Perang Dagang dan Terbolak-Baliknya Logika Moral
Ambivalensi Benang-Kusut Sejarah dan Ekonomi Bangsa-Bangsa Dunia dalam Era Keterbalikan Free Trade
Pada awal tahun 2025, dunia tidak terkecuali di Indonesia, dikejutkan oleh keputusan Presiden Amerika Serikat, Donal Trump, yang menetapkan kebijakan tarif masuk bagi barang-barang impor ke dalam pasar di dalam negeri Paman Sam sang adikuasa tersebut dengan tarif masuk yang terbilang fenomenal dan dramatis, mengingat neraca perdagangan Amerika Serikat defisit diakibatkan pangsa pasar di Amerika Serikat lebih dinikmati oleh para produsen di negara-negara lain. Barulah pada saat itu, kita disadarkan dan mata kita mulai terbuka, betapa selama ini kita menikmati surplus neraca perdagangan ekspor ke negara Amerika Serikat, sehingga Negara Indonesia dan Bangsa Indonesia sejatinya berhutang budi kepada Amerika Serikat yang selama ini membiarkan pasarnya didominasi oleh produk-produk negara asing yang mengekspor komoditas, bahan baku, maupun produk jadinya.
Amerika Serikat pula, yang
sebelum negaranya didera oleh defisit keuangan hebat, menjadi donatur berbagai program-program
internasional bagi kesehatan, pendidikan, budaya, dan kemanusiaan, yang juga
dinikmati oleh Bangsa Indonesia, sekalipun kini dibawah pemerintahan Donal
Trump kesemua itu diakhiri sepenuhnya. Masyarakat di Indonesia, ironisnya, alih-alih
merasa berterimakasih dan berhutang-budi kepada Amerika Serikat, justru kerap
membalas “air susu dengan arogansi” lewat berbagai demonstrasi di depan
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia, berdemo dengan narasi “boikot produk Israel maupun afiliasinya (Negara
Amerika Serikat)!”
Secara lebih ekstrem, kita tahu
betapa “benci”-nya Bangsa Vietnam terhadap Amerika Serikat yang dinilai
memiliki “hutang sejarah berdarah” terhadap Bangsa Vietnam. Namun, ketika Amerika
Serikat menerapkan tarif masuk tinggi terhadap produk-produk dari Vietnam,
Vietnam pun kini “mengemis-ngemis” belas-kasihan kepada Amerika Serikat, tidak
lagi “sok jual mahal” dengan mengungkit-ungkit fakta sejarah kelam bangsanya
akibat penyerangan militer ke Vietnam. Memang patut disayangkan, Amerika
Serikat tidak mau memanfaatkan momen baik ini untuk menebus “hutang sejarah berdarah”-nya
tersebut dengan menghapuskan tarif masuk yang tinggi produk-produk yang
diproduksi di Vietnam.
Mungkin yang paling ironis
ialah Bangsa Indonesia, terjajah oleh budaya dan produk-produk Jepang yang
pernah menjajah Indonesia dengan sangat kejam ala “jugun ianfu” hanya dalam tempo kurang dari separuh abad. Kita pun
jangan lupa, tanpa serangan Amerika Serikat kepada Hiroshima dan Nagasaki,
mungkin China dan Indonesia masih terjajah oleh Jepang hingga saat kini. Ingat,
Jepang menarik diri dari kedua negara tersebut ketika kedua kota di Jepang tersebut
luluh-lantak di-“bom atom” oleh Amerika Serikat, bukan mundur dipukul oleh
tentara perjuangan negara setempat. Bisakah Anda menemukan di buku-buku pelajaran
sejarah, momen sejarah perjuangan pejuang Indonesia merebut kemerdekaan dari kolonial
Jepang, dalam arti yang sesungguhnya? China tampaknya melupakan sejarah
tersebut, dan kini tenggelam dalam “perang dagang” versus Amerika Serikat. Doktrin-doktrin
“seni perang” (the Art of War) di China,
memang memungkinkan etika disimpangi demi kemenangan.
Secara pribadi, penulis menilai
bahwa Negara Amerika Serikat selama ini telah sangat toleran dan bersabar
menghadapi sikap Bangsa Indonesia yang kerap menghujat, mengolok, mengutuk, mencaci-maki,
menyumpah-serapah, serta memberikan ujaran-ujaran penuh kebencian terhadap Negara
dan Bangsa Amerika Serikat. Sentimennya semata sentimen keagamaan, mengingat Palestina
tidak memberi kontribusi apapun terhadap Indonesia kecuali pernah membuat
pengakuan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia dari kolonial (tidak ada ruginya,
memberikan pengakuan kemerdekaan bagi bangsa manapun). Begitupula sentimen para
muslim di Indonesia terkait isu etnik Rohingya di Rakhine, Myanmar, telah ternyata
kini tidak sedikit para muslim WNI yang disandera dan diekploitasi menjadi
operator situs-situs “jud! online” oleh para militan Rohingya di Rakhine,
Myanmar.
Secara pribadi, penulis juga
menilai betapa bodohnya para investor asing bersedia menanamkan modalnya di Indonesia,
negara yang penduduknya kerap bersikap rasis dan “kompromistik terhadap dosa
dan maksiat, namun intoleran terhadap kaum yang berbeda warna kulit maupun
agama”. Kisah sederhana berikut, dapat mencerminkan betapa sentimen-sentimen kerdil
kekanakan Bangsa Indonesia, justru dapat menjadi bumerang bagi kepentingan
nasional Bangsa Indonesia itu sendiri dikancah internasional. Di Timur Tengah,
bahkan negara-negara islam tidak seagresif dan tidak se-Arah Orang Indonesia
terkait isu Palestina. Bangsa Indonesia sudah dikenal luas di dunia global
sebagai bangsa yang lebih Arab daripada Arab. Budaya dan agama Arab, sungguh
telah menjajah Bangsa Indonesia hingga ke akar-akarnya.
Penulis pernah mengenal
seseorang warga Aceh, yang bercerita bahwa tidak ada investor asing yang
bersedia masuk ke Aceh, bahkan investor lokal dalam negeri sendiri pun “ogah”
masuk ke Aceh untuk menanamkan modal dan mendirikan pabrik ataupun usaha. Penulis
menengarai, penerapan syariat islam menjadi faktor paling utama resistensi (entry barrier) bagi para investor lokal
maupun asing untuk bersedia menjejakkan kaki ke Aceh. Untuk apa juga ke Aceh,
bila masih ada berbagai kota atau daerah di Indonesia yang bisa dimasuki, atau negara-negara
tetangga lainnya di Indonesia yang “bebas dari premanisme” serta kepastian
hukumnya tidak sekadar jargon belaka?
Bagaimana dengan Brunai
Darussalam, yang juga menerapkan syariat islam? Brunai selama ini mengandalkan
ekspor minyak bumi sebagai penopang ekonominya. Sama halnya dengan Rusia, yang
mampu bertahan ditengah-tengah boikot negara-negara di dunia sejak melakukan
invasi ke dalam Ukraina, berkat meng-ekspor minyak bumi. Namun, ketika energi
fosil tidak terbarukan tersebut menipis cadangannya, apakah masih relevan,
bersikap “sok jual mahal”? Beruntung presiden Indonesia yang berkuasa saat kini,
mampu menempatkan diri pada kondisi dan situasi yang ada, dari semula berapi-api
berpidato “kita swasembada!” menjelma
“bunglon” yang lebih kompromistik : “tidak
boleh ada pembatasan kuota impor, kita buka impor seluas-luasnya!” maupun
dilonggarkannya ketentuan mengenai TKDN (tingkat komponen dalam negeri) dari
semula yang menutup diri dari segala bentuk kompromi—secara tidak langsung,
sang Kepala Negara mengakui, bahwa “Indonesia (memang) gelap”. Mungkin, kelak
kebijakan hilirisasi nikel pun akan dikompromikan, dan sudah ada preseden-preseden
inkonsistensi sikap sang Kepala Negara.
Mengapa? Jika Indonesia masih
bersikeras untuk “keras kepala”, maka dapat dipastikan banyak perusahaan di Indonesia
yang selama ini mengandalkan ekspor produk-produk yang mereka produksi ke Amerika
Serikat, akan gulung-tikar, karena sekalipun memproduksi, tiada pasar yang
menyerap produk mereka. Salah satu penyebab mengapa Sriteks Grup yang selama
ini mempekerjakan belasan ribu pekerja, menjelma bangkrut dan pailit, ditengarai
akibat sanksi tidak langsung dari negara-negara global di dunia dalam menyikapi
sikap Bangsa Indonesia yang kerap begitu agresif menyerang martabat negara-negara
Barat. Diberi sanksi dengan apakah, yakni dengan cara diputus atau dikurangi
hingga dihentikan “order” pemesanannya.
Steven Covey, dalam bukunya “the
7 Habits”, membagi tiga jenis pendirian, yakni : dependen, independen, dan
interdependen. Ketika kita belum begitu percaya diri untuk menjadi negara
tertutup seperti Korea Utara yang terkucilkan dari pergaulan dan niaga dunia,
maka satu-satunya pilihan ialah menjadi tipikal negara interdependen, yang
dimulai dengan jalan mengurangi sikap ego-delusif bernama “sok jual mahal”. Swasembada
alias “berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri) pada satu sisi, dan pada sisi
lain kita pun menyadari ketergantungan kita dari pasar maupun dukungan dunia global.
Kita tidak perlu mengikuti jejak masyarakat Aceh yang memilih untuk “dikucilkan”
dari pergaulan dunia maupun niaga—yang mana kini masyarakatnya kerap terjerat
kemiskinan sehingga mudah tergiur untuk direkrut sebagai kaki-tangan jaringan
narkot!ka internasional.
Secara pribadi juga penulis
menilai, adalah wajar selama ini Israel merasa terancam oleh eksistensi Palestina,
mengingat Israel diapit oleh kepungan negara-negara Timur-Tengah yang
mengajarkan “perintah” (perintah wajib hukumnya dijalankan menurut syariat
islam) berupa dogma berikut:
“Saya diperintahkan untuk
memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH
DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan
kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut,
niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]
Betapa berstandar-gandanya kaum
muslim. Ketika mereka masih sebagai minoritas, para muslim menuntut dan
menikmati toleransi beragama. Namun ketika mereka menjelma menjadi mayoritas,
mereka ingin memberangus toleransi yang semua mereka nikmati [untuk
selengkapnya, lihat Kitab Jawa bersejarah bernama DHARMO GHANDUL]. Dari berbagai
pemberitaan sejak dekade lampau, peperangan selalu dipicu oleh pihak Palestina
di Gaza, membuat Isreal selalu merasa terancam serta “gerah”, dan kemudian
melakukan serangan balik dalam rangka membela diri. Sepanjang Palestina masih
eksis, sepanjang itu pula masyarakat di Israel tidak dapat hidup secara tenang
dan damai. Kesemua fakta sejarah tersebut dapat kita jumpai dalam pemberitaan,
pihak siapakah yang selama ini selaku terlebih dahulu memicu serangan
konfrontasi yang provokatif.
Ketika pihak Israel melakukan
perlawanan, para muslim menjadikan itu sebagai alibi untuk “muslim dizolimi
Yahudi”, lalu turunlah ayat-ayat berikut sebagai legitimasi bagi para muslim
untuk membunuh—balas “dizolimi”, dengan “pembunuhan”, sangat tidak proporsional
sekalipun yang memulai ancaman dan provokasi ialah pihak muslim itu sendiri:
- QS 9:14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan
(perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong
kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman,
- QS 66:9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik
dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam dan
itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.
- QS 2:191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu
jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu
(Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah
kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di
tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka.
Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.
- QS 5:33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar.
- QS 8:12. Ingatlah, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya
Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman”.
Kelak aku akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka PENGGALLAH
KEPALA MEREKA dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP UJUNG JARI MEREKA.
- QS 9:5. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang
musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka.
Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian.
Bila penulis boleh jujur—jujur adalah
hal yang terpuji, bukan hal yang tercela—tidak mengherankan ketika terjadi
aliran dana keluar dari dalam negeri, dimana para investor tampaknya mulai tidak
nyaman tetap berada di Indonesia, negeri dimana para preman berkeliaran mencari
mangsa di muka umum seolah-olah terjadi pembiaran dan berkembang-biak secepat
bakteri amoeba membelah diri, negeri dimana penduduknya tidak takut berbuat
dosa (BUAT DOSA, SIAPA TAKUT, ADA PENGHAPUSAN DOSA!), negeri dimana para penduduknya ialah para KORUPTOR DOSA (mabuk
dan kecanduan PENGHAPUSAN DOSA. Bung, hanya seorang pendosa yang butuh
PENGHAPUSAN DOSA!), negeri dimana
babi disebut “haram”, namun PENGHAPUSAN DOSA disebut “halal” serta dijadikan “halal lifestyle”, negeri dimana Anda yang
NON dipaksa untuk ikut berpuasa ramadhan dan usaha rumah makan dilarang
operasional di sejumlah daerah—puasa dimana konsumsi meningkat drastis, kerja malas-malasan,
meminta dihormati, menghakimi pihak lain, minta THR, serta tergila-gila pada “DOSA-DOSA
SETAHUN DIHAPUSKAN”. “Kabar gembira” bagi pendosa, sama artinya “kabar duka”
bagi kalangan korban.
Ketika perlahan demi perlahan, Indonesia
mulai dkucilkan oleh negara-negara Barat, dimana daya tawar Indonesia selama
ini hanya berputar-putar pada komoditas CPO (crude palm oil, minyak kelapa sawit), batu bara, dan nikel,
terutama ketika negara-negara global berhasil menemukan substitusinya, maka dapat
dipastikan Negara Indonesia akan terkucilkan baik secara geopolitik maupun
secara ekonomi. Tendensinya mulai terlihat, dan tampaknya tidak akan lebih
membaik untuk dekade yang akan datang. Hal tersebut diperkeruh oleh
dibatalkannya Cluster Ketenagakerjaan dari Undang-Undang Cipta Kerja terkait norma-norma
perburuhan oleh Mahkamah Konstitusi RI dalam putusan perkara uji materiil,
mengakibatkan “ekonomi biaya tinggi” yang menghantui investor asing maupun
investor lokal.
Seakan belum cukup keruh, kondisi kian diperparah
oleh betapa vokalnya masyarakat Indonesia mencoba bergaya sebagai “polisi moral”
yang berdelusi berhak untuk menghakimi bangsa-bangsa lainnya. Sayangnya, Bangsa
Indonesia telah “salah alamat”. Pendosa, namun hendak berceramah perihal
akhlak, hidup suci, baik, jujur, mulia, agung, lurus, manusiawi, serta luhur? Itu
ibarat orang buta hendak menuntun para butawan lainnya, neraka pun dipandang
sebagai surga, dan berbondong-bondong mereka menuju lembah jurang nista
tersebut—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:
- No.
4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
- No.
4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan
dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
- No.
4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No.
4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk
Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian
disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini
warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku
rizki).”
- No.
4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya
saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha
Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu
memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
“Standar
moral” semacam apakah, yang menjadi sunnah nabi rasul Allah? Telah ternyata
berupa teladan MABUK dan MENCANDU PENGHAPUSAN DOSA—juga masih dikutip dari
Hadis Muslim:
- No.
4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah
tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah
menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa
sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan
yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang
do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah
bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya
bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu
maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi
seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim]