Orang
Jenius Tidak Merampas Hak maupun Kebahagiaan Orang Lain
Sobat
pasti pernah melihat adanya film yang mengisahkan segerombolan kriminal yang
mengakunya “jenius”. Mereka berkomplot dan berencana untuk membobol bank yang
berkeamanan tinggi.
Singkat
cerita, mereka berhasil membobol bank tersebut dengan teknik dan alat-alat
canggih yang rumit (sophisticated),
dan merasa bahwa diri mereka itu “hebat”, lalu berbangga diri.
Pertanyaannya, apa salah tidak, mengapa produser film tersebut mempertontonkan kisah “kekotoran batin” seolah-olah begitu heroik?
Orang
yang benar-benar “jenius”, tidak akan melakukan hal sekonyol itu. Mengapa dan
atas dasar alasan apakah?
Penjelasan
pertama, hanya orang dungu, yang merasa gembira karena berhasil menanam KARMA
BURUK—yang harus mereka bayar sendiri harganya dikemudian hari.
Menurut
Dhamma, ketika seseorang memiliki niat baik ataupun buruk dan melakukannya
dengan senang tanpa penyesalan sebelum, saat, dan sesudah perbuatan ia lakukan,
maka buah Karma-nya akan berlipat-lipat.
Penjelasan
kedua, orang jenius sudah begitu kreatif—mereka tidak pernah merasa perlu untuk
berbuat kejahatan demi menyambung hidup, terlebih merugikan / menyakiti pihak-pihak
lainnya untuk berbahagia.
Para
pencuri yang berdelusi sebagai “hebat” itu, adalah orang-orang dungu yang tidak
perlu ditiru. Biarkan saja mereka berbangga diri dengan sifat dungu (ignorance) mereka, seperti orang-orang
yang merasa bangga menjadi pecandu tembakau maupun mabuk “PENGHAPUSAN DOSA”.
Sang Buddha
pernah bersabda:
3
(3) Celaka (1)
“Para
bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas, orang dungu, yang tidak kompeten, dan
jahat, mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan
dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah empat
ini?
(1)
“Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa,
ia memuji seorang yang layak dicela.
(2)
Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa,
ia mencela seorang yang layak dipuji.
(3)
Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa,
ia mempercayai sesuatu yang mencurigakan.
(4)
Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa,
ia mencurigai sesuatu yang seharusnya dipercaya.
Dengan
memiliki keempat kualitas ini, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat, mempertahankan
dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para
bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan.
“Para
bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas, orang bijaksana, yang kompeten, dan
baik, mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia
tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak
jasa. Apakah empat ini?
(1)
“Setelah menyelidiki dan setelah
memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.
(2)
Setelah menyelidiki dan setelah
memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji.
(3)
Setelah menyelidiki dan setelah
memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang mencurigakan.
(4)
Setelah menyelidiki dan setelah
memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang seharusnya dipercaya.
Dengan
memiliki keempat kualitas ini, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik,
mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak terluka; ia
tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak
jasa.”
Ia yang memuji seorang yang layak
dicela, atau mencela seorang yang layak dipuji, melakukan lemparan yang tidak
beruntung melalui mulutnya yang karenanya ia tidak menemukan kebahagiaan.
[Kitab
Komentar : Vicināti mukhena so kaliṃ,
kalinā tena sukhaṃ na vindati.
Ini juga dapat diterjemahkan: “Si dungu mengumpulkan bencana dengan mulutnya.” Frasa
Pali “kali” dapat berarti “bencana”
dan juga dapat berarti “lemparan dadu yang kalah”.]
Lemparan
dadu yang tidak beruntung adalah kecil yang mengakibatkan hilangnya kekayaan
seseorang, [kehilangan] segalanya, termasuk dirinya; lemparan yang jauh
lebih tidak beruntung adalah memendam kebencian terhadap orang-orang suci.
[Kitab
Komentar : Bencana ini adalah kecil, yaitu, hilangnya kekayaan pada permainan
dadu bersama dengan semua yang dimiliki seseorang, termasuk dirinya sendiri.]
Selama
seratus ribu tiga puluh enam nirabbuda, ditambah lima abbuda, pemfitnah para
mulia pergi ke neraka, setelah mencemarkan reputasi mereka dengan ucapan dan
pikiran jahat.
SUMBER
: Khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara
Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha JILID II”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara.