Pemohon Uji Materiil adalah Pekerja / Buruh, namun yang Diuntungkan MK RI dalam Putusannya justru adalah Kalangan Pengusaha
Question: Bukankah sengketa ketenagakerjaan tergolong dalam genus perdata? Jika dalam sengketa perdata, kadaluarsa hak menggugat adalah 30 tahun, maka apakah artinya jika ada sengketa antara pekerja atau pegawai melawan pelaku usaha pemberi kerja, semisal terkait PHK (pemutusan hubungan kerja), maka kadaluarsa nya ialah 30 tahun kemudian sejak terkena PHK?
Brief Answer: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI)
telah memutus : “Gugatan oleh pekerja
/ buruh atas pemutusan hubungan kerja dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu
1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak
pengusaha.” Ironisnya, putusan MK RI dimohon oleh pihak dari kalangan
buruh / pekerja, dimana semestinya diputus untuk kepentingan kalangan buruh /
pekerja, namun telah ternyata dikabulkan akan tetapi substansi putusannya
justru menguntungkan pihak pengusaha alias merugikan pihak buruh / pekerja.
PEMBAHASAN:
Perihal kadaluarsa hak
menggugat bagi seorang buruh / pekerja terkait PHK yang ia alami, telah
terdapat putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 94/PUU-XXI/2023 tanggal 29
Februari 2024, yang dimohonkan oleh pihak berlatar-belakang “buruh” bernama Muhammad
Hafidz, yang mempermasalahkan ketentuan norma Undang-Undang terkait masa
kadaluarsa menggugat bagi kalangan “buruh / pekerja”. Dimana terhadapnya, Mahkamah
Konstitusi RI justru membuat putusan yang menguntungkan pihak “pelaku usaha”
alias “pengusaha”—sekalipun tidak ada pihak Tergugat dalam permohonan uji
materiil—dengan pertimbangan serta amar putusan yang “mengabulkan permohonan
namun merugikan kepentingan pihak Pemohon Uji Materiil” (mengabulkan
permohonan namun merugikan kepentingan Pemohon Uji Materiil), sebagai berikut:
[3.14.6] Bahwa dalam kaitan
dengan daluarsa 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya
keputusan PHK dari pihak pengusaha telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 61/PUU-VIII/2010 yang ditegaskan kembali dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XIII/2015 yang pada pokoknya
menyatakan:
“…Mahkamah menilai, batasan
jangka waktu paling lama satu tahun dalam Pasal 171 merupakan jangka waktu yang
proporsional untuk menyeimbangkan kepentingan pengusaha dan pekerja / buruh dan
tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Batasan demikian malah
penting demi kepastian hukum yang adil agar permasalahan tidak berlarut-larut
dan dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama;” [vide Sub
Paragraf [3.14.6] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 61/PUU-VIII/2010 yang
ditegaskan Paragraf [3.14] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XIII/2015]
Berdasarkan kutipan
pertimbangan hukum di atas, Mahkamah masih tetap dalam pendiriannya bahwa
daluarsa pengajuan gugatan tetap diperlukan agar dapat menyeimbangkan
kepentingan pengusaha dan pekerja / buruh. Batasan waktu untuk mengajukan
gugatan tersebut, penting artinya demi kepastian hukum yang adil agar permasalahan
antara pengusaha dan pekerja / buruh tidak berlarut-larut karena dapat
diselesaikan dalam jangka waktu yang jelas dan pasti.
Dengan demikian, untuk menjamin
kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,
keberlakuan Pasal 82 UU 2/2004 serta dengan mengingat tidak adanya ketentuan
lain yang mengatur mengenai batas waktu daluarsa mengajukan gugatan PHK ke
Pengadilan Hubungan Industrial, maka penting bagi Mahkamah untuk menegaskan
dalam amar putusan a quo bahwa norma Pasal 82 UU 2/2004 yang menyatakan “Gugatan
oleh pekerja / buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu)
tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha”,
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Gugatan oleh pekerja /
buruh atas pemutusan hubungan kerja dapat diajukan hanya dalam
tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan
dari pihak pengusaha”. Oleh karena permohonan a quo dikabulkan tidak
sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon maka permohonan Pemohon beralasan
menurut hukum untuk sebagian.
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
2. Menyatakan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Gugatan oleh
pekerja / buruh atas pemutusan hubungan kerja dapat diajukan hanya dalam
tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan
dari pihak pengusaha”.
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
4. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.