LEGAL OPINION
Pengacara MEMBELA Vs. Konsultan Hukum MENCERAHKAN, Dua Domain Penyedia Jasa yang Saling Bertolak-Belakang
Netralitas Profesi KONSULTAN HUKUM sebagai MITRA HUKUM, Menyampaikan Opini Hukum secara OBJEKTIF, Bebas dari Conflict of Interest antara Klien dan Penyedia Jasa Hukum
Question: Bukankah sama saja, antara pengacara dan konsultan hukum, sama-sama membela klien agar menang atau agar dibebaskan dari hukuman?
Brief Answer: Profesi Advokat (lawyer alias pengacara) dan profesi Legal Consultant adalah dua profesi yang bagaikan air dan minyak, tidak mungkin dapat dijadikan satu-kesatuan merangkap keduanya. Prestasi dari jasa profesi Advokat, dinilai dari tingkat keberhasilan membebaskan seorang Terdakwa dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum serta untuk memenangkan perkara gugatan perdata, sekalipun menggunakan cara kurang etis demi meraih kemenangan, seperti bermain pada ranah “celah hukum”, ataupun menyalah-gunakan ketidak-sempurnaan instrumen maupun norma hukum yang ada—alias “kecerdikan” yang kurang sehat, yang mana juga belum tentu benar-benar aman dikemudian hari.
Berkebalikan dengan itu, tiada kepentingan bagi seorang profesi Konsultan Hukum untuk memenangkan ataupun untuk membebaskan klien pengguna jasa konseling seputar hukum dari jerat hukuman. Bila profesi Pengacara ialah bersifat “sarat kepentingan” (dengan meminta sejumlah “success fee” yang tidak hanya sekadar tarif berupa satu atau dua jam sesi konsultasi) maupun “tiada acara dan tiada perkara maka tiada ‘lawyering fee’”, karenanya seorang Pengacara lebih menghendaki bila sang klien terlibat masalah hukum akut sehingga sang Pengacara dapat menawarkan jasa “kuratif”. Jasa hukum dalam rangka “preventif” bukanlah domain profesi Pengacara.
Kontras dengan ladang nafkah kalangan profesi Pengacara, kalangan profesi Konsultan Hukum lebih kepada penyedia jasa “preventif” serta “mitigasi”. Seorang Konsultan Hukum, selalu menyampaikan kepada klien pengguna jasa konseling seputar hukum, bahwa opini hukum, kesimpulan, hingga rekomendasi yang disampaikan pada saat berlangsungnya sesi konsultasi, ialah bersifat sebatas “netral” serta “objektif”, dimana bahkan Kode Etik Legal Consultant SHIETRA & PARTNERS tidak menyanggupi untuk menjawab pertanyaan klien terkait ranah bermain “celah hukum” atas permasalahan hukum yang dihadapi olehnya, dimana akan seketika itu pula menolak untuk menguraikan “celah” dimaksud agar tidak disalah-gunakan Klien, terkecuali memang terdapat argumentasi atau alasan yang dapat dipertanggung-jawab serta adanya urgensi dari pihak Klien.
PEMBAHASAN:
Mengingat sifatnya ialah sebatas “netral” serta “objektif”, maka kalangan profesi Konsultan Hukum tidak pernah bermaksud untuk “siap mati membela yang bayar” layaknya profesi Pengacara di Tanah Air yang tingkat prestasinya diukur dari keberhasilan memenangkan gugatan ataupun untuk membebaskan Terdakwa dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Bisa karenanya pula kita sebutkan, bahwa profesi Konsultan Hukum lebih kearah penyedia jasa edukasi, mediasi, serta penasehat untuk menghindari sengketa hukum yang tidak perlu terjadi atau mencari jalan keluar dari masalah hukum dengan langkah-langkah non-litigasi maupun “amicable solution” yang seringkali lebih menarik daripada semata membuta pada opsi gugat-menggugat.
Implementasi dari sifat keberlakuan yang “netral” serta “objektif” dari kalangan profesi Konsultan Hukum, sebagaimana praktik layanan jasa SHIETRA & PARTNERS selama ini, sebagai contoh ketika penulis membawakan sesi konsultasi hukum dengan latar-belakang Klien yang merupakan terdakwa kasus pidana obat-obatan terlarang maupun perkara debitor “kredit macet” yang agunan jaminan pelunasan hutangnya akan atau telah dieksekusi oleh pihak kreditor perbankan. Apakah yang akan menjadi substansi sesi konseling seputar hukum terhadap klien-klien dengan latar-belakang masalah hukum demikian?
Klien pengguna jasa sesi konsultasi seputar hukum, berhak untuk mengetahui posisi dan kedudukan hukum dirinya sang sebenarnya secara netral serta objektif sifat serta kebenarannya, sekalipun bisa jadi “pahit di muka” (ketimbang “pahit” di belakang hari) sekaligus mulai menyadari bilamana terdapat kontribusi kesalahan ataupun penyulit yang menjadi faktor pemberat hukum secara “apa adanya” dalam rangka menghindari sengketa hukum yang tidak perlu, tidak terkecuali potensi kemenangan ataupun prediksi berbuntut kekalahan bila sampai memaksakan diri menempuh jalur kuratif-litigasi, disamping persiapan “the worst case scenario” maupun prediksi hukum lewat merujuk pada norma hukum bentukan preseden yang tidak lain ialah praktik kebiasaan di ruang pengadilan guna memproyeksikan “masa depan”.
Dalam sesi konsultasi, permasalahan hukum klien akan dipetakan serta dianalisa dari berbagai sudut pandang, yang mana bisa jadi langkah-langkah opsi litigasi dapat diganti dengan cara-cara mitigasi yang lebih ideal serta dicari solusi alternatifnya, sehingga menjelma upaya non-litigasi yang lebih efektif serta tentunya lebih efisien. Bila klien yang berlatar-belakang “debitor macet”, perlu disampaikan bahaya dibalik sikap keras seperti hendak menggugat kreditornya, serta diberikan pemahaman bahaya dibalik upaya hukum litigasi ataupun tertutupnya langkah litigasi bila telah terdapat pembeli lelang eksekusi—mengingat sertifikat hak atas tanah yang dibeli pembeli lelang eksekusi di Kantor Lelang Negara sudah tidak dapat dibatalkan, sementara itu tuntutan berupa ganti-rugi sejumlah uang kepada kreditor yang berlatar-belakang Badan Usaha Milik Negara adalah mustahil dapat dieksekusi sekalipun gugatan dimenangkan oleh sang Debitor.
Seorang Konsultan Hukum akan memberi rekomendasi terbaik berupa sang klien selaku debitor, menawarkan diri untuk menjual sendiri dan mencari pembeli yang berminat membeli objek agunan dengan meminta tempo waktu tertentu kepada sang kreditor untuk mencari pembeli yang berniat membeli agunan sehingga agunan dapat dilikuidasi secara kekeluargaan antara debitor dan kreditornya dalam rangka pelunasan hutang dengan harga mendekati harga pasar tanpa lelang, yang memang dimungkinkan oleh Undang-Undang tentang Hak Tanggungan untuk ditempuh oleh sang debitor sepanjang mendapatkan izin dari pihak kreditor pemegang jaminan kebendaan. Tujuannya, agar tiada menyesal dikemudian hari bila agunan sampai terjual dalam “lelang eksekusi” secara “murah” jauh dibawah harga pasal.
Kerap klien pengguna jasa sesi konsultasi hukum, bertanya kepada SHIETRA & PARTNERS, apakah ada “celah hukum” agar lelang eksekusi dapat dibatalkan? Untuk itu penting kiranya sebagai mitra hukum, seorang / kalangan Konsultan Hukum perlu mengingatkan konsekuensi yuridisnya, yakni hutang-piutang akan bangkit kembali dimana bunga dan denda terus berjalan dan kian menggunung seiring masa tunggakan yang berlarut-larut tidak terbayarkan ataupun terlunasi, sehingga semakin tidak memungkinkan untuk dilunasi bila kian tertunda akibat aksi gugat-menggugat.
Klien pengguna jasa sesi konsultasi pun akan diberitahukan oleh Konsultan Hukum secara “netral” dan “objektif”, dengan menyelipkan pesan-pesan moril demi kebaikan kepentingan sang klien itu sendiri, lewat sebuah pertanyaan introspektif yang kerap SHIETRA & PARTNERS ajukan dan sampaikan pada sang debitor yang berstatus “menunggak pembayaran hutang” serta disaat bersamaan hendak menggugat kreditornya yang berencana melelang eksekusi agunan:
“Katakanlah kami selaku Konsultan Hukum mengajarkan Klien langkah-langkah hukum untuk dapat membatalkan lelang eksekusi terhadap agunan, maka sekalipun gugatan kemudian benar-benar dapat dimenangkan oleh Klien, maka apakah artinya hutang tidak harus dibayarkan? Hutang tetaplah hutang, dan hutang harus dibayar hingga lunas, dimana gugatan tidak pernah bermakna mampu menghapus tentang fakta adanya hutang yang wajib dilunasi.”
Kalangan profesi Konsultan Hukum tidaklah menyerupai kalangan profesi Pengacara yang kerap “hit and RUN”, dimana kalangan profesi Pengacara semata mengejar “lawyering fee” tanpa memikirkan kepentingan sang klien dimasa yang akan datang, konsekuensi dibalik aksi gugat-menggugat, “social cost” dibalik niat menggugat, potensi digugat-balik oleh pihak lawan (“rekonpensi” yang bukanlah mitos dimana gugatan menjadi “bumerang” bagi pihak Penggugat itu sendiri), menjual “harapan palsu” seperti seolah menggugat artinya mampu menghapus kewajiban pembayaran hutang, hingga berbagai problematik “menang diatas kertas” akibat putusan yang sekalipun dimenangkan ternyata tidak dapat dieksekusi (non-executable) yang mana tidak jarang lebih kompleks daripada upaya memenangkan gugat-menggugat itu sendiri.
Kerap terdapat “political cost” dibalik aksi gugat-menggugat, seperti dalam kasus perburuhan, pernah terjadi kalangan pekerja / buruh menjadi Klien dari Legal Consultant SHIETRA & PARTNERS, menyampaikan niatnya untuk menggugat agar dapat diberikan haknya berupa pesangon karena diputus hubungan kerja secara sepihak oleh pihak pemberi kerja.
Setelah secara “netral” dan “objektif” disampaikan oleh Legal Consultant SHIETRA & PARTNERS pada sesi konsultasi, barulah sang Klien menyadari niatnya menggugat dapat membawa dirinya berujung pada “pensiun dini” karena menggugat sama artinya membuka aib sendiri ke publik, semata mengingat sifat putusan pengadilan saat kini dapat diakses oleh publik lewat jaringan dunia maya, dimana para calon pemberi kerja lainnya pastilah akan defensif mendapati adanya lamaran pekerjaan oleh calon pekerja yang pernah atau sebelum ini telah menggugat mantan pemberi kerja sebelumnya.
Mengingat sifat dasariahnya kalangan Konsultan Hukum bersifat “netral” disamping “objektif” saat membawakan sesi konsultasi seputar hukum, sehingga Klien dalam perkara semacam tindak pidana obat-obatan terlarang pun sifatnya bukan untuk “membela”, namun sebagai penasehat hukum dalam rangka pemberian opini hukum yang “netral” dan “objektif” dimana SHIETRA & PARTNERS kerap kali memanfaatkan kesempatan medium sesi konsultasi untuk menyelipkan “pesan-pesan moril” bagi sang klien (demi kebaikan serta kepentingan sang Klien itu sendiri), agar tidak berbelit-belit saat proses menjawab dakwaan dan tuntutan di pengadilan—semata dalam rangka tidak mengakibatkan potensi resiko tidak perlu seperti vonis yang diperberat Majelis Hakim akibat Terdakwa dinilai bersikap berbelit-belit, dimana sifat kooperatif dan berterus-terang dapat berbuah lebih manis berupa keringanan vonis hukuman, atau bahkan dapat direkomendasikan agar menyiapkan diri sebagai “justice collaborator” daripada mengambil posisi sebagai “antagonis” dari Jaksa Penuntut.
Atau bilamana vonis Pengadilan Negeri terhadap Klien yang berkedudukan selaku Terdakwa, dirasakan terlampau berat tidak sebanding dengan kesalahan hukum maupun pelanggaran yang dilakukan olehnya, maka “legal research” berupa preseden praktik peradilan dapat menjadi rujukan bagi sang Klien dalam melakukan upaya hukum maupun banding terkait berat-ringannya vonis atas perkara yang serupa, dimana dengan demikian kepentingan hukum Klien dapat terakomodasi secara adil sesuai hak-hak masing-masing pihak antara korban dan sang Terdakwa secara setara dan berimbang.
Karenanya, menjadi kontras bila dibuat perbandingan dengan ranah profesi pengacara yang siap “mati bela mati-matian Klien yang membayar”, semata mengingat prestasi Pengacara ialah disebut berhasil bisa mampu membebaskan serta melepaskan Klien dari segala jeratan ataupun tuntutan hukum, tanggung-jawab secara pidana maupun perdata. Karena sifatnya yang “netral” dan “objektif” itulah, kalangan profesi Konsultan Hukum dapat lebih bersikap terbuka dan transparan kepada sang Klien, dimana pihak Klien dapat memahami bahwa keterbukaan opini hingga rekomendasi hukum oleh Konsultan Hukum ialah demi kebaikan sang Klien itu sendiri.
Dari pengalaman Legal Consultant SHIETRA & PARTNERS, dalam membawakan berbagai sesi konsultasi seputar hukum pada beragam latar-belakang Klien maupun permasalahan hukum yang dihadapi para Klien, sebagian diantaranya tidak layak dimajukan ke persidangan bahkan berpotensi digugat-balik, sekalipun terdapat niat “menggebu-gebu” dari sang Klien untuk mengajukan gugatan akibat tidak mampu memandang situasi dan masalah hukum yang dihadapi olehnya secara “objektif” sehingga posisi hukumnya dapat menjadi riskan bila niat menggugat benar-benar direalisasikan, dimana juga ternyata sebagian diantaranya dapat dituntaskan masalahnya tanpa jalur litigasi sama sekali, namun cukup berupa pengetahuan dasar hukum, argumentasi hukum, maupun preseden yang ada, terutama ketika harus berhadapan dengan birokrasi yang prosedural.
Bilamana sudah terdapat mekanisme, instrumen, teknik, metode, alur, serta jalur legal untuk mengatasi kemelut hukum secara diluar jalur pengadilan (non-litigasi) yang lebih efektif serta lebih efisien dari segi biaya dan waktu, mengapa harus memaksakan diri menempuh jalur litigasi semata? Konseling seputar masalah hukum, hanya tepat dilakukan bersama panasehat hukum berlatar-belakang profesi Konsultan Hukum, bukan Pengacara yang sarat “conflict of interest” yang tidak akan tertarik pada tarif jasa hitungan semata satu atau dua jam tarif jasa sesi konsultasi.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.