Ketika Keyakinan Mengalahkan dan Mengharamkan Otak
Keyakinan yang Meracuni dan Merusak Otak, bisa Begitu
Adiktif Menyerupai Candu Lainnya
Question: Belajar untuk menjadi pintar. Namun untuk apa kita susah-payah belajar, bila HP kita sudah pintar?
Brief Answer: IQ menyerupai potensi, potensi dalam diri kita
yang menunggu untuk dibangkitkan lewat proses belajar, mencerna, menganalisa, dan
mengolah data dalam pikiran. Akan tetapi banyak diantara tenaga pendidik kita
yang kerap membuat jargon : “IQ tidak
penting!”. Dengan demikian, sebagian besar tenaga pendidik maupun pemerhati
pendidikan kita di Indonesia memiliki pola berpikir seolah-olah SQ maupun EQ
seseorang individu tidak ada kaitannya dengan IQ. Ironisnya, bila kita merujuk
pada data empirik yang ada, yakni menurut World Population Review, rata-rata
tingkat kecerdasan (IQ) orang Indonesia berada pada urutan 130 di tahun 2022
dari sekitar 199 negara di dunia, dengan skor IQ ialah 78. Skor IQ dinilai
rendah saat berada di angka 70 ke bawah. Skor sangat rendah bisa menjadi
indikator “disabilitas intelektual”. Sementara itu, seseorang akan dianggap “jenius”
bila memiliki skor IQ mencapai 140.
Bangsa Indonesia, dengan demikian hanya menempati
peringkat ke-36 di Asia dengan rerata IQ 78,49. Sementara untuk peringkat
dunia, Indonesia menempati peringkat 130 alias diposisi “bontot”. Fakta
demikian menjadi sangat ironis, ditengah fakta bahwa rata-rata tingkat IQ
Bangsa Indonesia hampir menyentuh kualifikasi “disabilitas intelektual”. Sekalipun
tahun demi tahun tidak ada perubahan maupun perbaikan atas skor IQ Bangsa Indonesia,
para pemerhati dan pelaku industri pendidikan kita masih berpandangan “kolot”
bahwa : “IQ tidak penting!”—sebuah
ujaran yang salah negara dan salah alamat, karena itu diucapkan bukan oleh
sebuah bangsa yang IQ-nya tergolong tinggi, namun oleh sebuah bangsa yang
tingkat IQ-nya tergolong menyentuh “disabilitas intelektual”.
Fakta demikian diperkeruh dan diperparah dengan pola
berpikir “agamais”, seolah seorang warga cukup menghafal isi ayat-ayat pada
kitab agama mereka, sekalipun miskin dan “melarat” di dunia fana namun mereka
(berdelusi) yakin masuk alam surgawi setelah ajal menjemput mereka. Secara pribadi,
penulis menilai bahwa bukanlah pejabat di Kementerian Pendidikan yang menjadi
akar penyebab “disabilitas intelektual” bangsa kita, namun oleh para pemuka
agama kita yang “toxic”. Betapa tidak,
para pemuka agama kita meracuni dan merusak daya berpikir kritis dan logika
yang paling mendasar (basic logic). Sebagai
contoh, ini dan itu disebut sebagai “dosa”, “haram”, dan “maksiat”, namun pada
saat bersamaan menjadikan “penghapusan dosa” (abolition of sins) sebagai “halal
lifestyle” sekalipun jelas-jelas dan nyata-nyata hanya seorang pendosa yang
butuh penghapusan dosa.
Bagaimana mungkin, seorang pendosawan pecandu
ideologi korup bernama “penghapusan dosa”, hendak berceramah perihal hidup
suci, luhur, dan mulia? Itu menyerupai orang buta yang hendak menuntun para
butawan lainnya, “neraka” pun diyakini sebagai “surga”, dan berbondong-bondong menuju
ke arah sang butawan menuntun mereka. Alam surgawi bagi para pengikut “Agama
DOSA” tersebut—disebut demikian, semata karena mempromosikan ideologi korup “penghapusan
dosa” bagi para pendosawan alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari
dosa—dengan demikian lebih menyerupai “tong sampah” bagi kalangan pendosa. Sekalipun,
pepatah sudah lama mengingatkan kita, “don’t’
judge the book by the title”, dan “jangan menilai sebuah alam dari nama
yang dilekatkan”. Alam “neraka” yang disebut sebagai “surga”, tetap saja “neraka”.
Antara dogma “dosa dan maksiat adalah haram” dan “penghapusan
dosa adalah halal”, sejatinya merupakan dua proposisi yang saling
bertolak-belakang dan saling menegasikan satu sama lainnya. Ini dan itu disebut
sebagai “dosa” dan “maksiat”, seolah-olah mereka adalah “moralis” yang berhak menjadi
“polisi moral” yang karenanya juga berhak menghakimi orang lain, lalu berdelusi
sebagai kaum yang paling superior (akibat delusi). Akan tetapi disaat
bersamaan, mereka begitu kompromisik terhadap “dosa” dan “maksiat” tersebut,
dan disaat bersamaan begitu intoleran terhadap kaum yang berbeda keyakinan. Sekalipun,
jelas-jelas bahwa ideologi korup bernama “penghapusan dosa” tidak dapat
dinikmati bila tidak ada “dosa” maupun “maksiat” untuk dihapus. Itulah latar-belakangnya,
mengapa mereka meng-klaim bahwa yang tidak menganut “Agama DOSA” merupakan kaum
yang “merugi”.
PEMBAHASAN:
Menurut sebuah lembaga riset,
saat daftar negara dipersempit jadi negara di Asia Tenggara, Indonesia
menempati posisi buncit dari 9 negara (tidak ada data dari Brunei Darussalam
dan Timor Leste). Negara di Asia Tenggara dengan IQ tertinggi ditempati
Singapura (104,75), Vietnam (101,14) dan Malaysia (99,07). ementara secara
global, dihitung dari 199 negara yang terdaftar, Indonesia menempati posisi
ke-129. Kini, mari kita buktikan korelasi erat yang linear antara tingkat IQ
seseorang terhadap kualitas SQ yang bersangkutan. Bagaimana ceritanya, agama
yang justru mempromosikan “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa”—bagi kalangan pendosawan tentunya—disebut sebagai “Agama SUCI”? Jelas dan
nyata-nyata hanya seorang pendosa, yang butuh ideologi korup demikian. Alhasil,
tidak ada yang ditakutkan oleh kalangan pendosawan yang yakin seyakin-yakinnya akan
masuk alam surgawi setelah sang pendosa meninggal dunia, sekalipun itu mencuri,
berzina, korupsi, menipu, berkata dusta—kecuali terhadap “babi”.
Itulah penjelasannya, mengapa kejahatan-kejahatan
paling primitif yang dikenal dalam sejarah umat manusia, tidak satupun musnah
dari dunia ini, justru kian lestari, yakni semata agar “ada demand maka ada suppy”, ada “pendosa yang butuh penghapusan dosa” maka ada “misionaris
yang mempromosikan ideologi penghapusan dosa”. Alhasil, semakin banyak kalangan
pendosa di muka Bumi ini, maka semakin laku keras “Agama-Agama DOSA”, mereka
bahkan menyerupai “pecandu penghapusan dosa” yang begitu tergila-gila dan
mencandu ideologi kotor-tercela demikian. Bila dahulu kala, sebelum “Agama DOSA”
diperkenalkan ke dunia ini, tidak ada kalangan pendosawan yang yakin akan masuk
surga setelah kematian menjemput mereka. Namun kini, para pecandu ideologi
korup tersebut yakin akan masuk alam surga, sekalipun nyata-nyata “too good to be true”, sekalipun juga dosa-dosa
mereka telah “too big to fall”.
Cobalah tengok, setiap harinya
pemuka “Agama DOSA” berceramah mempromosikan “penghapusan dosa”, setiap hari
raya pesta-pora “penghapusan dosa”, bahkan ketika sang pendosawan meninggal
dunia maka sanak-keluarganya berdoa memohon “penghapusan dosa” bagi almarhum
sang pendosawan. Tidak pernah sekalipun mereka memikirkan nasib korban-korban mereka.
Mereka mengumandangkannya bahkan lewat speaker pengeras suara yang gelombang
suaranya menerobos masuk hingga toilet kediaman warga sekitar, tanpa malu dan
tanpa ditabukan. Sekalipun, nyata-nyata “berbuat dosa merupakan AURAT TERBESAR”.
Dari ujung rambut hingga ujung kaki, ditutupi busana. Namun perihal umbar “penghapusan
dosa”, justru dipertontonkan secara vulgar serta di-OBRAL.
Kabar gembira bagi pendosa,
sama artinya kabar buruk bagi kalangan korban. Seolah-olah, Tuhan lebih PRO
terhadap pendosa alih-alih bersikap adil bagi kalangan korban. Menjadi ironis, akibat
“disfungsi kognitif akut”, baik kaum muda maupun kaum tua di republik bernama Indonesia
ini, bahkan tidak mampu membedakan antara:
1.) Agama SUCI. Sebagaimana namanya, umat
pemeluknya ialah seorang suciwan, yang mana tidak butuh ideologi
korup-kotor-tercela-ternoda bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun
“penebusan dosa”. Mengingat para suciwan tidak butuh ideologi ataupun
iming-iming korup demikian, maka timbul distingsi pembeda (perbandingan) antara
si “suciwan” dan si “pendosa”. Para suciwan memuliakan Tuhan, dengan cara
menjadi manusia yang mulia. Hanya seorang pendosa, yang butuh iming-iming
ideologi korup bernama “penghapusan dosa”;
Para
suciwan disebut demikian, suci dan suciwan, semata karena lebih memilih hidup
dalam latihan diri yang ketat dalam praktik kontrol diri dan mawas diri (self-control), dimana mawas diri dan
perhatian terhadap perilaku, pikiran, dan ucapan sendiri adalah objek perhatian
utamanya, sehingga tiada seorang lainnya pun yang akan disakiti, dirugikan,
terlebih dilukai oleh sang suciwan. Mereka memurnikan serta memuliakan dirinya
dengan usaha diri mereka sendiri, tanpa noda, dan tidak tersandera, tanpa cela,
bebas sempurna, dan tercerahkan—yang dalam bahasa Buddhistik, “break the chain of kamma”;
2.) Agama KSATRIA. Sebagaimana namanya, umat
pemeluknya ialah seorang ksatria, yang mana memilih untuk
bertanggung-jawab atas setiap perilaku maupun perbuatan buruknya yang telah
pernah ataupun masih dapat menyakiti, melukai, dan merugikan pihak-pihak
lainnya, baik secara disengaja maupun akibat kelalaiannya, dimana
korban-korbannya tidak perlu bersusah-payah menagih tanggung-jawab, bahkan sang
ksatria menyadari bahwa sekalipun ia bertanggung-jawab semisal dengan
ganti-rugi biaya berobat hingga korbannya sembuh, tetap saja sang korban masih
merugi waktu, merugi pikiran, merugi tenaga, belum lagi kenyataan fisiknya
tidak dapat pulih sempurna seperti sebelumnya. Singkat kata, para kaum ksatria
senantiasa “tahu diri”.
Ideologi
bertanggung-jawab yang penuh tanggung-jawab kalangan ksatria, dianggap sebagai
ancaman maupun musuh terbesar di mata kaum dosawan yang membuat para dosawan
tersebut tampak sebagai “manusia sampah” yang selama ini menjadi pecandu tetap
iming-iming “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”—sementara
kalangan ksatria justru mempromosikan gerakan hidup bertanggung-jawab dan
berke-jantan-an alih-alih “cuci tangan” ataupun lari dari tanggung-jawab.
Kalangan korban yang telah dirugikan / terluka, tidak perlu sibuk menagih
tanggung-jawab—terlebih mengemis-ngemis tanggung-jawab—dari seseorang berjiwa
ksatria. Karenanya, seorang ksatria layak menyandang gelar sebagai seseorang
yang “jantan”, alias jentelmen, bukan “pengecut” yang lari dari tanggung-jawab
maupun “cuci dosa” (sins laundring);
3.) Agama DOSA. Sebagaimana namanya, umat
pemeluknya disebut sebagai seorang pendosa, dimana para dosawan menjadi
umatnya, yang mana memilih untuk tetap berbuat dosa semata agar dapat menjadi
pecandu yang mencandu ideologi korup penuh kecurangan bernama “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (abolition
of sins)—masuk ke dalam lingkaran komunitas “pendosa”, memakan dan termakan
ideologi korup penuh kecurangan, terjebak untuk selamanya, “point of no return”.
Bagaikan
raja yang lalim, yang senang ketika dipuja-puji oleh hamba-hambanya, lalu
memberikan hadiah, dan akan murka sejadi-jadinya ketika tidak disembah-sujud
sebelum kemudian memberikan hukuman, maka para pendosa yang pandai menyanjung
dan “menjilat” (pendosa penjilat penuh dosa) akan dimasukkan ke alam
surgawi—alam dimana telah sangat tercemari oleh kekotoran batin para pendosa
yang menjadi mayoritas penghuninya jika tidak dapat disebut sebagai
satu-satunya penghuni alam surgawi. Dengan kata lain, secara tidak langsung,
para dosawan menggambarkan sosok Tuhan tidak ubahnya “raja yang lalim”.
Itulah
penjelasannya, mengapa berbagai penjara di Indonesia tidak pernah sepi dari
para narapidana penghuninya, bahkan sepanjang tahun selalu mengalami fenomena
klise “overcapacity” dan “overload” yang konon sepanjang tahunnya
hampir mendekati 200% kapasitas maksimum, sekalipun bangsa kita dikenal
“agamais” (kurang “agamais” apa, warga di negeri ini?), disamping fakta aktual
bahwasannya jauh lebih banyak aduan maupun laporan warga korban pelapor yang
diabaikan dan ditelantarkan oleh aparatur penegak hukum. Alam surgawi,
karenanya, menjadi menyerupai “dunia manusia jilid kedua”, dimana para pendosa
kembali beraksi tanpa “self-control”
(menyakiti, merugikan, maupun melukai) orang-orang maupun makhluk-makhluk
lainnya. Ketika kalangan pendosawan ini berceramah perihal hidup mulia, itu
ibarat orang buta hendak menuntun kalangan butawan lainnya, alam neraka pun
disebut sebagai “surga”.
Akibat dijajah dan terjajah
oleh ideologi yang merusak intelektual suatu bangsa, pada muaranya “disabilitas
intelektual” menjadi konsekuensi logisnya. Pada gilirannya, bangsa kita menjadi
objek yang mudah untuk dimanipulasi, dibodohi, dieksploitasi, diperdaya, baik
oleh para pemuka agama, oleh para pelaku usaha, bahkan oleh pemerintahan mereka
sendiri. Bukanlah teknologi canggih berbasis digital dan Artificial Intelligence yang membuat bangsa kita bodoh dan pemalas,
kita justru memiliki banyak opsi pembelajaran dan derasnya arus informasi
maupun sumber pembelajaran lewat dunia digital yang melimpah dan dapat kita
seleksi sesuai kebutuhan. Bangsa kita sudah bodoh dan sudah terbiasa dibodohi
sejak era konvensional pra digital, berkat para pemuka “Agama DOSA” yang
memutar-balikkan antara “suci” dan “dosa”, antara “neraka” dan “surga”, dan
lain sebagainya.