JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Hanya Mereka yang BERUNTUNG, yang Akan Tetap Selamat pada Era AI, Artificial Intelligence

Yang Menang, yang Menuliskan Sejarah dalam Buku Sejarah. Yang Kalah, hanya Menjadi Penonton Bila Tidak Dijadikan Kambing Hitam

Yang beruntung atas kesehatannya, menyombongkan kesehatannya lalu menghakimi mereka yang kurang beruntung atas kesehatannya sebagai “kurang iman” atau “kurang ibadah”. Yang beruntung atas kemakmuran ekonominya, menyombongkan kemakmuran ekonominya dengan menghakimi mereka yang kurang beruntung sebagai “pemalas” atau “bodoh”. Hanya mereka yang pernah “jatuh”, yang memiliki kebijaksanaan, sehingga tidak cenderung menghakimi pihak lain yang kurang beruntung dalam hidupnya. Pepatah mengatakan, hidup bagai “berputarnya roda”, ada waktunya ia berada di atas, dan ada kalanya ia bergerak ke arah bawah. Segalanya berubah, tidak ada yang kekal, sehingga sejatinya tidak ada yang patut disombongkan, terlebih menghakimi pihak lain. Kekekalan adalah delusi, sama artinya membohongi diri sendiri atau bahkan menentang hukum alam itu sendiri, karena yang kekal ialah perubahan itu sendiri. Orang-orang bijak telah lama belajar, untuk tidak terlampau senang saat berada di puncak, dan tidak terlampau “putus asa” saat berada di titik terbawah dalam hidup mereka.

Tidak ada orang miskin yang takut menjadi kaya, namun orang kaya selalu dihantui ketakutan jatuh dalam jurang kemiskinan. Akan tetapi, itu tidak benar untuk sepenuhnya, orang miskin justru patut untuk takut naik derajat, karena mereka patut merasa takut terjebak dalam fenomena atau kondisi “post power syndrome”. Lihat fenomena para penguasa kita, sekalipun telah dua kali periode menjabat sebagai Kepala Negara, kini mereka dipusingkan oleh urusan “mencarikan anak-nya sebuah pekerjaan”. Semakin tinggi Anda berada, semakin sakit jika Anda terjatuh. Karena itulah, kerendahan hati itu penting, sembari menyadari bahwa kehidupan adalah dinamis, selalu berubah dan dapat berubah sewaktu-waktu. Yang lebih relevan untuk saat kini ialah : pikirkanlah apa yang akan anak Anda hadapi, bila Anda melahirkan seorang anak, bila wajah dunia dan ekonomi negeri kita saja sudah tampak demikian “bopeng”? Jangankan Anda, seorang mantan Kepala Negara saja disibukkan urusan mencarikan kedua anak dan manantunya pekerjaan.

Kisah berikut, lazim akan Anda jumpai di China dewasa ini. Seorang ibu muda dengan seorang anak yang masih balita, menggelandang di jalanan. Seseorang warga yang melihatnya, lalu menghakimi sang ibu yang masih berupa gadis muda tersebut, “Itulah akibatnya jika tidak mau belajar untuk menjadi berpendidikan, jadi gelandangan bersama anak-anak!” Sang warga tidak mengetahui, bahwa sang gadis tersebut ialah sarjana lulusan universitas bergengsi di China. Fenomena demikian, kini lazim dijumpai di China, negeri dimana para sarjana muda kesulitan mencari pekerjaan, berakhir menjadi gelandangan di jalan-jalan, frustasi dan “putus asa” mencari pekerjaan. Satu dari lima orang yang Anda jumpai di China, merupakan : korban pemutusan hubungan kerja, masih mencari pekerjaan, ataupun yang sudah menyerah mencari pekerjaan.

Apakah tampak ironis, mengingat China merupakan negara yang merajai produk-produk konsumsi dunia, dimana seluruh produk rumah-tangga kita di rumah bisa jadi “Made In China”? Fenomena yang kini lumrah dijumpai di China, merupakan dampak dari kebijakan yang keliru oleh pemimpin mereka. Presiden China, menyerukan gerakan industrialiasi tanpa fondasi “analisis dampak sosial” yang memadai. Sebagai contoh, Presiden China bahkan memotori gerakan teknologi tinggi pada sektor-sektor agrikultura dan pertanian maupun manufaktur di negara mereka. Akibatnya, berbagai sektor produksi di rural maupun di urban, tidak lagi menyerap “tenaga kerja manusia”, namun lebih mengarah kepada “padat modal” berupa investasi pada robot-robot dan teknologi ter-otomatisasi hingga kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI).

Di China, gelar “bachelor degree” (sarjana} maupun “master degree” (setingkat magister Strata 2), telah “ter-deflasi”, mengingat antara “supply” dan “demand” tidak seiring-sejalan. Teknologi robotik berbasis AI telah menggantikan berbagai fungsi “tenaga kerja manusia” dan menggantikannya. Ilustrasi sederhana berikut, dapat cukup menerangkan. Pada era tradisional-konvensional, pemilik lahan mempekerjakan buruh petik padi, maupun buruh pembajak sawah, kuli pengangkut gabah, dan sebagainya. Kini, kesemuanya telah digantikan dan tergantikan oleh mesin bajak, mesin pemotong padi, hingga moda transportasi semacam truk maupun drone. Akibatnya, terjadi hilangnya banyak lapangan pekerjaan bagi para “buruh manusia”.

“Efisiensi usaha” pada era konvensional, memiliki definisi yang berlainan dengan “efisiensi usaha” pada era robotik terdigitalisasi berbasis AI. AI dan derifatifnya, semacam humanoid maupun lengan-lengan robotik dalam proses produksi massal ter-otomatisasi, sifatnya bukan lagi membantu pekerjaan manusia, namun menggantikan peran “tenaga kerja manusia”. Itulah sebabnya, lulusan berbagai perguruan tinggi di China, tidak terserap dan tidak lagi relevan terhadap dunia pekerjaan. Realitanya, yang harus mereka akui dan telan kenyataan pahitnya, mereka telah digantikan dan tergantikan perannya oleh kecanggihan teknologi yang bahkan notabene “lebih cerdas daripada manusia” disamping lebih efisien, lebih akurat, serta lebih produktif dari manusia.

Di China, bila Anda berhasil mendapatkan pekerjaan yang masih tersisa untuk “tenaga kerja manusia”, artinya Anda tergolong sangat-amat-beruntung, sehingga Anda pun menyadari bahwa rendahnya upah yang Anda dapatkan dari pekerjaan Anda tidak lagi relevan untuk Anda permasalahkan. Apa yang kini diajarkan pada ruang-ruang perkuliahan maupun vokasi (sekolah kejuruan) di China, sedikit-banyak telah mampu digantikan dan tergantikan oleh AI maupun “robot berbasis AI”, sehingga sama artinya para mahasiswa membayar banyak biaya perkuliahan untuk sesuatu yang tidak berguna dalam praktik alias membayar mahal untuk sebuah lembar izasah sarjana, magister, maupun doktoral yang telah “ter-deflasi” nilai intrinsiknya. Sungguh miris, namun nyata, mereka yang bergelar “master degree” di China menemukan diri mereka berakhir sebagai seorang petugas satpam ataupun seperti petugas kebersihan maupun petugas resepsionis.

Apakah berbagai sekolah maupun universitas di China, pelaku industri pendidikan tersebut, bertanggung-jawab atas lulusan mereka yang kesulitan mencari pekerjaan? Tentu tidak, mereka berada dalam “zona nyaman”, sembari berliang di atas “menara gading” serta “business as usual” mengingat konsumen mereka selalu adalah “manusia”. Fenomena yang sama terjadi di Indonesia, kebutuhan atau “demand” terhadap lulusan fakultas hukum, sebagai contoh, selalu minim setiap tahunnya, namun berbagai perguruan tinggi hukum di Indonesia, setiap tahunnya mencetak puluhan ribu sarjana hukum baru. Mengenyam pendidikan tinggi, agar dapat merubah dan memperbaiki nasib, bahkan orangtua para mahasiswa tersebut harus meminjam biaya perkuliahan anaknya kepada tetangga dan kerabat, namun itu menyerupai delusi pada era AI dewasa ini—bila tidak dapat disebut sebagai ilusi ataupun fatamorgana.

Apa yang tidak pernah diajarkan oleh berbagai sekolah hingga perguruan tinggi di dunia ini, terlebih di Indonesia, ialah cara menciptakan “luck factor”, faktor keberuntungan. Sebagaimana kita ketahui, yang menciptakan dan menuliskan sejarah, ialah pihak yang memenangkan sejarah. Prinsip yang sama, berlaku untuk urusan duniawi, mereka yang bisa berkomentar dan menghakimi orang lain yang lebih malang hidupnya, ialah mereka yang masih tergolong “mujur” alias “beruntung”. Dalam Buddhisme, terdapat postulat berikut : 1.) ketika Karma Buruk sedang berbuah, apapun yang kita perbuat, ucapkan, maupun lakukan, maka akan selalu disalahkan oleh orang lain dan selalu menemui kegagalan; dan sebaliknya 2.) ketika Karma Baik sedang berbuah, apapun yang kita perbuat, ucapkan, maupun lakukan—sekalipun ucapan dan perbuatan kita keliru—kita selalu didukung dan dibenarkan oleh orang lain serta selalu menemui keberhasilan.

Kini, pertanyaan paling relevan yang patut Anda ajukan ialah, bagaimana caranya, menciptakan “the LUCK FACTOR” tersebut? Tidak ada motivator yang menyamai Sang Buddha, Guru Agung para dewa dan para manusia, mengingat Sang Buddha dalam banyak sutta, membabarkan secara gamblang arti penting menanam benih-benih perbuatan baik, untuk kita petik sendiri buah manisnya dimasa mendatang—alias “faktor keberuntungan” itu sendiri yang telah ternyata mampu diciptakan dan ditanam untuk kemudian bertumbuh dan membuahkan hasil manisnya untuk kita petik sendiri dikemudian hari. Salah satunya dapat kita jumpai dalam khotbah Sang Buddha yang sangat memotivasi dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

IV. Sumanā

31 (1) Sumanā [Kitab Komentar mengidentifikasi Sumanā sebagai putri Raja Pasenadi dari Kosala.]

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Putri Sumanā, disertai oleh lima ratus kereta dan lima ratus dayang, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Putri Sumanā berkata kepada Sang Bhagavā:

“Di sini, Bhante, mungkin ada dua orang siswa Sang Bhagavā yang setara dalam hal keyakinan, perilaku bermoral, dan kebijaksanaan, tetapi yang satu dermawan sedangkan yang lainnya tidak. Dengan hancurnya jasmani, [33] setelah kematian, mereka berdua terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ketika mereka telah menjadi deva, apakah ada kesenjangan atau perbedaan antara mereka?”

“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā berkata. “Yang dermawan, setelah menjadi deva, akan mengungguli yang lainnya dalam lima hal: umur kehidupan surgawi, kecantikan surgawi, kebahagiaan surgawi, keagungan surgawi, dan kekuasaan surgawi. Yang dermawan, setelah menjadi deva, akan mengungguli yang lainnya dalam kelima hal ini.

“Tetapi, Bhante, jika kedua orang ini meninggal dunia dari sana dan sekali lagi menjadi manusia, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka?”

“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā berkata. “Ketika mereka sekali lagi menjadi manusia, yang dermawan akan mengungguli yang lainnya dalam lima hal: umur kehidupan manusia, kecantikan manusia, kebahagiaan manusia, kemasyhuran manusia, dan kekuasaan manusia. Ketika mereka sekali lagi menjadi manusia, yang dermawan akan mengungguli yang lainnya dalam kelima hal ini.

“Tetapi, Bhante, jika kedua orang ini meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka?”

“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā berkata. “Yang dermawan, setelah meninggalkan keduniawian, akan mengungguli yang lainnya dalam lima hal. (1) Ia biasanya mengenakan jubah yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang mengenakan jubah yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya. (2) Ia biasanya memakan makanan yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang memakan makanan yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya. (3) Ia biasanya menempati tempat tinggal yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menempati tempat tinggal yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya. (4) Ia biasanya menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya. (5) Teman-temannya para bhikkhu, yang dengan mereka ia menetap, biasanya memperlakukannya dengan cara-cara yang menyenangkan melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, jarang dengan cara-cara yang tidak menyenangkan. Mereka biasanya memberikan kepadanya apa yang menyenangkan, jarang memberikan [34] apa yang tidak menyenangkan. Yang dermawan, setelah meninggalkan keduniawian, akan mengungguli yang lainnya dalam kelima hal ini.

“Tetapi, Bhante, jika keduanya mencapai Kearahattaan, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka setelah mereka mencapai Kearahattaan?”

“Dalam hal ini, Sumanā, Aku nyatakan, tidak ada perbedaan antara kebebasan [yang satu] dan kebebasan [yang lainnya].”

Menakjubkan dan mengagumkan, Bhante! Sesungguhnya, seseorang memiliki alasan yang bagus untuk memberikan dana dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, karena perbuatan-perbuatan itu akan membantu jika ia menjadi deva, [sekali lagi] menjadi seorang manusia, atau meninggalkan keduniawian.

“Demikianlah, Sumanā!, demikianlah, Sumanā! Sesungguhnya, seseorang memiliki alasan yang bagus untuk memberikan dana dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, karena perbuatan-perbuatan itu akan membantu jika ia menjadi deva, [sekali lagi] menjadi seorang manusia, atau meninggalkan keduniawian.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Sempurna Menempuh Sang Jalan, Sang Guru, lebih lanjut berkata sebagai berikut:

Seperti halnya rembulan tanpa noda bergerak di sepanjang lintasan di angkasa cahayanya lebih cemerlang daripada semua bintang di dunia, demikian pula seseorang yang sempurna dalam perilaku bermoral, seorang yang memiliki keyakinan, lebih cemerlang karena kedermawanan daripada semua orang kikir di dunia.

“Seperti halnya awan hujan berpuncak-seratus, bergemuruh, di dalam lingkaran halilintar, menurunkan hujan ke bumi membanjiri dataran-dataran dan tanah rendah, demikian pula siswa Yang Tercerahkan Sempurna, yang bijaksana yang sempurna dalam penglihatan, melampaui orang kikir dalam lima aspek: umur kehidupan dan keagungan, kecantikan dan kebahagiaan. Memiliki kekayaan, setelah kematian ia bergembira di alam surga.” [35]

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.