantunya pekerjaan.
Kisah berikut, lazim akan Anda jumpai
di China dewasa ini. Seorang ibu muda dengan seorang anak yang masih balita,
menggelandang di jalanan. Seseorang warga yang melihatnya, lalu menghakimi sang
ibu yang masih berupa gadis muda tersebut, “Itulah
akibatnya jika tidak mau belajar untuk menjadi berpendidikan, jadi gelandangan
bersama anak-anak!” Sang warga tidak mengetahui, bahwa sang gadis tersebut
ialah sarjana lulusan universitas bergengsi di China. Fenomena demikian, kini
lazim dijumpai di China, negeri dimana para sarjana muda kesulitan mencari
pekerjaan, berakhir menjadi gelandangan di jalan-jalan, frustasi dan “putus asa”
mencari pekerjaan. Satu dari lima orang yang Anda jumpai di China, merupakan :
korban pemutusan hubungan kerja, masih mencari pekerjaan, ataupun yang sudah
menyerah mencari pekerjaan.
Apakah tampak ironis, mengingat
China merupakan negara yang merajai produk-produk konsumsi dunia, dimana
seluruh produk rumah-tangga kita di rumah bisa jadi “Made In China”? Fenomena yang kini lumrah dijumpai di China, merupakan
dampak dari kebijakan yang keliru oleh pemimpin mereka. Presiden China, menyerukan
gerakan industrialiasi tanpa fondasi “analisis dampak sosial” yang memadai. Sebagai
contoh, Presiden China bahkan memotori gerakan teknologi tinggi pada sektor-sektor
agrikultura dan pertanian maupun manufaktur di negara mereka. Akibatnya,
berbagai sektor produksi di rural maupun di urban, tidak lagi menyerap “tenaga
kerja manusia”, namun lebih mengarah kepada “padat modal” berupa investasi pada
robot-robot dan teknologi ter-otomatisasi hingga kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI).
Di China, gelar “bachelor degree” (sarjana} maupun “master degree” (setingkat magister
Strata 2), telah “ter-deflasi”, mengingat antara “supply” dan “demand”
tidak seiring-sejalan. Teknologi robotik berbasis AI telah menggantikan
berbagai fungsi “tenaga kerja manusia” dan menggantikannya. Ilustrasi sederhana
berikut, dapat cukup menerangkan. Pada era tradisional-konvensional, pemilik
lahan mempekerjakan buruh petik padi, maupun buruh pembajak sawah, kuli
pengangkut gabah, dan sebagainya. Kini, kesemuanya telah digantikan dan
tergantikan oleh mesin bajak, mesin pemotong padi, hingga moda transportasi semacam
truk maupun drone. Akibatnya, terjadi hilangnya banyak lapangan pekerjaan bagi
para “buruh manusia”.
“Efisiensi usaha” pada era
konvensional, memiliki definisi yang berlainan dengan “efisiensi usaha” pada
era robotik terdigitalisasi berbasis AI. AI dan derifatifnya, semacam humanoid
maupun lengan-lengan robotik dalam proses produksi massal ter-otomatisasi,
sifatnya bukan lagi membantu pekerjaan manusia, namun menggantikan peran “tenaga
kerja manusia”. Itulah sebabnya, lulusan berbagai perguruan tinggi di China,
tidak terserap dan tidak lagi relevan terhadap dunia pekerjaan. Realitanya,
yang harus mereka akui dan telan kenyataan pahitnya, mereka telah digantikan dan
tergantikan perannya oleh kecanggihan teknologi yang bahkan notabene “lebih
cerdas daripada manusia” disamping lebih efisien, lebih akurat, serta lebih
produktif dari manusia.
Di China, bila Anda berhasil
mendapatkan pekerjaan yang masih tersisa untuk “tenaga kerja manusia”, artinya Anda
tergolong sangat-amat-beruntung, sehingga Anda pun menyadari bahwa
rendahnya upah yang Anda dapatkan dari pekerjaan Anda tidak lagi relevan untuk Anda
permasalahkan. Apa yang kini diajarkan pada ruang-ruang perkuliahan maupun
vokasi (sekolah kejuruan) di China, sedikit-banyak telah mampu digantikan dan
tergantikan oleh AI maupun “robot berbasis AI”, sehingga sama artinya para mahasiswa
membayar banyak biaya perkuliahan untuk sesuatu yang tidak berguna dalam
praktik alias membayar mahal untuk sebuah lembar izasah sarjana, magister,
maupun doktoral yang telah “ter-deflasi” nilai intrinsiknya. Sungguh miris, namun
nyata, mereka yang bergelar “master
degree” di China menemukan diri mereka berakhir sebagai seorang petugas
satpam ataupun seperti petugas kebersihan maupun petugas resepsionis.
Apakah berbagai sekolah maupun
universitas di China, pelaku industri pendidikan tersebut, bertanggung-jawab
atas lulusan mereka yang kesulitan mencari pekerjaan? Tentu tidak, mereka
berada dalam “zona nyaman”, sembari berliang di atas “menara gading” serta “business as usual” mengingat konsumen
mereka selalu adalah “manusia”. Fenomena yang sama terjadi di Indonesia,
kebutuhan atau “demand” terhadap lulusan
fakultas hukum, sebagai contoh, selalu minim setiap tahunnya, namun berbagai
perguruan tinggi hukum di Indonesia, setiap tahunnya mencetak puluhan ribu
sarjana hukum baru. Mengenyam pendidikan tinggi, agar dapat merubah dan
memperbaiki nasib, bahkan orangtua para mahasiswa tersebut harus meminjam biaya
perkuliahan anaknya kepada tetangga dan kerabat, namun itu menyerupai delusi
pada era AI dewasa ini—bila tidak dapat disebut sebagai ilusi ataupun
fatamorgana.
Apa yang tidak pernah diajarkan
oleh berbagai sekolah hingga perguruan tinggi di dunia ini, terlebih di Indonesia,
ialah cara menciptakan “luck factor”,
faktor keberuntungan. Sebagaimana kita ketahui, yang menciptakan dan
menuliskan sejarah, ialah pihak yang memenangkan sejarah. Prinsip yang sama,
berlaku untuk urusan duniawi, mereka yang bisa berkomentar dan menghakimi orang
lain yang lebih malang hidupnya, ialah mereka yang masih tergolong “mujur”
alias “beruntung”. Dalam Buddhisme, terdapat postulat berikut : 1.)
ketika Karma Buruk sedang berbuah, apapun yang kita perbuat, ucapkan, maupun
lakukan, maka akan selalu disalahkan oleh orang lain dan selalu menemui
kegagalan; dan sebaliknya 2.) ketika Karma Baik sedang berbuah, apapun yang
kita perbuat, ucapkan, maupun lakukan—sekalipun ucapan dan perbuatan kita
keliru—kita selalu didukung dan dibenarkan oleh orang lain serta selalu menemui
keberhasilan.
Kini, pertanyaan paling relevan
yang patut Anda ajukan ialah, bagaimana caranya, menciptakan “the LUCK FACTOR” tersebut? Tidak
ada motivator yang menyamai Sang Buddha, Guru Agung para dewa dan para
manusia, mengingat Sang Buddha dalam banyak sutta, membabarkan secara
gamblang arti penting menanam benih-benih perbuatan baik, untuk kita petik
sendiri buah manisnya dimasa mendatang—alias “faktor keberuntungan” itu
sendiri yang telah ternyata mampu diciptakan dan ditanam untuk kemudian
bertumbuh dan membuahkan hasil manisnya untuk kita petik sendiri dikemudian
hari. Salah satunya dapat kita jumpai dalam khotbah Sang Buddha yang
sangat memotivasi dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical
Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
IV. Sumanā
31 (1) Sumanā [Kitab Komentar
mengidentifikasi Sumanā sebagai putri Raja Pasenadi dari Kosala.]
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Putri Sumanā,
disertai oleh lima ratus kereta dan lima ratus dayang, mendatangi Sang Bhagavā,
bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Putri Sumanā berkata
kepada Sang Bhagavā:
“Di sini, Bhante, mungkin ada
dua orang siswa Sang Bhagavā yang setara dalam hal keyakinan, perilaku
bermoral, dan kebijaksanaan, tetapi yang satu dermawan sedangkan yang lainnya
tidak. Dengan hancurnya jasmani, [33] setelah kematian, mereka berdua terlahir
kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ketika mereka telah menjadi
deva, apakah ada kesenjangan atau perbedaan antara mereka?”
“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā
berkata. “Yang dermawan, setelah menjadi deva, akan mengungguli yang lainnya
dalam lima hal: umur kehidupan surgawi, kecantikan surgawi, kebahagiaan
surgawi, keagungan surgawi, dan kekuasaan surgawi. Yang dermawan, setelah
menjadi deva, akan mengungguli yang lainnya dalam kelima hal ini.”
“Tetapi, Bhante, jika kedua
orang ini meninggal dunia dari sana dan sekali lagi menjadi manusia, apakah
masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka?”
“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā
berkata. “Ketika mereka sekali lagi menjadi manusia, yang dermawan akan
mengungguli yang lainnya dalam lima hal: umur kehidupan manusia, kecantikan
manusia, kebahagiaan manusia, kemasyhuran manusia, dan kekuasaan manusia.
Ketika mereka sekali lagi menjadi manusia, yang dermawan akan mengungguli yang
lainnya dalam kelima hal ini.”
“Tetapi, Bhante, jika kedua
orang ini meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan
tanpa rumah, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka?”
“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā
berkata. “Yang dermawan, setelah meninggalkan keduniawian, akan mengungguli
yang lainnya dalam lima hal. (1) Ia biasanya mengenakan jubah yang telah secara
khusus dipersembahkan kepadanya, jarang mengenakan jubah yang tidak secara
khusus dipersembahkan kepadanya. (2) Ia biasanya memakan makanan yang telah
secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang memakan makanan yang tidak
secara khusus dipersembahkan kepadanya. (3) Ia biasanya menempati tempat
tinggal yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menempati
tempat tinggal yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya. (4) Ia
biasanya menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang telah
secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menggunakan obat-obatan dan
perlengkapan bagi yang sakit yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya.
(5) Teman-temannya para bhikkhu, yang dengan mereka ia menetap, biasanya
memperlakukannya dengan cara-cara yang menyenangkan melalui jasmani, ucapan,
dan pikiran, jarang dengan cara-cara yang tidak menyenangkan. Mereka biasanya
memberikan kepadanya apa yang menyenangkan, jarang memberikan [34] apa yang
tidak menyenangkan. Yang dermawan, setelah meninggalkan keduniawian, akan
mengungguli yang lainnya dalam kelima hal ini.”
“Tetapi, Bhante, jika keduanya
mencapai Kearahattaan, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara
mereka setelah mereka mencapai Kearahattaan?”
“Dalam hal ini, Sumanā, Aku
nyatakan, tidak ada perbedaan antara kebebasan [yang satu] dan kebebasan [yang
lainnya].”
“Menakjubkan dan
mengagumkan, Bhante! Sesungguhnya, seseorang memiliki alasan yang bagus untuk
memberikan dana dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, karena
perbuatan-perbuatan itu akan membantu jika ia menjadi deva, [sekali lagi]
menjadi seorang manusia, atau meninggalkan keduniawian.”
“Demikianlah, Sumanā!,
demikianlah, Sumanā! Sesungguhnya, seseorang memiliki alasan yang bagus
untuk memberikan dana dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, karena
perbuatan-perbuatan itu akan membantu jika ia menjadi deva, [sekali lagi]
menjadi seorang manusia, atau meninggalkan keduniawian.”
Itu adalah apa yang dikatakan
oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Sempurna Menempuh Sang
Jalan, Sang Guru, lebih lanjut berkata sebagai berikut:
“Seperti halnya rembulan
tanpa noda bergerak di sepanjang lintasan di angkasa cahayanya lebih cemerlang
daripada semua bintang di dunia, demikian pula seseorang yang sempurna dalam
perilaku bermoral, seorang yang memiliki keyakinan, lebih cemerlang karena
kedermawanan daripada semua orang kikir di dunia.
“Seperti halnya awan hujan
berpuncak-seratus, bergemuruh, di dalam lingkaran halilintar, menurunkan hujan
ke bumi membanjiri dataran-dataran dan tanah rendah, demikian pula siswa
Yang Tercerahkan Sempurna, yang bijaksana yang sempurna dalam penglihatan,
melampaui orang kikir dalam lima aspek: umur kehidupan dan keagungan,
kecantikan dan kebahagiaan. Memiliki kekayaan, setelah kematian ia bergembira
di alam surga.” [35]
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.