JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Kalau Kamu JENIUS, Tidak Butuh Menyakiti ataupun Merampas Hak Orang Lain untuk Bahagia

Orang Jenius Tidak Merampas Hak maupun Kebahagiaan Orang Lain

Sobat pasti pernah melihat adanya film yang mengisahkan segerombolan kriminal yang mengakunya “jenius”. Mereka berkomplot dan berencana untuk membobol bank yang berkeamanan tinggi.

Singkat cerita, mereka berhasil membobol bank tersebut dengan teknik dan alat-alat canggih yang rumit (sophisticated), dan merasa bahwa diri mereka itu “hebat”, lalu berbangga diri.

Pertanyaannya, apa salah tidak, mengapa produser film tersebut mempertontonkan kisah “kekotoran batin” seolah-olah begitu heroik?

Orang yang benar-benar “jenius”, tidak akan melakukan hal sekonyol itu. Mengapa dan atas dasar alasan apakah?

Penjelasan pertama, hanya orang dungu, yang merasa gembira karena berhasil menanam KARMA BURUK—yang harus mereka bayar sendiri harganya dikemudian hari.

Menurut Dhamma, ketika seseorang memiliki niat baik ataupun buruk dan melakukannya dengan senang tanpa penyesalan sebelum, saat, dan sesudah perbuatan ia lakukan, maka buah Karma-nya akan berlipat-lipat.

Penjelasan kedua, orang jenius sudah begitu kreatif—mereka tidak pernah merasa perlu untuk berbuat kejahatan demi menyambung hidup, terlebih merugikan / menyakiti pihak-pihak lainnya untuk berbahagia.

Para pencuri yang berdelusi sebagai “hebat” itu, adalah orang-orang dungu yang tidak perlu ditiru. Biarkan saja mereka berbangga diri dengan sifat dungu (ignorance) mereka, seperti orang-orang yang merasa bangga menjadi pecandu tembakau maupun mabuk “PENGHAPUSAN DOSA”.

Sang Buddha pernah bersabda:

3 (3) Celaka (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat, mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah empat ini?

(1) “Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.

(2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.

(3) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang mencurigakan.

(4) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang seharusnya dipercaya.

Dengan memiliki keempat kualitas ini, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat, mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik, mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah empat ini?

(1) “Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.

(2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji.

(3) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang mencurigakan.

(4) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang seharusnya dipercaya.

Dengan memiliki keempat kualitas ini, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik, mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa.”

Ia yang memuji seorang yang layak dicela, atau mencela seorang yang layak dipuji, melakukan lemparan yang tidak beruntung melalui mulutnya yang karenanya ia tidak menemukan kebahagiaan.

[Kitab Komentar : Vicināti mukhena so kali, kalinā tena sukha na vindati. Ini juga dapat diterjemahkan: “Si dungu mengumpulkan bencana dengan mulutnya.” Frasa Pali “kali” dapat berarti “bencana” dan juga dapat berarti “lemparan dadu yang kalah”.]

Lemparan dadu yang tidak beruntung adalah kecil yang mengakibatkan hilangnya kekayaan seseorang, [kehilangan] segalanya, termasuk dirinya; lemparan yang jauh lebih tidak beruntung adalah memendam kebencian terhadap orang-orang suci.

[Kitab Komentar : Bencana ini adalah kecil, yaitu, hilangnya kekayaan pada permainan dadu bersama dengan semua yang dimiliki seseorang, termasuk dirinya sendiri.]

Selama seratus ribu tiga puluh enam nirabbuda, ditambah lima abbuda, pemfitnah para mulia pergi ke neraka, setelah mencemarkan reputasi mereka dengan ucapan dan pikiran jahat.

SUMBER : Khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha JILID II”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara.