JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Pinjam Kredit dari BANK, namun Ditagih oleh RENTENIR, dan Agunan Dilelang oleh MAFIA TANAH

Kita akan membahas “dunia gelap perbankan”. Anda dan siapa saja, sebaiknya mulai mampu mengenalinya, agar tidak turut menjadi KORBAN.

Apa yang diulas berikut ini bukanlah sebuah dongeng, namun kisah nyata yang dialami oleh seorang Klien, sebuah Korporasi yang meminjam kredit dari BANK, akan tetapi mendadak ditagih oleh RENTENIR PERORANGAN, dan agunannya dilelang oleh MAFIA TANAH.

Apa penyebabnya?

Peristiwa demikian bisa terjadi kepada semua kalangan “nasabah debitor”—baik Debitor pada lembaga keuangan swasta maupun “plat merah”, meskipun kasus demikian lebih banyak dijumpai pada praktik BANK swasta.

Akar penyebab masalahnya, ialah inkonsistensi pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kita di Indonesia, yang menjadi “celah hukum” bagi BANK untuk berkomplot dengan RENTENIR PERORANGAN.

Yakni, pasal hukum perdata tentang CESSIE atau yang juga dikenal dengan istilah SUBROGASI.

Makna sederhana CESSIE / SUBROGASI ialah, peralihan piutang disertai agunan yang menjadi jaminan pelunasan hutang, dari “Kreditor Semula” kepada “Kreditor Baru”—terjadinya sekalipun tanpa persetujuan Debitor.

Alhasil, Akta Ceccie terjadi secara Bipartrit yang, seringkali tanpa melibatkan, tanpa sepengetahuan, terlebih seizin Debitor pemilik agunan.

Pada titik itu saja, sebenarnya sudah dapat kita cermati “moral hazard” dibalik pengaturan hukum perdata peninggalan / warisan Kolonial Belanda yang masih diterapkan oleh Republik Indonesia hingga saat kini.

Disini, sejatinya terjadi “standar ganda”. Dalam kasus-kasus seperti “Over Kredit”, yakni peralihan hutang dari “Debitor Semula” kepada “Debitor Baru”, butuh izin dan persetujuan dari “Kreditor”—alias Tripartit.

Pertanyaannya, mengapa untuk “Over Kredit”, perjanjian bersifat Tripartit, namun untuk kasus Cessie justru sifat perjanjiannya hanya Bipartrit saja—sekalipun jelas Debitor memiliki kepentingan terhadap agunan miliknya?

Gaibnya, praktik “hukum yang irasional” demikian telah berlangsung sejak seabad yang lampau, hingga detik ini.

Hukum di Indonesia tergolong “salah urus”. Dapat Anda bayangkan, selama ini terjadi praktik “BANK menjual piutangnya (cessie) kepada KREDITOR PERORANGAN”.

Secara falsafah, itu praktik yang menyimpang. Atas alasan apakah?

Pertama, BANK memiliki karakteristik Kredit yang berbeda dengan KREDITOR PERORANGAN. Rata-rata Perjanjian Kredit Modal Kerja dari pihak BANK, menerapkan sistem “suku bunga mengambang” (floating rate)—sehingga tingkat suku bunga kredit pada bulan berjalan dapat berbeda dengan tingkat suku bunga bulan-bulan cicilan sebelumnya maupun di bulan yang akan datang.

Sementara itu, KREDITOR PERORANGAN, tidak dapat berlaku “floating rate”—akan tetapi sebatas “fixed rate” alias “suku bunga tetap”, yang menurut berbagai preseden Mahkamah Agung RI, hanya dibatasi maksimumnya antara 6—12% per tahun, dan itu harus disepakati di muka.

Apa jadinya, Perjanjian Kredit dari BANK mengatur “floating rate”, sementara itu piutang kemudian di-Cessie-kan atau dialihkan kepada KREDITOR PERORANGAN?

Itulah “celah hukum” kedua yang dimanfaatkan RENTENIR PERORANGAN, yakni “atur suka-suka” dan “tagih suka-suka” sang RENTENIR.

Secara falsafah, BANK hanya dapat menjual / mengalihkan piutangnya kepada BANK lain. Bahkan antara BANK UMUM dan BANK SYARIAH saja, tidak dapat saling dipertukarkan. Atas dasar argumentasi apakah?

Selain karena faktor jenis suku bunga—antara “floating” dan “fixed rate”, kita ambil contoh sederhana Koperasi Simpan Pinjam. Bisakah Koperasi Simpan Pinjam membeli piutang BANK atau sebaliknya menjual piutangnya kepada BANK?

Jawabannya ialah : Tidak diperkenankan secara hukum. Atas alasan yang sangat sederhana : Koperasi bersifat “dari anggota dan untuk anggota”.

Tahukah Anda, mengapa sekalipun Koperasi Simpan Pinjam memberlakukan tingkat suku bunga yang jauh lebih tinggi daripada BANK, namun anggotanya relatif lebih terjamin? Itu karena ada bagi hasil usaha pada akhir tahun buku, sehingga pada ujungnya akan kembali kepada masing-masing anggota juga.

Kita ambil contoh Fintech, finansial technology alias Pinjaman Daring, yang kita tahu bunga pinjamnnya dapat beranak-pinak dalam hitungan hari dan bulan. Apa jadinya, bila BANK menjual piutangnya kepada Fintech?

Jadi, ada “Kredit Macet” yang disebabkan faktor Debitor itu sendiri, dan ada juga “Kredit Macet” yang “by design” alias dirancang oleh sang Kreditor itu sendiri.

Secara sosiologi, ketika agunan milik Debitor diikat dengan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang—terutama nilai harga jual aset agunan jauh diatas outstanding total hutang—maka posisi tawar Debitor menjadi lemah, dimana “posisi dominan” dipegang oleh pihak BANK, yang sewaktu-waktu dapat mem-“parate eksekusi” dengan kekuasaan sendiri melelang agunan milik Debitor.

Bukan satu atau dua kasus kejadian, dimana Debitor terkejut, mendadak dirinya ditagih oleh RENTENIR PERORANGAN, sekalipun meminjam Kredit dari BANK.

Ingin aman, meminjam dari BANK yang diawasi oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan), namun mendadak ditagih oleh RENTENIR PERORANGAN. Ini fakta kejadian di lapangan, dan korbannya sudah cukup banyak. Jangan pernah terkecoh oleh logo “diawasi oleh OJK” yang tertempel pada pintu-pintu kaca BANK. [untuk lebih jelasnya, lihat kasus Jiwasraya, OJK lepas tangan dan lepas tanggung-jawab]

Ketika Anda mengetahui dan memahami praktik gelap “white collar crime” lembaga perbankan yang berkolusi dengan MAFIA TANAH, Anda akan sampai pada satu kesimpulan tunggal : jangan pernah pinjam Kredit dari BANK.

Kedua, terjadi “moral hazard”, berupa sepasang modus yang dilancarkan oleh sang RENTENIR PERORANGAN (Pembeli Cessie). Ini modus paling klasik dan paling klise, yang polanya sebenarnya mudah dikenali, jika Anda selaku Debitor cukup cermat.

Yakni, modus “MARK UP” tagihan, dan disaat bersamaan menerapkan modus “MARK DOWN” Nilai Limit Lelang Eksekusi Hak Tanggungan yang mana pihak pembelinya ialah afiliasi atau anak buah sang RENTENIR PERORANGAN (Pembeli Cessie). Bagian ini yang paling menarik, mari kita bahas satu per satu.

Ada dua jenis “suku bunga”, yakni “suku bunga abstrak” dan “suku bunga aktual”.

Ingat, jangan pernah terkecoh oleh “suku bunga abstrak” yang terdapat dalam Surat Perjanjian Kredit. Karena, antara “suku bunga abstrak” diatas kertas bernama Akta Kredit, dapat sangat bersenjang dengan fakta realita berlangsungnya masa Kredit, yang bernama “suku bunga aktual”.

Jika Anda menemukan komponen-komponen tagihan berikut di dalam surat tagihan Kredit Anda, maka itulah yang dikenal dengan istilah sebagai “BUNGA TERSELUBUNG”, terdiri dari: denda, pinalti, denda terhadap denda, denda terhadap cicilan tertunggak, biaya ini itu, dan lain sebagainya.

Dalam praktik, “bunga” dapat kalah jauh dengan tingkat “suku bunga majemuk” demikian. Total hutang Anda, menggelembung bukan karena “bunga”, namun berkat “BUNGA TERSELUBUNG”.

Sampai disini saja, sebenarnya Anda sudah mulai memahami dan menyadari betapa “lintah darat”-nya lembaga-lembaga keuangan perbankan kita di Indonesia. Tidak ada BANK yang bukan “SHARK LOAN”. Jangan pernah terkecoh oleh iming-iming “BUNGA” rendah, itu jebakan BANK.

Berikut ini, bahkan diterapkan oleh MAFIA berkedok BANK : suku bunga cukup 1 digit, namun denda, pinalti, biaya, dsb, 2 digit.

Lantas, bagaimana membaca dan memetakan modus ini?

Jawabannya cukup sederhana, yang mungkin tidak Anda sadari akibat “terlampau sederhana”. Yakni : Pelajari “BUNGA AKTUAL”-nya.

Ambil surat somasi / peringatan pertama yang Anda terima dari pihak Kreditor—entah itu “Kreditor Penjual Cessie” maupun “Kreditor Pembeli Cessie”. Lalu, bandingkan dengan total tagihan pada surat somasi kedua, bandingkan juga dengan total tagihan pada surat somasi ketiga, dst.

Langkah berikutnya, hitung berapa jeda waktu antara somasi pertama, kedua, dan somasi ketiga, dst. Berangkat dari basis itulah, kita dapat meng-kalkulasi “BUNGA AKTUAL” alias “BUNGA TERSELUBUNG” yang ditagihkan kepada Anda.

Saya jamin, Anda akan terkejut, berapa persen-kah sebenarnya Anda telah “diperas”—dalam artian yang sesungguhnya.

Ketiga, inilah fase dimana “moral hazard” benar-benar dipertontonkan secara vulgar. Jelas terdapat “CONFLICT OF INTEREST” (konflik kepentingan), ketika antara Pembeli Cessie (Pemohon Lelang Eksekusi) dan pihak Pembeli Lelang Eksekusi terhadap agunan pelunasan hutang, adalah saling terafiliasi atau bahkan “nominee” utusan pihak Pembeli Cessie (Pemohon Lelang).

Itulah, ketika kita sandingkan antara “MARK UP” tagihan, lalu terdapat pola dampingan berupa adanya modus “MARK DOWN” Nilai Limit Lelang, mengingat sang RENTENIR PERORANGAN Pembeli Cessie itu sendiri yang menentukan di-harga berapakah agunan Anda akan dilelang.

Bukankah yang melelang, ialah Kantor Lelang Negara?

Ketika Debitor pemilik agunan selaku KORBAN menggugat kedua Kreditor beserta Kantor Lelang Negara, pihak Kantor Lelang Negara berkelit : “Kami tidak bertanggung-jawab atas kesemua itu, sekalipun kami memungut Bea Lelang dan kami diberi dokumen persyaratan lelang berisi tagihan-tagihan RENTENIR yang bunganya mencapai hampir 100% per tahun tersebut.”—itu fakta, dan ini realita dalam praktik di lapangan.

Fakta, negara dan pemerintah tidak benar-benar hadir untuk melindungi warganegaranya. Anda, kita semua selaku anggota masyarakat, dipaksa harus mencari sendiri jalan untuk selamat, seorang diri.

Adalah wajar, bila kemudian saya menjuluki Kantor Lelang Negara maupun para Pejabat Lelang-nya sebagai “as a tool of RENTENIR”.

Lantas, bagaimana kiatnya, jika perusahaan Anda betul-betul terpaksa membutuhkan suntikan dana kredit?

Maka rekomendasinya ialah pinjamlah Kredit dari BANK “plat merah”. Bukan berarti BANK-BANK “plat merah” tidak turut terlibat dalam praktik jual-beli piutang, namun setidaknya tidak semasif praktik jual-beli piutang di BANK swasta.

Bila Anda merasa aman, meminjam Kredit dari BANK, maka itu adalah ilusi dan delusi, suatu fatamorgana yang memang dirancang oleh pihak perbankan lewat desain kantornya yang tampak apik dan bonafid.

Apa yang menjadi “front door”, berupa petugas yang tampak bersih, ramah, penuh SOP, diawasi OJK, namun “back door”-nya ialah berisi sindikat-sindikat MAFIA TANAH.

Saat modus-modus tersembunyi dan terselubung BANK yang berkomplot dengan MAFIA TANAH demikian saya ungkap, menjadi terang-benderang dan sang Klien kemudian menggugat kesemua pihak tersebut di atas, barulah para MAFIA TANAH tersebut menjelma “tikus yang lari ketakutan”—karena AURAT-nya dibongkar dan diungkap.

Ironisnya, para pelakunya tergolong orang-orang yang “berdasi”, benar-benar “white collar” dalam arti sesungguhnya—sekalipun, semua itu hanyalah “persona” alias “topeng” belaka untuk menyembunyikan taring jahat haus darah mereka.

Yang paling membuat ironis ialah, telah ternyata Kantor Lelang Negara hanya berfungsi sebagai “as a tool of RENTENIR”. Negara, tidak pernah benar-benar hadir untuk melindungi masyarakat.

Mereka, yang pernah menjadi korban pengabaian dan penelantaran oleh negara, karena seharusnya dilindungi namun telah ternyata justru lebih berpihak kepada sindikat MAFIA, jangan pernah berharap republik ini akan timbul kepatuhan pembayaran pajak.