Kita akan membahas “dunia gelap perbankan”. Anda dan siapa saja, sebaiknya mulai mampu mengenalinya, agar tidak turut menjadi KORBAN.
Apa yang diulas berikut ini
bukanlah sebuah dongeng, namun kisah nyata yang dialami oleh seorang Klien,
sebuah Korporasi yang meminjam kredit dari BANK, akan tetapi mendadak ditagih
oleh RENTENIR PERORANGAN, dan agunannya dilelang oleh MAFIA TANAH.
Apa penyebabnya?
Peristiwa demikian bisa terjadi
kepada semua kalangan “nasabah debitor”—baik Debitor pada lembaga keuangan
swasta maupun “plat merah”, meskipun kasus demikian lebih banyak dijumpai pada
praktik BANK swasta.
Akar penyebab masalahnya, ialah
inkonsistensi pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kita di
Indonesia, yang menjadi “celah hukum” bagi BANK untuk berkomplot dengan
RENTENIR PERORANGAN.
Yakni, pasal hukum perdata tentang
CESSIE atau yang juga dikenal dengan istilah SUBROGASI.
Makna sederhana CESSIE / SUBROGASI
ialah, peralihan piutang disertai agunan yang menjadi jaminan pelunasan hutang,
dari “Kreditor Semula” kepada “Kreditor Baru”—terjadinya sekalipun tanpa
persetujuan Debitor.
Alhasil, Akta Ceccie terjadi secara
Bipartrit yang, seringkali tanpa melibatkan, tanpa sepengetahuan, terlebih
seizin Debitor pemilik agunan.
Pada titik itu saja, sebenarnya
sudah dapat kita cermati “moral hazard”
dibalik pengaturan hukum perdata peninggalan / warisan Kolonial Belanda yang
masih diterapkan oleh Republik Indonesia hingga saat kini.
Disini, sejatinya terjadi “standar
ganda”. Dalam kasus-kasus seperti “Over Kredit”, yakni peralihan hutang dari
“Debitor Semula” kepada “Debitor Baru”, butuh izin dan persetujuan dari
“Kreditor”—alias Tripartit.
Pertanyaannya, mengapa untuk “Over
Kredit”, perjanjian bersifat Tripartit, namun untuk kasus Cessie justru sifat
perjanjiannya hanya Bipartrit saja—sekalipun jelas Debitor memiliki kepentingan
terhadap agunan miliknya?
Gaibnya, praktik “hukum yang
irasional” demikian telah berlangsung sejak seabad yang lampau, hingga detik
ini.
Hukum di Indonesia tergolong “salah
urus”. Dapat Anda bayangkan, selama ini terjadi praktik “BANK menjual
piutangnya (cessie) kepada KREDITOR PERORANGAN”.
Secara falsafah, itu praktik yang
menyimpang. Atas alasan apakah?
Pertama, BANK memiliki
karakteristik Kredit yang berbeda dengan KREDITOR PERORANGAN. Rata-rata
Perjanjian Kredit Modal Kerja dari pihak BANK, menerapkan sistem “suku bunga
mengambang” (floating rate)—sehingga
tingkat suku bunga kredit pada bulan berjalan dapat berbeda dengan tingkat suku
bunga bulan-bulan cicilan sebelumnya maupun di bulan yang akan datang.
Sementara itu, KREDITOR PERORANGAN,
tidak dapat berlaku “floating rate”—akan
tetapi sebatas “fixed rate” alias
“suku bunga tetap”, yang menurut berbagai preseden Mahkamah Agung RI, hanya
dibatasi maksimumnya antara 6—12% per tahun, dan itu harus disepakati di muka.
Apa jadinya, Perjanjian Kredit dari
BANK mengatur “floating rate”,
sementara itu piutang kemudian di-Cessie-kan atau dialihkan kepada KREDITOR
PERORANGAN?
Itulah “celah hukum” kedua yang
dimanfaatkan RENTENIR PERORANGAN, yakni “atur suka-suka” dan “tagih suka-suka”
sang RENTENIR.
Secara falsafah, BANK hanya dapat
menjual / mengalihkan piutangnya kepada BANK lain. Bahkan antara BANK UMUM dan
BANK SYARIAH saja, tidak dapat saling dipertukarkan. Atas dasar argumentasi
apakah?
Selain karena faktor jenis suku
bunga—antara “floating” dan “fixed rate”, kita ambil contoh sederhana
Koperasi Simpan Pinjam. Bisakah Koperasi Simpan Pinjam membeli piutang BANK
atau sebaliknya menjual piutangnya kepada BANK?
Jawabannya ialah : Tidak
diperkenankan secara hukum. Atas alasan yang sangat sederhana : Koperasi
bersifat “dari anggota dan untuk anggota”.
Tahukah Anda, mengapa sekalipun
Koperasi Simpan Pinjam memberlakukan tingkat suku bunga yang jauh lebih tinggi
daripada BANK, namun anggotanya relatif lebih terjamin? Itu karena ada bagi
hasil usaha pada akhir tahun buku, sehingga pada ujungnya akan kembali kepada
masing-masing anggota juga.
Kita ambil contoh Fintech, finansial technology alias Pinjaman
Daring, yang kita tahu bunga pinjamnnya dapat beranak-pinak dalam hitungan hari
dan bulan. Apa jadinya, bila BANK menjual piutangnya kepada Fintech?
Jadi, ada “Kredit Macet” yang
disebabkan faktor Debitor itu sendiri, dan ada juga “Kredit Macet” yang “by design” alias dirancang oleh sang
Kreditor itu sendiri.
Secara sosiologi, ketika agunan
milik Debitor diikat dengan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan
hutang—terutama nilai harga jual aset agunan jauh diatas outstanding total hutang—maka posisi tawar Debitor menjadi lemah, dimana
“posisi dominan” dipegang oleh pihak BANK, yang sewaktu-waktu dapat mem-“parate eksekusi” dengan kekuasaan
sendiri melelang agunan milik Debitor.
Bukan satu atau dua kasus kejadian,
dimana Debitor terkejut, mendadak dirinya ditagih oleh RENTENIR PERORANGAN,
sekalipun meminjam Kredit dari BANK.
Ingin aman, meminjam dari BANK yang
diawasi oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan), namun mendadak ditagih oleh RENTENIR
PERORANGAN. Ini fakta kejadian di lapangan, dan korbannya sudah cukup banyak.
Jangan pernah terkecoh oleh logo “diawasi oleh OJK” yang tertempel pada
pintu-pintu kaca BANK. [untuk lebih jelasnya, lihat kasus Jiwasraya, OJK lepas
tangan dan lepas tanggung-jawab]
Ketika Anda mengetahui dan memahami
praktik gelap “white collar crime”
lembaga perbankan yang berkolusi dengan MAFIA TANAH, Anda akan sampai pada satu
kesimpulan tunggal : jangan pernah pinjam Kredit dari BANK.
Kedua, terjadi “moral hazard”, berupa sepasang modus
yang dilancarkan oleh sang RENTENIR PERORANGAN (Pembeli Cessie). Ini modus
paling klasik dan paling klise, yang polanya sebenarnya mudah dikenali, jika
Anda selaku Debitor cukup cermat.
Yakni, modus “MARK UP” tagihan, dan disaat bersamaan menerapkan modus “MARK DOWN” Nilai Limit Lelang Eksekusi Hak
Tanggungan yang mana pihak pembelinya ialah afiliasi atau anak buah sang
RENTENIR PERORANGAN (Pembeli Cessie). Bagian ini yang paling menarik, mari kita
bahas satu per satu.
Ada dua jenis “suku bunga”, yakni
“suku bunga abstrak” dan “suku bunga aktual”.
Ingat, jangan pernah terkecoh oleh
“suku bunga abstrak” yang terdapat dalam Surat Perjanjian Kredit. Karena,
antara “suku bunga abstrak” diatas kertas bernama Akta Kredit, dapat sangat
bersenjang dengan fakta realita berlangsungnya masa Kredit, yang bernama “suku
bunga aktual”.
Jika Anda menemukan
komponen-komponen tagihan berikut di dalam surat tagihan Kredit Anda, maka
itulah yang dikenal dengan istilah sebagai “BUNGA TERSELUBUNG”, terdiri dari:
denda, pinalti, denda terhadap denda, denda terhadap cicilan tertunggak, biaya
ini itu, dan lain sebagainya.
Dalam praktik, “bunga” dapat kalah
jauh dengan tingkat “suku bunga majemuk” demikian. Total hutang Anda,
menggelembung bukan karena “bunga”, namun berkat “BUNGA TERSELUBUNG”.
Sampai disini saja, sebenarnya Anda
sudah mulai memahami dan menyadari betapa “lintah darat”-nya lembaga-lembaga
keuangan perbankan kita di Indonesia. Tidak ada BANK yang bukan “SHARK LOAN”.
Jangan pernah terkecoh oleh iming-iming “BUNGA” rendah, itu jebakan BANK.
Berikut ini, bahkan diterapkan oleh
MAFIA berkedok BANK : suku bunga cukup 1 digit, namun denda, pinalti, biaya,
dsb, 2 digit.
Lantas, bagaimana membaca dan
memetakan modus ini?
Jawabannya cukup sederhana, yang
mungkin tidak Anda sadari akibat “terlampau sederhana”. Yakni : Pelajari “BUNGA AKTUAL”-nya.
Ambil surat somasi / peringatan
pertama yang Anda terima dari pihak Kreditor—entah itu “Kreditor Penjual
Cessie” maupun “Kreditor Pembeli Cessie”. Lalu, bandingkan dengan total tagihan
pada surat somasi kedua, bandingkan juga dengan total tagihan pada surat somasi
ketiga, dst.
Langkah berikutnya, hitung berapa
jeda waktu antara somasi pertama, kedua, dan somasi ketiga, dst. Berangkat dari
basis itulah, kita dapat meng-kalkulasi “BUNGA
AKTUAL” alias “BUNGA TERSELUBUNG”
yang ditagihkan kepada Anda.
Saya jamin, Anda akan terkejut,
berapa persen-kah sebenarnya Anda telah “diperas”—dalam artian yang
sesungguhnya.
Ketiga, inilah fase dimana “moral hazard” benar-benar dipertontonkan
secara vulgar. Jelas terdapat “CONFLICT
OF INTEREST” (konflik kepentingan), ketika antara Pembeli Cessie (Pemohon
Lelang Eksekusi) dan pihak Pembeli Lelang Eksekusi terhadap agunan pelunasan
hutang, adalah saling terafiliasi atau bahkan “nominee” utusan pihak Pembeli Cessie (Pemohon Lelang).
Itulah, ketika kita sandingkan
antara “MARK UP” tagihan, lalu
terdapat pola dampingan berupa adanya modus “MARK DOWN” Nilai Limit Lelang, mengingat sang RENTENIR PERORANGAN
Pembeli Cessie itu sendiri yang menentukan di-harga berapakah agunan Anda akan
dilelang.
Bukankah yang melelang, ialah
Kantor Lelang Negara?
Ketika Debitor pemilik agunan
selaku KORBAN menggugat kedua Kreditor beserta Kantor Lelang Negara, pihak
Kantor Lelang Negara berkelit : “Kami
tidak bertanggung-jawab atas kesemua itu, sekalipun kami memungut Bea Lelang
dan kami diberi dokumen persyaratan lelang berisi tagihan-tagihan RENTENIR yang
bunganya mencapai hampir 100% per tahun tersebut.”—itu fakta, dan ini
realita dalam praktik di lapangan.
Fakta, negara dan pemerintah tidak
benar-benar hadir untuk melindungi warganegaranya. Anda, kita semua selaku
anggota masyarakat, dipaksa harus mencari sendiri jalan untuk selamat, seorang
diri.
Adalah wajar, bila kemudian saya
menjuluki Kantor Lelang Negara maupun para Pejabat Lelang-nya sebagai “as a tool of RENTENIR”.
Lantas, bagaimana kiatnya, jika
perusahaan Anda betul-betul terpaksa membutuhkan suntikan dana kredit?
Maka rekomendasinya ialah pinjamlah
Kredit dari BANK “plat merah”. Bukan berarti BANK-BANK “plat merah” tidak turut
terlibat dalam praktik jual-beli piutang, namun setidaknya tidak semasif
praktik jual-beli piutang di BANK swasta.
Bila Anda merasa aman, meminjam
Kredit dari BANK, maka itu adalah ilusi dan delusi, suatu fatamorgana yang
memang dirancang oleh pihak perbankan lewat desain kantornya yang tampak apik
dan bonafid.
Apa yang menjadi “front door”, berupa petugas yang tampak
bersih, ramah, penuh SOP, diawasi OJK, namun “back door”-nya ialah berisi sindikat-sindikat MAFIA TANAH.
Saat modus-modus tersembunyi dan
terselubung BANK yang berkomplot dengan MAFIA TANAH demikian saya ungkap,
menjadi terang-benderang dan sang Klien kemudian menggugat kesemua pihak
tersebut di atas, barulah para MAFIA TANAH tersebut menjelma “tikus yang lari
ketakutan”—karena AURAT-nya dibongkar dan diungkap.
Ironisnya, para pelakunya tergolong
orang-orang yang “berdasi”, benar-benar “white
collar” dalam arti sesungguhnya—sekalipun, semua itu hanyalah “persona”
alias “topeng” belaka untuk menyembunyikan taring jahat haus darah mereka.
Yang paling membuat ironis ialah,
telah ternyata Kantor Lelang Negara hanya berfungsi sebagai “as a tool of RENTENIR”. Negara, tidak
pernah benar-benar hadir untuk melindungi masyarakat.
Mereka, yang pernah menjadi korban pengabaian
dan penelantaran oleh negara, karena seharusnya dilindungi namun telah ternyata
justru lebih berpihak kepada sindikat MAFIA, jangan pernah berharap republik
ini akan timbul kepatuhan pembayaran pajak.