Pemberatan Kesalahan Pidana Terletak pada Keadaan Seputar ACTUS REUS, Tidak Semata Beratnya Barang Bukti Obat-Obatan Terlarang
Question: Untuk perkara-perkara yang melibatkan obat-obatan terlarang ilegal, apakah pelakunya hanya akan terancam hukuman mati bila barang buktinya mencapai sekian kilogram, ataukah harus belasan atau puluhan kilogram, barulah dapat dijatuhi putusan “mati”?
Brief Answer: Disamping beratnya barang bukti sitaan dari
seorang Tersangka / Terdakwa, terdapat juga apa yang dalam praktik peradilan
pidana di Indonesia (best practice)
dikenal dengan istilah “keadaan yang memberatkan”. Contoh paling sederhana,
seorang bandar ditangkap karena menjadi bandar obat-obatan terlarang mencapai
seberat sekian kilogram, lalu divonis pidana penjara. Selama masih menjalani
masa hukuman, dibalik jeruji penjara, telah ternyata sang Terpidana kembali
menjadi otak kejahatan peredaran obat-obatan terlarang di dalam maupun diluar “lembaga
pemasyarakatan” (Lapas), dimana sekalipun barang bukti sitaannya hanya sekian
gram—tidak mencapai kilogram—maka pelakunya berpotensi divonis pidana “MATI”.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman,
terdapat sebuah kasus nyata yang dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat
putusan Mahkamah Agung RI No. 2629 K/PID.SUS/2015 tanggal 23 Februari 2016, berisi
pertimbangan hukum serta amar putusan Mahkamah Agung RI yang menarik untuk
disimak, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:
“Bahwa alasan kasasi Jaksa / Penuntut
Umum dapat dibenarkan, Judex Facti Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum
dalam hal memperbaiki putusan Judex Facti Pengadilan Negeri dengan mengurangi
hukuman Terdakwa dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup;
“Bahwa sangat keliru Judex
Facti / Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan
Undang-Undang 1945, karena dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang 1945 menyatakan
Indonesia adalah negara hukum, dengan demikian konsekwensi setiap
penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas harus berdasarkan hukum termasuk
Undang-Undang yang dibuat oleh DPR bersama pemerintah yang merupakan
representasi dari kehendak rakyat Indonesia. Undang-Undang tentang Narkotika
Nomor 35 Tahun 2009 yang mengatur tentang hukuman mati merupakan upaya untuk
memberantas Narkotika yang semakin menjamur di Indonesia mengancam keselamatan
bangsa dan negara;
“Bahwa Judex Facti / Pengadilan
Tinggi terlihat hanya mempertimbangkan kepentingan Terdakwa semata, tidak
mempertimbangkan akibat dari perbuatan Terdakwa mengorbankan masyarakat
Indonesia yang menurut penelitian BNN tahun 2015 pengguna Narkotika telah
mencapai 5.100.000 (lima juta seratus ribu) orang di Indonesia dan setiap hari
lebih 60 (enam puluh) orang meninggal dunia dengan demikian dipandang tidak
adil menjunjung tinggi hak terhadap Terdakwa disisi lain hak hidup korban akibat
pengguna Narkotika dari perbuatan Terdakwa tidak diperhatikan; Di negara
besar di dunia seperti halnya Amerika Serikat di beberapa negara bagian masih
tetap menerapkan pidana mati;
“Bahwa alasan Judex Facti
Pengadilan Tinggi mengurangi hukuman Terdakwa pada pokoknya adalah penjatuhan
pidana mati harus dipertimbangkan secara saksama dan teliti karena berkaitan
dengan nyawa seseorang, selain itu barang bukti yang menjadi pertimbangan berat
ringannya pidana dalam perkara a quo jumlahnya hanya sebanyak 350 gram,
jumlahnya jauh dari barang bukti pelaku tindak pidana Narkotika yang telah
menjalani eksekusi;
“Bahwa alasan pertimbangan
Judex Facti Pengadilan Tinggi tersebut tidak beralasan sebab tidak
mempertimbangkan secara lebih mendalam makna ketentuan Pasal 8 ayat (2)
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Jo. Pasal 197 Ayat (1) Huruf F KUHAP;
“Bahwa alasan pertimbangan
Judex Facti Pengadilan Tinggi mengenai jumlah barang bukti sebanyak 350 gram
kurang tepat sebab Terdakwa sudah kali kedua melakukan tindak pidana Narkotika.
Pada perkara yang pertama Terdakwa ditangkap dan dipersalahkan melakukan tindak
pidana Narkotika dengan barang bukti 3 kg heroin;
“Bahwa Terdakwa yang sedang
menjalani pidana penjara selama 20 tahun atas perkara yang pertama, ternyata
sifat jahat Terdakwa belum kembali normal, Terdakwa belum sadar dan bertobat
atas segala perbuatannya yang merugikan dan merusak jiwa dan raga manusia / pengguna
secara massif. Bahkan Terdakwa tidak merasa bersalah dan menyesal dengan
mengulangi lagi tindak pidana yang sejenis / sama;
“Bahwa penjatuhan pidana
seumur hidup bagi Terdakwa tidak akan mengurangi niat atau sifat atau kelakuan
jahat Terdakwa. Penjatuhan pidana seumur hidup bagi Terdakwa tidak ada jaminan
bahwa Terdakwa tidak mengulangi perbuatannya;
“Bahwa salah satu cara untuk
mencegah Terdakwa mengulangi perbuatan a quo adalah dengan menjatuhkan pidana
mati bagi Terdakwa sehingga Terdakwa tidak lagi melakukan kegiatan peredaran
gelap Narkotika;
“Bahwa keberadaan Terdakwa
di Lembaga Pemasyarakat sangat berbahaya karena dapat mempengaruhi orang di
dalam LP maupun di luar LP hal ini dibuktikan Terdakwa dapat mengendalikan
Narkotika di luar LP dengan menggunakan jaringan yang sudah dibangun Terdakwa
sebelumnya;
“Bahwa alasan yuridis
memperberat hukuman Terdakwa yaitu Terdakwa sudah dalam posisi sebagai residive
melakukan tindak pidana;
“Bahwa selain alasan tersebut, Terdakwa
adalah bagian dari sindikat peredaran gelap Narkotika dan mempunyai peranan
yang signifikan, sehingga untuk mematahkan pergerakan Terdakwa dan jaringannya
Terdakwa harus dijatuhi pidana mati;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi
dari Penuntut Umum dan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor:
69/PID/2015/PT.BTN tanggal 24 Agustus 2015 yang memperbaiki Putusan Pengadilan
Negeri Tangerang Nomor: 1974/PID.SUS/2014/PN.TNG tanggal 1 April 2015, untuk kemudian
Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana
yang akan disebutkan di bawah ini;
“Menimbang, bahwa sebelum
menjatuhkan pidana Mahkamah Agung akan mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan yang meringankan Terdakwa;
Hal-hal yang memberatkan:
- Perbuatan Terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang sedang giat-giatnya
memberantas Narkotika;
- Perbuatan Terdakwa dapat mengakibatkan kerugian jiwa, raga dan harta
benda bagi bangsa dan negara Indonesia termasuk masyarakat;
- Perbuatan Terdakwa merusak generasi muda dan bangsa Indonesia;
- Terdakwa sebagai otak / pengendali bisnis Narkotika dari balik
Tahanan Lapas, dan Terdakwa sedang menjalani pidana di LAPAS;
- Motivasi Terdakwa untuk mendapat uang semata;
Hal-hal yang meringankan:
- Nihil;
“MENGADILI :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Jaksa / Penuntut Umum
pada Kejaksaan Negeri Tangerang tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor: 69/PID/2015/PT.BTN
tanggal 24 Agustus 2015 yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Tangerang
Nomor: 1974/PID.SUS/2014/PN.TNG tanggal 1 April 2015 tersebut;
MENGADILI SENDIRI,
1. Menyatakan Terdakwa SIMON IKECHUKWU EZEAPUTA alias NICK alias IKE
CHUKUNG EZE alias NICK HORRISON telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana: Tanpa hak atau melawan hukum melakukan
permufakatan jahat menjadi perantara dalam jual beli Narkotika Golongan I dalam
bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram dan Mentransfer atau
menitipkan uang yang berasal dari tindak pidana Narkotika;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa SIMON IKECHUKWU EZEAPUTA alias
NICK alias IKE CHUKUNG EZE alias NICK HORRISON oleh karena itu dengan pidana
MATI;
3. Menetapkan barang bukti berupa:
- 1 (satu) buah kotak kardus
yang di dalamnya terdapat 1 (satu) buah pajangan kalender berbentuk mobil
mainan yang pada bagian rodanya berisi : 1 (satu) bungkus plastik berisikan
Kristal putih yang diduga Narkotika jenis Shabu dengan berat brutto 350 (tiga
ratus lima puluh) gram;
Dipergunakan dalam perkara
terpisah an. Terdakwa EMMY ROMAULI SILALAHI A.D HUMALA SILALAHI.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.