JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Mengapa Selalu Terjadi Pelanggaran Kebocoran Data Pribadi?

Pemerintah dan Polisi Kita Itu Sendiri yang Lebih Banyak Melanggar Aturan Hukum

Membuat Aturan Untuk Kemudian Dilanggar Sendiri oleh Pemerintah, Teladan yang Buruk Bagi Masyarakat

Question: Sudah ada UU PDP (Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi), namun mengapa masih juga banyak terjadi kasus kebocoran data-data pribadi masyarakat mulai dari BUMN hingga penyelenggara negara?

Brief Answer: Karena pemerintah kita sendiri di Indonesia, yang melanggarnya—alias menerbitkan Undang-Undang yang melarang segala bentuk penyalah-gunaan data-data pribadi penduduk / warga, namun disaat bersamaan pemerintah kita itu sendiri yang secara sengaja melanggarnya alias minimnya “political will” pemerintah. Bahkan, pelanggaran terjadi secara masif di dalam tubuh aparatur penegak hukum, salah satunya di “sarang polisi” yan semestinya menegakkan hukum akan tetapi pada tataran praktiknya justru melestarikan dan memelihara pelaku pelanggaran hukum terkait data-data pribadi masyarakat.

PEMBAHASAN:

Apa yang penulis kemukakan perihal “niat separuh hati” negara maupun pemerintah selaku penyelanggara negara di Indonesia dalam menegakkan aturan hukum perihal “perlindungan data pribadi”, bukanlah sebuah tudingan ataupun tuduhan tanpa bukti. Pada tahun 2023, penulis mengurus perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM) di SATPAS Jakarta Barat (sarang polisi tempat pembuatan dan perpanjangan SIM). Kita tahu, bahwa tes kesehatan yang biayanya tidak murah, hanya sekadar formalitas dimana itupun dapat dilakukan bukan oleh tenaga kesehatan medis. Saat itu pula, telah diberlakukan kewajiban mengikuti tes psikologi di SATPAS Jakarta Barat bagi setiap warga yang hendak membuat atau memperpanjang SIM.

Sangatlah tidak murah biaya mengikusi tes psikologi formalitas yang semestinya tidak membutuhkan biaya besar mengingat sifat tes hanya bersifat “online” di handphone masing-masing warga (alias paperless). Namun, terdapat satu ketentuan dalam tes psikologi rekanan pihak polisi di “sarang polisi” tersebut, yakni warga harus mencentang pernyataan “mengizinkan kami untuk MENYALAHGUNAKAN DATA-DATA PRIBADI WARGA pemohon pembuatan / perpanjangan SIM”. Ketika penulis tidak bersedia mencentangnya, penulis tidak bisa “submit” tes psikologi yang harus dibayar mahal oleh warga tersebut—bayar mahal untuk sebuah tes “formalitas” yang konyol, dan disaat bersamaan lebih harus bayar mahal berupa disalah-gunakannya data-data pribadi warga.

Tidak lama kemudian, bertubi-tubi tiap beberapa bulan masuk pesan ke aplikasi messenger ke nomor seluler penulis, berupa modus penipuan berkedok penawaran pekerjaan, mengatasnamakan Jobstreet maupun LinkedIn, sekalipun penulis tidak punya akun pada Jobstreet maupun LinkedIn. Salah satunya ialah penipu dari nomor +62 0856015328107 yang menurut sistem Google bernama “Kathryn Keely”, dengan kutipan percakapan sebagai berikut

+62 856-0153-28107: Assalamualaikum, perkenalkan nama saya Lydia, saya menghubungi Anda dengan tujuan untuk menawarkan pekerjaan online. Saya mendapatkan nomor Anda dari database Jobstreet & LinkedIn dan mungkin Anda sudah pernah melamar di sana. Bolehkah izinkan saya mulai dengan menjelaskan pekerjaan ini secara singkat?

Penulis : Kamu menyalahgunakan data-data warga yang mengurus SIM.

Penulis : Masyarakat sudah keluar uang banyak untuk kamu makan, masih juga serakah.

Penulis : Saya tidak punya akun jobstreet maupun Linkedln, kalian menyalahgunakan data saya persis setelah saya mengurus SIM di Jakarta Barat.

Penulis : Tidak takut dosa ya kalian?

Penulis : Penipu bekerja sama dengan polisi di sarang polisi.

Penulis : Polisi bekerja sama dengan penipu di sarang polisi, padahal sudah ada undang-undang PDP.

Penulis : Saya kutuk kalian wahai penipu, masuk neraka kalian semua, termasuk polisi-polisi penipu-pengecut tersebut yang hanya beraninya memeras warga sipil tidak bersenjata.

Penulis : Saya kutuk kalian semua wahai penipu, satu triliun kehidupan kalian berikutnya hidup melarat tidak punya uang untuk makan.

Penulis : Itu ya yang diajarkan Tuhan dan agama anda?

Penulis : Cuma takut terhadap babi tapi tidak takut menipu ataupun berbuat dosa.

Penulis : Sudah berapa banyak orang yang kalian tipu, untuk tes psikologi konyol mengada-ngada semacam itu yang harganya tidak murah dan di wajibkan di sarang polisi itu?

Penulis : Belum puas juga kalian menipu uang sebanyak itu dan orang sebanyak itu?

Penulis : Belum puas juga sudah banyak orang yang kalian tipu?

Penulis : Tuhan pun kalian tipu!

Seketika itu pula sang penipu memblokir nomor penulis, menyadari modus penipuannya telah disadari oleh penulis. Yang menjadi pertanyaan penulis ialah, apakah negeri kita kekurangan orang-orang “agamais”? Negeri kita selama ini kekurangan orang-orang yang berintegritas serta “otentik”—dalam artian bila penjahat maka tidak memakai “persona” (topeng atau kedok) seolah-olah “malaikat” (iblis berbulu malaikat). Bila penipu maka seharusnya mengaku sebagai penipu saat memperkenalkan diri kepada korbannya, bukan memakai wajah atau tutur-kata seolah orang yang jujur dan mulia.

Begitupula ketika penulis mengikuti program pemerintah berupa vaksin Corona Virus pada tahun 2020-an, pihak petugas Puskesmas meminta nomor handphone warga yang sudah mau bersusah-payah mendukung program pemerintah. Akan tetapi tidak lama kemudian, terdapat berondongan pesan penawaran internet dari perusahaan internet komersial ke nomor seluler penulis. Itu sikap pemerintah penyelenggara negara, bahkan polisi yang semestinya menegakkan hukum dan sudah disumpah-jabatan untuk melindungi dan mengayomi masyarakat.

Maka, kita patut bertanya, bagaimana dengan sikap para kalangan preman, mafia, penipu atau penjahat-penjahat diluar sana, jika polisi dan pemerintah kita sendiri saja sudah begitu jahat dan kerap melanggar hukum? Pihak pemerintah dan polisi kita itu sendiri, yang memberikan teladan buruk berupa ketidak-patuhan kepada masyarakat luas, sehingga menyerupai sebentuk “delusi” bila kita berharap para penjahat sipil akan patuh terhadap UU PDP yang bahkan jelas-jelas dilanggar sendiri oleh pemerintah dan polisi. Bila negara kita itu sendiri melanggar Undang-Undang yang ia terbitkan, atas dasar apa kita berharap dilindungi oleh negara bernama Indonesia ini, dimana para warganya tidak nasionalistik—tega merugikan, menyakiti, dan melukai sesama anak bangsa, namun disaat bersamaan “berdelusi” menjadi “pahlawan dunia” dalam isu global semacam Rohingya, Palestina, Uighur, dsb.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.